RENO ADNAN

1198 Words
"Na, aku pulang!" seru Tama yang baru saja masuk kedalam rumahnya. Nadin menghampiri sang suami seperti yang biasa ia lakukan, namun kali ini tidak ada senyum di bibir Nadin, ia mengambil alih tas kerja Tama lalu melenggang pergi dari sana. Tama menatap istrinya dengan tatapan bingung, tidak biasanya Nadin memperlakukan dia seacuh ini. "Kamu kenapa?" tanya Tama sambil mengikuti langkah kaki Nadin dari belakang. Nadin masih mengabaikan Tama, dia menaruh tas kerja Tama di tempatnya. "Sayang," panggil Tama, ia hendak meraih tangan Nadin namun kaget saat Nadin mengibaskan tangannya. Tama menatap Nadin dengan bingung, tidak kuat menghadapi istrinya yang acuh, "Kamu kenapa? Kenapa marah sama aku?" "Kamu mendingan mandi dulu, ini udah sore." Alih-alih menjawab pertanyaan suaminya, Nadin malah menitah Tama untuk mengalihkan pembicaraan. "Aku enggak akan mandi kalau kamu enggak cerita kenapa!" ujar Tama dengan keras kepala. Nadin membalikan tubuhnya untuk menatap Tama, manik mata hitam Nadin menatap Tama dengan raut wajah tanpa ekspresi. "Kenapa kamu bohong sama aku?" tanya Nadin. "Bohong apa?" Tama menatap Nadin dengan bingung, masih belum mengerti kemana arah pembicaraan sang istri. "Bohong soal makan siang sama Mas Darren, kenyataannya kamu makan siang sama Yunita, kan?" Tubuh Tama tiba-tiba membeku, ia tidak menyangka bahwa hal itu yang menjadi maksud Nadin. Tama menelan ludahnya melihat tatapan tajam sang istri, jarang bagi Nadin untuk bersikap semarah ini padanya, bahkan hampir tidak pernah. Walaupun Tama dan Nadins ering berdebat, tapi pada akhirnya Nadin yang selalu mengalah, tidak pernah bagi Nadin untuk menatap ya seperti ini. "A-aku." Tama tidak tau bagaimana harus menjawab. "Kenapa, mas? Apa yang coba kamu sembunyikan dari aku?" "Aku enggak menyembunyikan apapun!" Tama menyangkal. "Terus kenapa kamu bohong?" "Itu, itu karena aku takut kamu marah, kamu selalu marah kalau soal Yunita." "Kamu tau aku suka marah kalau kamu terlalu dekat dengan Yunita, tapi kenapa kamu masih enggak ngerti? Kenapa kamu masih deket-deket sama dia?!" "Na, kita cuma makan siang bareng, sehabis itu aku balik keperusahaan dan Nita juga balik ke butiknya." Nadin menatap Tama dengan tatapan intens. "Beneran, cuma itu. Bukannya akhir-akhir ini aku juga lebih sering menghabiskan waktu di rumah? Aku cuma pergi makan siang sama dia, kenapa kamu semarah ini? Menghela nafas, Nadin mencoba untuk menenangkan hatinya yang berkecamuk mendengar apa yang Tama ucapkan. "Besok aku enggak akan masak sarapan, aku ada janji buat lari pagi sama Mas Reno, kita akan makan bubur langganan di Taman." Nadin membalikan badan setelah mengatakan itu, dia berjalan hendak keluar dari kamar tidur saat Tama memegang lengannya. "Reno? Enggak, aku enggak mengizinkan kamu!" Tama marah mendengar apa yang Nadin katakan. "Kenapa kamu marah cuma buat hal sepele kaya gini? Jelas aku sama Mas Reno cuma mau sarapan di deket sini!" Nadin mendelik pada Tama. Tama tau bahwa Nadin membalas kata-katanya sebelumnya. Meski ia tau, Tama tetap saja merasa marah dan tidak mau istrinya pergi berdua dengan pria lain. Pria itu, Reno yang Nadin maksud adalah kakak tingkat Nadin semasa kuliah dulu. Sebelum Tama dan Nadin berpacaran, Nadin sudah dekat dengan Reno yang notabenenya adalah Senior Nadin di saat ia ospek. "Pokoknya aku enggak mengizinkan!" Tama kekeh, tidak mau Nadin bertemu dengan Reno. Nadin bersikap tidak peduli, ia melepaskan genggaman tangan Tama pada dirinya lalu melenggang pergi keluar dari kamar. *** Di malam hari, Nadin yang masih terjaga berbaring di atas tempat tidur sambil membelakangi Tama. Wanita itu bermain dengan ponselnya, ragu apakah ia harus menghubungi Reno atau tidak. Nadin menoleh kearah Tama yang sudah tertidur pulas, lalu ia beranjak dari tempat tidur, pergi ke balkon untuk menelpon Reno. Setelah dua kali mencoba, panggilan telepon akhirnya diangkat oleh Reno. "Halo, Na?" Suara Reno terdengar di seberang sana. "Halo, Mas. Maaf ganggu malam-malam begini." "Enggak