"Aww!"
"Ah, sorry. Are you okay?"
Amanda menoleh, menatap lelaki yang baru saja menginjak sandalnya dari belakang. Salahkan Amanda juga, yang pergi ke tempat umum menggunakan sandal kebesaran.
Amanda mengangguk, kemudian tersenyum simpul. "I'm okay," ucapnya.
Saat ini, Amanda sedang mengantri di kedai makanan yang sangat ramai pengunjung. Saking ramainya, Amanda harus rela mengantri sepanjang tembok China. Sebenarnya ia sudah lelah, namun ia masih penasaran dengan rasa makanan yang viral akhir-akhir ini.
"Huaaa..."
Amanda langsung menoleh ketika mendengar suara tangisan balita di belakangnya. Terlihat, lelaki yang tadi menginjak sandalnya sedang kesusahan menenangkan balita itu. Entah inisiatif dari mana, tiba-tiba Amanda menawarkan diri untuk membantu lelaki tersebut.
"Boleh saya gendong anaknya?" tanya Amanda.
Lelaki itu terlihat berpikir sebentar, seperti ragu menyerahkan anaknya pada Amanda.
Amanda tersenyum, seakan mengerti apa yang dipikirkan lelaki itu.
"Don't worry, saya bukan penjahat," ujar Amanda.
Anak itu kembali menangis, membuat Amanda langsung mengambil alih anak itu dari gendongan ayahnya.
"Cup... cup. Anak ganteng, udah ya nangisnya," ujar Amanda, seraya menimang anak lelaki yang masih berumur sekitar satu tahun tersebut.
Ajaibnya, anak itu langsung terdiam dan menatap Amanda dengan wajah polosnya. Amanda tersenyum, kemudian mengecup kening anak itu dengan gemas.
"Gemes banget sih. Pipinya gembul, hidungnya mancung, matanya bulat, bibirnya mungil. Aunty pengen gigit kamu, Nak!"
Mendengar ocehan Amanda, balita itu langsung tertawa renyah. Membuat Amanda semakin gemas melihatnya.
Melihat interaksi antara anaknya dengan wanita lain, lelaki itu hanya terdiam seraya tersenyum kecil. Banyak sorot mata yang melihat ke arah mereka, mungkin orang-orang berpikir jika mereka adalah keluarga bahagia.
Lelaki itu berdehem, membuat Amanda langsung melihat ke arahnya. "Ehm. Kamu duduk aja sama anak saya. Biar saya yang pesen makanan," ucapnya.
Tanpa berpikir lama, Amanda langsung menganggukkan kepala. Lagipula kakinya sudah sangat pegal, dan antrian masih panjang. Tidak mungkin ia menolak tawaran yang sangat menguntungkan ini.
"Mau pesan apa?" tanya lelaki itu.
"Ramen yang lagi viral sama es teh manis," jawab Amanda.
"Oke, silahkan duduk."
Amanda berjalan mencari tempat duduk yang masih kosong. Kedai ini memang sangat ramai akhir-akhir ini, berkat kampanye menu barunya yang sukses menarik perhatian publik. Tidak hanya para remaja, mulai dari anak-anak sampai nenek-nenek juga banyak yang mengunjungi tempat ini. Karena selain makanannya yang enak, kedai ini juga menyediakan play ground mini dan beberapa spot foto yang memanjakan mata.
Setelah menemukan tempat yang hanya bisa duduki oleh dua orang, Amanda langsung mendudukkan anak itu di meja, dengan menghadap ke arahnya.
"Dingin ya? Adek nggak bawa jaket?" tanya Amanda.
Anak itu berceloteh, seakan menjawab pertanyaan Amanda. Membuat Amanda tertawa kecil seraya mencubit pipi anak itu pelan.
"Gemes banget sih, ya ampun!"
Udara malam hari memang sangatlah dingin. Amanda heran dengan lelaki itu, yang dengan teganya membawa anaknya pergi ke tempat umum seperti ini pada malam hari.
Lima belas menit kemudian, lelaki itu datang menghampiri Amanda dan anaknya. Dengan membawa satu nampan es yang mereka pesan.
"Ramennya belum?" tanya Amanda.
"Belum. Nanti dianterin," jawabnya. Seraya mendudukkan dirinya di kursi depan Amanda.
"Sini. Sama Papa," ujar lelaki itu, seraya mengangkat anaknya dari meja.
Namun di luar dugaan, anak itu langsung menangis keras saat berada dipangkuan sang Ayah.
Buru-buru Amanda langsung mengambil alih, membuat lelaki itu langsung mendengus kesal.
