Apartemen itu terasa dingin. Aya duduk di tepi ranjangnya, menatap bayangan dirinya di cermin. Matanya merah, kantung matanya menghitam, seolah semua ini perlahan merenggut dirinya. Sejak pertemuan dengan Widhi malam itu, Aya tidak bisa tidur dengan tenang. Bayangan tatapan Widhi terus menghantuinya—bukan tatapan marah, bukan ledakan emosi, tetapi sesuatu yang jauh lebih berbahaya. Dingin. Dan penuh kepastian. Widhi tidak akan menyerang secara langsung. Tidak sekarang. Tapi ancaman itu nyata, bersembunyi di balik setiap kata yang diucapkannya. Aya mengusap wajahnya, mencoba mengatur napas. Ponselnya bergetar di atas nakas. Dengan tangan gemetar, ia meraihnya. Prasetyo. Aya menelan ludah. Ragu. Tapi pada akhirnya, ia menjawab. “Halo…” suaranya hampir tak terdengar. “Aku di depan,