pa-pa, aku juga belum tidur kok. Ada apa?" tanya Reno. Nadin ragu apakah ia harus melakukan hal seperti ini atau tidak. Nadin merasa ia telah banyak merepotkan Reno. "Um, kita bisa ketemu gak, Mas? Di taman besok pagi?" Reno tidak tinggal jauh dari sini, keduanya masih berada di komplek perumahan yang sama namun tempat tinggal Reno berada cukup jauh dari rumah yang Nadin dan Tama tempati. "Soal Tama lagi?" Nadin tidak tau bagaimana harus menjawab. "Okey, besok pagi aku tunggu kamu di depan gerbang rumah ya." "Makasih, Mas." Setelah itu sambungan telepon terputus. Nadin menghela nafas lega lalu kembali ke tempat tidur. Keesokan harinya, pukul enam pagi, seperti apa yang Nadin katakan pada Tama kemarin, ia tidak memasak sarapan atau lebih tepatnya hanya memanggang roti dan menggoreng telur untuk sarapan Tama dan Dinda. Ketika Tama dan Dinda sedang memakan rotinya, Nadin berjalan keluar dengan pakaian joging. "Mama mau kemana?" tanya Dinda, menatap bingung pada sang ibu. "Mama mau keluar sebentar, Dinda nanti langsung berangkat aja sama Pak Mamat, ya. Bekalnya sudah mama siapkan di tas," jawab Nadin. Meski bingung, Dinda tetap mengangguk mengerti. Di sisi lain Tama bangkit berdiri dari kursinya, mencoba menghentikan Nadin yang hendak keluar. "Aku bilang kalau aku enggak mengizinkan kamu keluar sama laki-laki lain, Nadin." Nadin berpura-pura tidak mendengarkan Tama. "Na, kamus serius? Aku cuma makan siang sama Nita dan kamu kaya gini-" "Aku juga cuma mau joging bareng sama Mas Reno, kenapa kamu yang sewot sih?! Toh aku juga enggak pernah sewot kalau kamu pulang malam karena nemenin Yunita seharian." "Aku dan Yunita udah berteman sejak kecil!" Nadin bersikap acuh, dia keluar dari rumah dengan Tama yang mencoba menghentikannya. "Na!" Di luar, lebih tepatnya berdiri di dekat pos satpam, Reno melambaikan tangan pada Nadin. Ia juga sudah memakai pakaian joging lengkap dengan topinya. Nadin tersenyum, bergegas menghampiri Reno. Tama berdiri di tempatnya, istrinya dan Reno melenggang pergi dari sana. d**a Tama naik turun karena marah, ini adalah kali pertama Nadin tidak mau mendengarkan dia sebagai seorang suami. Dan pria bernama Reno itu, jelas dia mengetahui bahwa Nadin sudah memiliki anak dan suami tapi masih berani datang kerumahnya untuk menyusul Nadin. *** "Maaf, ya, Mas," ucap Nadin pada Reno, keduanya sedang berada di taman sekarang, duduk di kursi yang disiapkan penjual bubur ayam untuk pelanggan yang datang dan makan di tempat. "Enggak pa-pa, lagian aku juga biasanya memang pergi joging jam segini." Reno tersenyum, menenangkan Nadin yang merasa bersalah karena merepotkan Reno. Nadin memakan bubur ayam di depannya dengan pelan. "Kamu bahagia, Na?" Tanya Reno secara tiba-tiba. Menoleh, Nadin menatap Reno yang sekarang tengah menatapnya. Keduanya bertatapan sebelum akhirnya Reno terkekeh pelan sambil memalingkan wajah. "Aku enggak bermaksud apa-apa, cuma nanya apa kamu bahagia atau enggak." Nadin tersenyum kecil, menjawab pertanyaan Reno, "Aku bahagia." Terutama karena putri kecilnya, Dinda. "Syukurlah." Reno mengangguk-anggukan kepalanya, "Tama masih sering jalan sama Yunita?" "Yunita sahabatnya, aku enggak bisa terlalu melarang Mas Tama untuk menemani atau menolong Yunita." "Kamu berhak, Na. Kamu istrinya. Orang yang paling berhak melarang Tama bertemu dengan wanita lain, sekalipun itu adalah sahabatnya, itu adalah kamu," ujar Reno. Nadin tidak mengatakan apapun lagi, dia tidak ingin membicarakan hal itu sekarang. Keduanya selesai sarapan dan berkeliling sebentar sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali. Di saat Nadin kembali, Tama serta Dinda sudah tidak ada di rumah dan kini hanya ada ia. Nadin membereskan mangkuk serta piring bekas sarapan anak dan suaminya, setelah itu ia pergi kelantai atas untuk mandi. Tubuhnya berkeringat padahal ia dan Reno hanya berkeliling Taman. Tidak berlari sama sekali. Hah, benar saja, mungkin Nadin harus banyak berolahraga mulai sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD