Sudah Lihai

1102 Words
Suasana mall sore hari makin ramai. Bahkan banyak pasangan muda mudi yang pacaran. Ck, apalah daya nasibku hari ini. Ceritanya diantar suami, alah, kampret doang. Bukan diantar ini mah tapi dititipin ke mall. Dia sendiri asyik mesraan dengan peliharaannya. Coba aja tadi Bang Zein yang antar. Meskipun sering bikin naik darah, tapi Abangku yang satu itu pasti setia ngikutin aku belanja kemana-mana. Bawain barang belanjaan meskipun dengan backsound gerutuannya yang udah kayak kereta api. Sedang asyik memilih, tetiba aku melihat seseorang yang aku kenal. Mataku memicing. Itu seperti Bang Fatih? Wow, dia bersama seorang wanita! Aku tersenyum lebar. Sepertinya Bang Fatih mulai ada kemajuan tuh, dekat dengan wanita! Mama harus tahu ini mah. Aku merogoh saku dan mengambil ponsel. Dengan cepat aku mengabadikan momen spesial ini. Apa aku kirim sekarang ke Mama ya? Pasti Mama seneng deh kalau lihat ini. Ya, sepanjang ingatanku, Bang Fatih itu gak pernah terdengar punya pacar. Sampai-sampai Mama khawatir jika Bang Fatih termasuk pria penyuka pedang. "Sini, kenapa tidak diantar Zein?" Aku kaget. Sosok yang aku foto tadi tiba-tiba sudah ada di sampingku. Bahkan barang belanjaan yang tadinya di tanganku sekarang berpindah ke tangan lain. "Bang Fatih?" sapaku tanpa bisa menyembunyikan rasa kaget. "Zein mana?" Aku mengerucut kesal, "Untuk apa nanya Bang Zein? Dia malah gak mau nganterin aku." "Kok tumben? Kenapa?" Ya, ya, kedua Abangku ini memang sudah seperti bodyguard saja. Kemana-mana aku harus diikuti. Katanya bahaya lah, takut diculik lah, dan masih banyak lagi alasan lainnya. "Um, sebenarnya aku pergi sama Pak Indra," cicitku. Kesel sih, tapi mau bagaimana lagi. Aku lihat wajah Bang Fatih sangat kesal. Rahangnya mengeras. "Ayo, selesaikan belanja kamu. Abang yang antar pulang." Aku mengangguk dan tersenyum lebar. "Makasih, Bang." Pria yang selama ini selalu menjagaku itu tidak menjawab. Hanya mengikutiku dari belakang. Sebenarnya aku ingin tanya siapa wanita yang tadi bersamanya ya? "Bang." Masih gak ngomong. Bang Fatih sedang sibuk memilih pasta gigi rupanya. "Bang Fatih," panggilku lagi. Bang Fatih menoleh, hanya mengangkat satu alisnya. "Um, tadi Bang Fatih sama siapa?" ucapku dengan cengiran lebar. "Oh itu. Hanya teman. Jangan salah faham!" "Masa sih? Aku boleh kenal gak, Bang?" "Boleh nanti Abang kenalin." "Cantik ya?" "Sudah Abang bilang, Ca. Dia hanya teman biasa." Aku tertawa geli, Bang Fatih kayak lagi menjelaskan ke pacar aja. Seperti pria yang kepergok selingkuh, haha. "Abang takut aku bilangin ke Mama ya?" Bang Fatih gak ngomong lagi. Dia mengambil beberapa macam buah segar. "Buat Mama?" tanyaku menghampirinya. "Hm." Bang Fatih hanya menjawab dengan gumaman pelan. Tuh kan? Apa aku bilang, Abangku yang satu ini memang sangat dingin dan kaku. Tapi sikapnya sangat manis. Mau nganterin aku pulang aja sampai ingat buah kesukaan Mama. Akhirnya aku benar-benar pulang bersama Bang Fatih. Bodo amat dengan manusia kebo itu. Pasti masih pecicilan dengan betinanya. Kesel aku. "Kalau sekali lagi Indra bikin kamu kesal, hubungi Abang saja." "Tentu. Tapi aku takut ganggu Bang Fatih kalau lagi kerja." "Akan Abang usahakan." Aku mengangguk. Mobil Bang Fatih sampai di depan rumah. Aku bersiap membuka sabuk pengaman dan hendak membuka pintu mobil. "Ca." "Ya?" Aku menoleh ke Bang Fatih yang masih duduk di belakang kemudi. "Jika kamu terlalu banyak sakit hati dengan hubungan bersama Indra, lepaskan saja. Jangan dipaksakan." Aku diam. Entah kenapa, tatapan Bang Fatih sedikit berbeda dari