Ophelia menatap Matteo lurus, matanya menyala seperti bara yang tidak mudah padam. Suaranya keluar pelan namun penuh tusukan, "apa kamu ingin aku membunuhnya, supaya kamu tidak lagi menyakiti Ale?" Kalimat itu dilemparnya tanpa ragu. Bukan hanya sebagai provokasi, melainkan sebagai cermin dari rasa sakit yang sudah ia simpan. Matteo terdiam sejenak, namun kata-kata Ophelia terus mengalir, meledak satu demi satu dari bibirnya. "Sampai kapan, Teo? Sampai kapan kamu biarkan anakmu terluka hanya karena hatimu tidak rela melihat bayangan masa lalumu tersakiti?" Nada Ophelia menanjak, berubah dari tanya menjadi penghakiman. Suaranya bergetar oleh amarah dan kepedihan. Setiap kata seolah ditebaskan pada daging luka yang tidak kunjung sembuh. "Sadarlah, Teo. Sadarlah!" ia mendesak, matanya hampi