"Hey, udah Sayang! Cup... cup," ujar Amanda seraya menimang anak itu, berusaha untuk terus menenangkannya.
Dalam sekejap, anak itu langsung terdiam dan kembali mengoceh sembari memainkan rambut Amanda. Hal itu membuat Amanda tertawa kecil, balita yang berada dalam pangkuannya ini benar-benar lucu dan menggemaskan. Rasanya, Amanda ingin membawanya pulang dan ia angkat menjadi anaknya.
Sementara lelaki itu hanya terdiam melihat interaksi mereka. Menatap Amanda dengan tatapan yang tak biasa.
"Siapa namamu?" tanya lelaki itu tanpa basa-basi.
Amanda menghentikan tawanya, kemudian beralih menatap lelaki itu.
"Amanda," jawab Amanda singkat.
"Umur berapa?"
"24."
"Udah kerja?"
Amanda hanya mengangguk. Kemudian ia kembali bercanda ria dengan anak itu.
Satu minggu yang lalu, Amanda memang baru saja di rekrut oleh Food World Company. Perusahaan besar yang bergerak dalam bidang makanan. Dirinya bekerja sebagai "Public Relations", yang bertugas untuk membangun dan mempertahankan citra baik perusahaan dengan melakukan kampanye publisitas.
Selain itu, Amanda juga memiliki beberapa tanggung jawab mulai dari, merencanakan strategi kampanye, memproduksi presentasi untuk siaran pers, hingga mengatur dan menghadiri beberapa acara, seperti promosi, konferensi pers, pameran dan kunjungan perusahaan.
"Kamu suka anak kecil?" tanya lelaki itu lagi.
Lagi-lagi Amanda hanya mengangguk. Ia terlalu asik bermain dengan anak itu.
Merasa terabaikan, lelaki itu memilih untuk membuka ponselnya. Lalu tak lama kemudian, makanan yang ia pesan datang.
"Dua ramen dan dua dimsum ya Pak, Bu," ucap sang pegawai kedai, seraya meletakkan makanan mereka di meja.
"Terima kasih Mbak," balas Amanda.
"Kamu makan aja. Gavin biar sama saya," ujar lelaki itu, seraya mengambil alih anak yang bernama Gavin itu. Beruntungnya, anak itu tidak menangis lagi saat berada dipangkuan Ayahnya.
"Oh, namanya Gavin. Saya sampai lupa, nggak nanya nama," sahut Amanda, seraya terkekeh pelan.
"Ngomong-ngomong, Ibunya Gavin nggak ikut?" tanya Amanda, namun hanya dibalas gelengan oleh lelaki itu yang masih fokus dengan ponselnya.
"Emang nggak papa, kalau kita makan bareng kayak gini? Saya takut disangka pelakor."
Kini giliran Amanda yang terus saja mengoceh. Membuat lelaki itu sedikit geram, karena Amanda belum juga memakan makanannya.
"Makan dulu, ramenmu!"
Amanda mengerucutkan bibirnya. Kemudian langsung memakan ramennya dengan lahap. Sudah lama sekali ia mengidamkan makanan ini. Melihat banyaknya influencer yang mempromosikan makanan ini, membuat Amanda sangat tergoda dan ingin segera mencicipinya. Beruntungnya malam ini ia punya waktu luang untuk mengunjungi kedai yang sangat ramai ini.
Selesai makan, Amanda kembali mengambil Gavin yang sudah meraung-raung, meminta untuk digendong Amanda.
"Gavin kok nggak bawa jaket sih, Nak? Ini kan dingin banget," ujar Amanda.
"Ketinggalan di mobil," sahut lelaki itu.
"Kasian. Nanti kalau masuk angin gimana?" tanya Amanda.
"Ya minum obat," balas lelaki itu dengan enteng.
Amanda berdecak kesal. Ayah macam apa yang tidak peduli dengan kesehatan anaknya. Jika bukan di tempat umum, mungkin Amanda sudah memaki lelaki ini habis-habisan.
Amanda lantas melepas cardigan yang ia pakai, menyisakan dress dengan lengan sebahu. Kemudian ia lilitkan ditubuh kecil Gavin.
Lelaki itu terus memandang Amanda dengan tatapan tak biasa. Sorot matanya yang begitu tajam membuat Amanda sedikit tidak nyaman. Ia lantas menutupi bahunya yang terekspos saat mata lelaki itu beralih menatap bahu polosnya.
"Ah, sorry. Saya kasian sama Gavin, makanya cardigannya saya copot," ujar Amanda, seraya tersenyum canggung.
"No problem. Kamu nggak kedinginan?"
Amanda menggeleng sembari tersenyum. "Yang penting Gavin nyaman," jawabnya.
Lelaki itu berdehem, kemudian kembali berucap yang membuat Amanda sedikit terkejut.
"Ehm. Jadi gini, saya lagi butuh babysitter. Apa kamu mau, jadi babysitter buat Gavin? Saya akan bayar kamu dua kali lipat dari gaji pekerjaan kamu sekarang," ujar lelaki itu.
Tanpa ragu, Amanda langsung menggeleng sembari tersenyum manis. Ia tidak mungkin merelakan pekerjaan yang ia cita-citakan selama ini, hanya untuk menjadi babysitter dari anak orang kaya. Gaji yang ditawarkan oleh lelaki itu tidak ada apa-apanya dengan perjuangan Amanda selama ini. Walaupun nominalnya jauh lebih besar dari gaji pekerjaannya sekarang, namun Amanda sama sekali tidak tertarik. Karena untuk saat ini, Amanda masih sangat mencintai pekerjaannya.
Susah payah ia berjuang untuk mendapatkan posisinya sekarang. Tidak mungkin kan, kalau ia lepaskan begitu saja? Kecuali jika lelaki itu menawarkan gaji 100 juta perbulan, Amanda tidak akan berpikir dua kali.
"Maaf. Tapi pekerjaan saya lebih berharga," tolak Amanda.
"Emangnya kamu kerja di mana?"
"Di perusahaan makanan."
"Berapa gajinya?"
"Lima juta perbulan."
"Saya akan gaji kamu tiga kali lipat."
Lagi-lagi Amanda menggeleng sembari tersenyum.
"Empat kali lipat?" tawar lelaki itu lagi.
"Anda kenapa memaksa sekali? Masih banyak babysitter yang butuh pekerjaan di luar sana," kesal Amanda.
"Gavin udah nyaman sama kamu."
"Maaf, Pak. Saya nggak bisa."
"Bukannya uang itu lebih penting dari pekerjaan? Lepasin aja pekerjaanmu, dan terima tawaranku," bujuk lelaki itu, membuat Amanda langsung menatapnya tak suka.
Susah payah ia mengerjakan jurnal, proposal, dan skripsi saat masih kuliah, demi bisa mendapatkan gelar yang dapat mengantarkannya ke perusahaannya sekarang. Tapi dengan mudahnya, lelaki asing ini menyuruhnya untuk melepas pekerjaan yang sangat ia cintai.
Lelaki itu lantas mengeluarkan id card dari kantongnya, dan menyerahkannya pada Amanda. Di id card itu tertera nama "Jeffrey Antonio" beserta nomor telepon, email dan juga alamat rumahnya. Di bawah namanya, tertera nama jabatan "Presiden Direktur". Namun tidak tertera nama perusahaan tempat lelaki ini bekerja.
"Hubungi saya, kalau kamu minat," ujar lelaki itu, seraya mengambil alih Gavin yang sudah tertidur dipangkuan Amanda.
"Terima kasih atas tawarannya, Pak Jeffrey. Tapi maaf, saya benar-benar tidak bisa," balas Amanda seraya tersenyum simpul. Lalu ia kembalikan kartu itu kepada pemiliknya.
"Bawa aja. Siapa tau, nanti butuh," ujar Jeffrey dengan wajah datarnya.
Amanda menghembuskan napasnya kasar. Lelah sekali, menghadapi orang keras kepala seperti ini.
"Saya pulang dulu," pamit Jeffrey, yang hanya diangguki oleh Amanda.
Setelah Jeffrey pergi. Amanda memijat keningnya yang mendadak pusing. Bertemu dengan lelaki setampan dan segagah Jeffrey, tentu saja membuat hati Amanda sedikit bergetar. Jujur saja, ia sempat terpesona dengan ketampanan lelaki itu, bahkan ia seringkali mencuri pandang untuk sekedar melihat pahatan sempurna di wajah Jeffrey. Namun mengingat bahwa lelaki itu sudah memiliki anak, Amanda membuang jauh-jauh perasaannya. Ia tidak mau jatuh hati pada pria yang sudah beristri.
Amanda memasukkan id card itu ke dalam tasnya. Ia harus pulang sekarang, dan harus segera tidur. Karena besok pagi ada jadwal konferensi pers bersama dengan para petinggi perusahaan.
"Amanda..." Amanda yang sedang menunggu angkutan umum langsung menoleh ke arah sumber suara. Dan betapa terkejutnya dia, saat menyadari siapa orang yang baru saja memanggilnya.