biasanya. Atau mungkin hanya perasaanku saja? Ah, sudahlah! Sepertinya aku terlalu banyak nonton drama. "Bang Fatih jangan khawatir, aku baik-baik saja kok. Kalau Pak Indra macam-macam, aku akan beri dia pelajaran!" Bang Fatih hanya tersenyum. Langka sih ini. Aku tersenyum lebar dan langsung turun dari mobil. Mataku kaget saat melihat motor milik Pak Indra sudah terparkir di depan rumah. Kapan dia datang? Segera aku masuk ke dalam. Ternyata Pak Indra ngobrol sama Mama. "Nah, akhirnya datang juga. Kamu dari mana sih? Haduh, Mama khawatir tadi." Aku melongo. Lah, bukannya tadi orang ini pergi dengan pacarnya? "Aku pulang sama Bang Fatih." "Ha? Bang Fatih?" Mama terlihat kaget. Aku memberikan kantong plastik berisi buah segar kesukaan Mama. "Ini, Bang Fatih titip ini buat Mama katanya." Mama bangkit lalu keluar rumah. Celingukan. "Mana Abangmu, Ca?" Aku membuka tas selempang yang aku pakai. Lalu hendak masuk ke kamar. "Kamu mau kemana?" tanya Pak Indra tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. "Istirahatlah, capek." "Eh, kamu mau kemana, Ca? Temenin Indra dulu. Kasihan dia sudah nunggu kamu sejak tadi." Aku mendelik kesal padanya. Dih, kasihan apanya? Orang tadi dia udah seneng-seneng sama perempuan lain! Huft, andai saja Mama tahu. "Aku capek, Ma. Mau istirahat." "Ck, sini duduk dulu. Maaf ya, Indra. Kadangkala Caca masih agak manja." "Gak apa, Ma. Saya mengerti kok. Lagi pula, saya lega ternyata Ica pulang sama Fatih." Mama memaksaku duduk. Gak lihat apa, bibirku udah maju beberapa senti sejak tadi. "Ya ampun, baik sekali kamu. Pasti kamu khawatir ya? Kamu sih, Ca. Ingat, sekarang ada Indra. Kamu harus nurut sama dia. Walau bagaimanapun Indra itu sudah jadi tunangan kamu. Apapun yang kamu lakukan, harus dengan seizin Indra." "Baik, Ma. Tapi kalau Pak Indra sendiri yang sibuk sama yang lain gimana?" jawabku. Tanggung kesal, sekalian saja aku kasih tahu sama Mama. "Ish, apaan kamu ini? Lain kali dapat informasi itu harus lengkap. Mama tahu, tadi Indra ada urusan dengan kerjaannya. Nih, Mama aja tahu dan dikirimi foto mereka. Tadi katanya kamu langsung pergi. Takut kamu salah faham sampe kirim foto segala." Aku melongo. Asli, gak kepikiran sampai ke sana! Gila sih ini orang, nekat banget. Berbohong hingga sejauh itu? "Iya, Ca. Maaf ya, tadi saya ada pekerjaan dengan beberapa rekan. Rencananya kami mau buka usaha barengan." Masa sih? Melihatku yang masih diam, Mama mendekat. "Duh, manisnya, anak gadis Mama lagi cemburu ya?" Dih, apaan sih? Siapa juga yang cemburu? Aku hanya heran, kok bisa dia bohong sama orang tua ya? "Saya faham kok. Maaf ya, Ca. Saya tadi cari kamu ke mall. Ternyata tidak ada. Ya saya pikir kamu marah dan salah faham. Makanya saya kirim foto itu ke Mama. Ponsel kamu gak aktif." Aku mendengus kesal. "Saya gak salah faham kok. Biasa aja." Mama tersenyum, "Ya sudah, kamu bujuk Ica ya, Indra? Mama mau ke belakang dulu." Kami ditinggal berdua begitu saja. Selepas Mama pergi. Aku menatap pria itu. "Pak, Anda sebenarnya gak usah kirim foto segala. Saya juga tidak peduli Anda pergi dengan siapa." "Terserah. Yang penting saya aman." "Oh jadi ini trik Anda ya?" Gila ya ini orang? "Kamu sendiri juga pergi dengan pria lain kan?" "Itu Bang Fatih." "Siapa tahu kalian bukan saudara kandung." "Pak, Anda jangan fitnah! Bang Fatih kakak saya sendiri!" Pak Indra mendekat. Refleks aku mundur hingga punggungku mentok di sandaran kursi. Eh, mau ngapain dia? "Kalau saya gak suka kamu pergi dengan si Fatih, bagaimana?" bisiknya tepat di telingaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD