"Mas Darren kenal sama sekretarisnya Mas Tama?" tanya Yunita di tengah perjalanan mereka menuju ruangan Tama.
Darren hanya tersenyum, tidak langsung menjawab pertanyaan Yunita. Pria itu membuka pintu saat keduanya tiba di depan ruangan Tama, masuk kedalam di ikuti oleh Yunita.
"Ren, tumben kesini?" Tama menatap Darren, menjabat tangan sahabatnya itu.
"Cuman iseng mampir." Darren langsung duduk di atas sofa ruangan Tama setelah berjabat tangan.
"Kamu masih sibuk, Mas?" tanya Yunita, menyela percakapan keduanya.
"Hm, " jawab Tama seadanya, "Mau makan siang bareng?"
"Boleh, Mas. Tapi aku enggak ngajak Kaila, aku takut dia lupa makan di sekolah, aku khawatir Kaila sakit lagi."
"Kaila sekolah?" tanya Darren yang sedari tadi hanya duduk di pojokan.
"Iya, padahal masih belum sehat sepenuhnya, tapi Kaila maksa pengen sekolah." Yunita tersenyum saat mengingat putrinya yang merengek ingin pergi ke sekolah tadi pagi.
Tama, Darren dan Yunita adalah teman masa kecil yang tumbuh bersama. Berbeda dengan Tama dan Yunita, keluarga Darren pindah ketika ia berusia 12 tahun dan sejak itu hanya tinggal Tama dan Yunita yang sering bermain bersama.
"Gak pa-pa, Kaila anaknya pinter." Tama juga ikut tersenyum. Lalu ia mengalihkan tatapannya pada Darren, "Mau ikut makan siang bareng?"
Darren menggelengkan kepalanya pada mereka berdua, "Gue bawa makan siang gue sendiri."
Tama mengangkat alisnya, menatap Darren dengan bingung. Tapi ia tidak lagi bertanya karena itu adalah urusan Darren sendiri. Tama menatap Yunita yang juga mendudukkan dirinya di sofa, tepat di sebelah Darren.
"Kalau gitu tunggu aku selesai, nanti kita makan siang bareng."
Yunita mengangguk, dengan senang hati menunggu Tama menyelesaikan pekerjaannya. Darren di sisi lain membuka aplikasi chat di ponselnya.
Darren: Saya lapar.
Pesan itu terkirim pada kontak yang Darren beri nama 'Anisa'. Menunggu sebentar, sebuah pesan balasan masuk pada handphone Darren.
Annisa: Makan kalau lapar.
Darren membalas lagi.
Darren: Saya pengen makan kamu.
Anisa: Hah? Pak dokter makan manusia?
Darren: Iya, saya pengen makan kamu di ranjang sampai kamu menjerit keenakan.
Anisa: Bapak sudah punya istri, kalau ngomong hati-hati!
Darren: Istri saya, kan, kamu.
Anisa: Masa bodo!
Melihat balasan terakhir dari Anisa, Darren tertawa kecil, pria itu sama sekali tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Bagaimana bisa ada seseorang semanis ini? Ia benar-benat bingung.
"Mas lagi chattingan sama siapa?"
Yunita tiba-tiba mencondongkan tubuhnya kearah Darren, seolah ingin melihat isi dari ponselnya. Darren dengan cepat menutup aplikasi chat, tidak membiarkan Yunita melihat apapun.
"Enggak, habis mengingatkan sopir buat parkir yang bener," jawab Darren dengan senyuman.
Yunita membuat suara 'ah' pelan, tapi dia tidak puas dengan respon Darren yang seolah menyembunyikan sesuatu darinya. Mereka adalah sahabat masa kecil, seharunya tidak ada rahasia yang harus di sembunyikan. Bahkan Yunita mulai membenci Tama karena akhir-akhir ini Tama menjauhinya. Itu pasti karena hasutan dari Nadin.
Selesai bekerja, Tama dan Yunita pergi ke restoran terdekat untuk makan siang. Anisa tidak mengikuti bosnya karena Yunita tidak ingin siapapun ikut dengannya dan Tama.
"Lagaknya udah kaya istrinya aja!" gumam Anisa melihat keduanya masuk kedalam lift.
"Siapa?" tanya Darren yang datang tiba-tiba dari belakang setelah kepergian Yunita dan Tama.
"Astaga!" Anisa mengelus dadanya dengan pelan, "Ngagetin saya aja." Anisa pergi ke ruangannya setelah mengatakan itu.
Darren mengikuti Anisa masuk kedalam ruangannya, wanita itu sama sekali tidak mempedulikan Darren, ia duduk di atas kursi sambil melihat-lihat iPad.
"Ini jam makan siang, kenapa kamu masih di sini?" tanya Darren, berdiri di depan meja Anisa.
"Saya belum lapar," jawab Anisa seadanya.
"Oya? Tapi saya lapar." Saat mengatakan itu Darren mengelus paha putih Anisa bolak-balik.
Dielusnya dengan pelan dan sensual, membuat Anisa mengalihkan perhatiannya dari iPad yang dia pegang pada Darren.
"Kalau lapar, Bapak seharusnya ikut sama Bu Yunita dan Pak Tama, bukan pegang-pegang paha saya."
Darren tersenyum begitu manis pada Anisa, "Bukannya saya sudah bilang kalau saya pengen makan kamu?"
Anisa memutar bola matanya dengan malas. Ia menaruh kembali iPad yang ia pegang, lalu kedua tangannya menarik kerah kemeja yang Darren pakai hingga pria itu membungkuk kearahnya.
"Bapak enggak takut istri bapak tau, hm?" Anisa bertanya dengan anda menggoda. Wajahnya begitu dekat dengan wajah Darren hingga hidung mancung keduanya hampir bersentuhan.
"Saya lebih takut enggak bisa makan kamu sekarang."
***
Nadin: Mas, kamu mau makan siang di mana?
Sebuah pesan dari Nadin datang yang bertanya pada Tama. Tama melirik Yunita yang sedang menikmati makan siangnya, sesekali mengoceh pada Tama dan membiarkan Tama mencicipi makanan yang ia pesan.
Tama: Aku makan siang di kantor, hari ini Darren datang ke perusahaan, kita makan siang bareng.
Diseberang sana, Nadin menghela nafas saat melihat balasan Tama. Nadin tau siapa Darren, dia adalah seorang dokter di rumah sakit besar milik keluarga Darren sendiri. Meski Darren adalah sahabat Tama, tapi pertemuan Nadin dan Darren hanya bisa di hitung jari, dia jarang bertemu dengan pria itu.
Nadin menatap pintu utama rumah, berpikir bahwa putrinya sebentar lagi akan kembali dari sekolah, Nadin memasak makanan untuk dua orang. Dan benar saja, belum Nadin menyelesaikan masakannya, suara deru mobil terdengar dari luar di iringi dengan suara Dinda yang memanggil Nadin dengan riang.
"Mama!"
"Anak Mama sudah pulang." Nadin tersenyum, menyambut kepulangan putrinya, "Dinda lapar?"
"Lapar, Ma! Dinda lapar banget!"
"Ayo ganti baju dulu, terus nanti Dinda ke dapur. Mama sudah masak makanan enak buat Dinda."
"Makasih Mama!" Dinda mengecup pipi Nadin yang membuat wanita itu tersenyum.
Beberapa menit kemudian, ibu dan anak itu sudah duduk di meja makan untuk menikmati makan siang mereka. Nadin memakan makanannya sambil memegang ponsel, mengirim pesan pada Anisa.
Nadin: Mas Darren datang ke perusahaan Mas Tama?
Selang beberapa saat, balasan dari Anisa datang.
Anisa: Iya.
Nadin: Mereka makan siang bareng?
Anisa: Enggak tuh, Suami lo makan siang sama si pengangguran Yunita itu. Memangnya kenapa?
Nadin terdiam, tidak lagi membalas pesan dari Anisa. Wanita itu menggenggam ponselnya dengan erat, tidak menyangka bahwa Tama akan mulai berbohong padanya.
"Mama kenapa enggak makan?" tanya Dinda yang melihat ibunya dengan heran.
"Mama makan, kok." Nadin memakan makanannya, menahan amarahnya di dalam hati.
Benar-benar, bukankah Tama Yanga mencari keributan dengan dia? Berbohong mengatakan bahwa Tama makan siang bersama Darren namun ternyata Tama sedang bersama Yunita. Benar-benar keterlaluan. Nadin ingin marah, tapi tidak pantas rasanya menunjukan kemarahan pada anak kecil seperti Dinda.
Sabar Nadin, Sabar.