“Pegang ini,” ucap Igor sambil menyerahkan sebuah pistol berjenis semi otomatis pada Jennifer.
Kedua bola mata Jennifer membola. “Kita pakai pistol betulan?” tanyanya memastikan.
Igor mendengus, mengambil satu pistol lain dengan jenis yang sama. “Kamu pikir kita main-main di sini? Tidak, Jen. Tidak ada simulasi dalam kamus hidupku. Dalam latihan pun, aku menggunakan senjata asli.”
Igor mengisi pistolnya dengan peluru, mengambil penutup telinga dan memasangkannya pada Jennifer. Ia menyeringai, mencubit hidung Jennifer pelan. “Tunjukkan keahlianmu, Dok,” ucapnya sedikit mencibir.
Jennifer mengerutkan hidungnya dan memicingkan mata. “Lihat saja,” candanya dengan ekspresi jumawa.
Tawa Igor meledak seketika saat melihat ekspresi Jennifer. Ia merengkuh pinggang Jennifer dan menunduk, mengecup lembut ujung hidungnya sebelum mundur selangkah, memberi ruang bagi sang wanita untuk mulai menembak.
“Impress me,” kata Igor sambil menyeringai lebar, menantang. Ia juga segera mengenakan penutup telinga, bersiap menyaksikan kebolehan Jennifer dalam menembak.
Jennifer mengambil ancang-ancang, memegang pistol dengan mantap, mengarahkannya pada target yang berjarak sepuluh meter lebih. Ia menelan ludah, sesuatu dalam dirinya menggeliat gelisah. Genggaman tangannya pada pistol itu mengerat. Ia jelas tak bisa mengelabui Igor. Namun satu hal yang ia syukuri, Igor memilih pistol sebagai senjata pertama yang harus ia coba.
Dor!
Peluru melesat cepat, asap tipis mengepul dari moncong pistol Jennifer. Dan kurang dari satu detik, peluru itu telah menancap pada ‘bahu’ target.
Igor memicing. “Tidak sebagus yang aku duga,” ejeknya.
Mendengar itu, Jennifer justru menghela nafas lega. Gesturnya samar, tapi sepertinya tetap tertangkap oleh Igor.
“Lagi,” pinta Igor dingin. Tatapan matanya pun berubah tajam. “Targetkan kepalanya.”
Jennifer menarik nafas dalam dan mengangguk. Ia mengambil posisi menembak sekali lagi dan melepaskan tembakan. Kali ini mengenai area di luar target.
Igor mendengus kesal. “Kamu main-main denganku, Jen?” tudingnya tajam.
“Aku tidak mungkin bisa membohongimu, Igor. Apalagi soal keahlian seperti ini, sulit untuk mengelabuimu, kan?”
Hening sesaat, Igor terlihat mempelajari ekspresi Jennifer, sebelum akhirnya mengangguk. “Kamu benar. Kalau begitu, kamu akan terus berlatih menembak sampai mahir.”
“Apa?!” Jennifer terbelalak. “Kenapa harus?”
“Untuk melindungi dirimu sendiri, Jen.” Igor melepas penutup telinganya. “Tapi untuk sekarang, kita akan mencoba senjata lain,” imbuhnya kemudian berlalu dari hadapan Jennifer.
Jennifer menatap kepergian Igor sambil meletakkan pistol kembali ke tempatnya dan melepas penutup telinga. Menunggu senjata apa yang akan Igor bawa kali ini.
Tak lama kemudian, Igor telah kembali dengan sebuah kotak berwarna abu-abu tua. Ia meletakkannya di atas meja dan membukanya. Satu set pisau lempar tersusun rapih di sana. Dari ukuran paling kecil hingga paling besar, dan tak lupa ada shuriken juga di sana.
Kedua bola mata Jennifer membulat seketika. “Kamu memintaku untuk melempar semua ini?”
Igor mengangguk, mengambil pisau lempar paling besar yang seukuran dengan belati yang pernah dilempar Jennifer ke d**a Leonid. “Kita mulai dari ini.”
Jennifer menarik nafas dalam. Ini sulit dan rumit, Jennifer tak akan bisa mengelabui dirinya sendiri. Meski begitu, ia tetap mengambil pisau lempar dari tangan Igor.
“Targetkan jantungnya,” ucap Igor dingin sambil menyedekapkan tangan di depan d**a. Mata elangnya terkunci pada Jennifer. Wanita itu takkan bisa menyembunyikan apapun dari Igor.
“Oke.” Jennifer mengangguk dan sekali lagi mengambil ancang-ancang, ia memegang pisau lempar sedemikian rupa dan melemparnya.
Jleb!
Ujung tajam pisau itu menancap telak di ‘jantung’ target. Membuat kedua mata Igor memicing dan rahangnya mengetat.
“Lemparkan semuanya, targetkan di jantung dan keningnya!” perintah Igor tegas dan dingin.
Jennifer hanya mengangguk dan menuruti perintah Igor tanpa banyak bicara.
Sepuluh menit berlalu, semua pisau lempar di dalam kotak itu telah berpindah ke target di depan sana. Posisinya berhimpitan di area ‘kening’ dan ‘jantung’ target.
Igor menggertakkan giginya. Tatapannya semakin tajam. Ia maju memangkas jarak, berdiri menjulang di hadapan Jennifer. Matanya menyipit saat menatap wanita cantik itu penuh selidik.
“Terakhir, lemparkan shuriken itu,” desisnya dingin. “Targetkan di tenggorokan.”
Nafas Jennifer tertahan seketika. Itu area yang cukup kecil dibanding kening dan jantung. Namun ia mengangguk, terlalu terlena dengan atmosfer menegangkan di ruangan itu.
Jennifer mengambil tiga buah shuriken, menyelipkannya di antara jari-jarinya.
“Kamu akan melemparkan ketiganya sekaligus?” tanya Igor skeptis.
Jennifer mengangguk. Lantas ia menekuk sikunya 90 derajat dan melemparkan tiga shuriken itu ke arah target.
Telak mengenai kerongkongan target!
Kedua mata Igor melebar. Dan kurang dari satu detik, ia telah merangsek maju, mendorong tubuh Jennifer ke dinding, mengurungnya dengan tubuhnya sendiri dengan kedua tangan Jennifer terperangkap di dalam genggaman tangan besar Igor.
“Siapa kamu sebenarnya, Dok?!” desis Igor penuh penekanan.
Jennifer menelan ludah, dadanya naik turun dengan cepat karena nafasnya memburu. “Aku dokter spesialis jantung, Igor.”
“Pembohong!” teriak Igor murka.
“Aku serius! Aku memang punya bakat melempar sesuatu dengan tepat sasaran! Kalau kamu tidak percaya, tanyakan saja pada pengasuhku di panti asuhanku dulu!” Jennifer balas berteriak geram.
Igor memicingkan mata curiga, tampak skeptis dengan pernyataan Jennifer.
“Namanya nyonya Dema.” Jennifer menambahkan. “Aku yakin dia masih bekerja di panti asuhan yang sama sampai sekarang.”
***
Ruang pesta kastil St. Petersburg, tempat perayaan ulang tahun putri mahkota The Bratva diadakan. Sesuai ucapan Igor, ia mengajak Jennifer untuk menghadiri perayaan ulang tahun mewah itu.
“Kamu sudah membawa semuanya?” bisik Igor pada Jennifer yang berjalan di sampingnya, lengan ramping wanita itu mengalung di sekitar lengan kekarnya.
Jennifer mengangguk, yang segera disambut seringai puas dari Igor.
Sehari setelah Jennifer mengatakan soal nyonya Dema, Igor langsung menyuruh anak buahnya menginterogasi yang bersangkutan. Dan seperti yang disebutkan Jennifer, nyonya Dema juga bersaksi hal yang sama. Sejak berusia sepuluh tahun, bakat Jennifer dalam melempar sudah terlihat. Karena itu, nyonya Dema menyewa seorang pelatih untuk terus mengasah bakat Jennifer.
Hanya saja, memasuki usia dewasa, Jennifer mulai menggeluti hobi dan bakatnya dalam ranah yang berbeda. Yaitu melempar senjata tajam.
“Untuk pertahanan diri,” aku Jennifer saat ditanya alasannya. Dan hari ini, Igor meminta Jennifer untuk menyembunyikan beberapa pisau lempar dan shuriken di balik gaun merahnya.
“Just in case,” jawab Igor saat Jennifer bertanya mengapa.
Dua orang anak buah The Bratva membuka pintu ruang pesta, membiarkan para tamu undangan masuk ke ruangan mewah dan megah itu.
Musik klasik yang mengalun merdu segera menyambut pendengaran Igor dan Jennifer. Mereka berjalan bersisian, masih saling merangkul lengan, menuju meja yang telah disediakan.
Igor menyapu ruangan, mencari wajah-wajah yang ia kenal. Dan tatapannya berhenti pada sosok Anatoli yang juga hadir malam itu. Sebuah seringai tipis terbit di wajahnya. Ia sudah menduga hal ini, pun sesuatu yang akan terjadi nanti. Karena itu ia sengaja mengajak Jennifer. Memberi pengalaman tak terlupakan pada dokter cantik yang menjadi tawanan kesayangannya itu.
Namun sayang, sepandai-pandainya Igor memprediksi sesuatu, tetap saja ada hal yang tidak ia duga terjadi. Seperti yang satu ini.
“Hadirin yang terhormat, dimohon tenang karena sebentar lagi Tuan Sergei Ivankov dan putri kesayangannya, Anastasia Ivankov akan segera memasuki ruangan.” Seorang pria mengenakan jas lengkap berbicara dari ujung anak tangga.
Musik klasik yang mengalun merdu kini berubah semakin lembut. Orang-orang mulai memasang mata pada pintu masuk di ujung tangga, menunggu kehadiran pemilik acara ini. Begitu juga dengan Igor dan Jennifer.
Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya dengan rambut yang sebagiannya telah memutih melangkah masuk ke ruang pesta. Ia mengenakan setelan jas berwarna hitam pekat, lengannya menggandeng sesosok wanita cantik dengan mata bulat, hidung mancung, dan bibir penuh kemerahan. Kecantikannya membuat semua orang terpesona.
Untuk pertama kalinya, putri mahkota The Bratva, Anastasi Ivankov menunjukkan dirinya ke publik.
“Cantik sekali,” lirih Jennifer. Bahkan ia yang perempuan saja tak bisa mengalihkan tatapannya dari Anastasia.
Igor hanya mendengus dan menggelengkan kepalanya. Masih memasang tampang serius saat melihat Sergei dan Ana terus menuruni anak tangga.
Anastasia tersenyum manis, berjalan anggun di samping papanya sambil menyapukan mata indahnya ke seluruh ruangan. Sampai akhirnya, matanya bersitatap dengan Igor.
“Papa,” bisik Ana sambil sedikit mencondongkan tubuhnya pada Sergei.
“Ya, Sayang?”
“Siapa pria itu?” tanya Ana tanpa mengalihkan tatapannya dari Igor.