BAB.15

1253 Words
Aku terkulai lemas di mejaku. Ruhku serasa lepas dari ragaku sejak kemarin. Aku baru menyadari bahwasanya aku janjian dengan dua cowok di waktu yang bersamaan. Walaupun alasan janjiannya beda, tetap saja aku dilema. Inikah rasanya memilih di antara dua pilihan? Aku harus mengambil keputusan. Aku harus memilih salah satunya meskipun itu artinya ada salah satu pihak yang harus aku kecewakan. Aku harus adil dalam menentukan siapa yang akan aku pilih. Oleh karena itu, aku sudah berkonsultasi dengan Elvira, adikku yang masih SMP kelas 8 tapi berpikiran seperti anak kuliahan semester akhir. Otaknya sungguh sudah mendekati monopause saking 'tua'nya. "Jadi, kakak mau curhat apa?" tanya Elvira saat melihatku hanya berdiri kaku di hadapannya selama 10 menit. "Hm," aku masih berpikir. Ragu. "Elvira harus belajar, kak! Cepetan napa kalau mau curhat!" desak Elvira. "Anu, Vir! Hm," aku terdiam kembali. Keraguan itu sungguh menakutkan. Semua rangkaian kata yang kususun berjam-jam sirna seketika. "Kak, kalau nggak mau curhat keluar sana! Ganggu!" keluh Elvira. Aku menghela napas pasrah. "Yaudah, kakak ceritanya kalau Elvira habis belajar aja ya!" ucapku. Elvira manyun. "Kak, habis belajar Elvira tidur!" "Kalau gitu besok pagi aja," tawarku lagi. "Besok Elvira masuk pagi, ada ulangan plus piket kelas! Nggak ada waktu dengerin kakak curhat!" tolak Elvira. "Yah.. Kok gitu sih? Jahatnya!" protesku. "Kakak tuh yang jahat, dari tadi berdiri deket Elvira, udah kayak mbak Asih di film horor!" keluh Elvira. "Dih jahat! Muka kakak nggak seseram itu tauk!" sahutku. "Yaudah, makanya buruan cerita! Kalau nggak mau cerita keluar aja sana!" usir Elvira dengan suara tegas. Aku menghela napas dan duduk di kasur Elvira. Sementara adikku itu duduk di kursi meja belajarnya. Dia hanya memutar posisi duduknya untuk melihatku. "Ada apa?" tanya Elvira dengan suara yang tiba-tiba lembut. "Hm, kakak galau!" jawabku sambil menundukkan kepala. "Heh? Pffttt," Elvira mulai ketawa geli. "Dih malah ketawa, kakak galau beneran ini!" protesku. Elvira pun mulai mencoba menahan tawanya. "Maaf, maaf, habis kakak aneh!" ujar Elvira. "Aneh? Apanya?" tanyaku tidak mengerti. "Kakak itu kan nggak punya pacar, sahabat kakak pun baik, nilai kakak dari dulu emang rata-rata, trus galaunya kenapa?" jawab Elvira balik nanya. "Kakak diajak kencan sama dua cowok sekaligus!" ucapku. "Bohong amat!" sanggah Elvira. "Serius!" kataku meyakinkan. "Cowoknya waras?" tanya Elvira. Aku mengangguk. "Jelek?" tanya Elvira lagi. "Ganteng, kok!" jawabku. "Dua-duanya?" tanya Elvira masih tidak percaya. Aku mengangguk mengiyakan. "Mustahil!" Aku menyipitkan mataku, kesal. "Serius, kok! Mereka berdua waras dan ganteng parah!" kataku menegaskan. "Kakak guna-guna?" tanya Elvira ngaco. "Nggak lah, kau pikir aku cewek apaan!" bantahku tegas. "Ternyata pepatah itu benar!" kata Elvira dengan ekspresi kagum. "Pepatah apa?" tanyaku bingung. "Kalau akan ada masanya cowok ganteng jadi agak gila karena cinta pada cewek jelek!" jawab Elvira. Aku bangun dari dudukku lalu menjitak pelan kepala Elvira.   "Kakak ini cantik tauk!" sanggahku. Elvira memonyongkan bibirnya sebagai tanda protes. "Cantik kalau dipandang dari lubang hidung Pinokio!" dengus Elvira. "Dasar!" Elvira nyengir. "Jadi, apa yang ngebuat kakak bingung?" tanya Elvira kembali fokus pada topik. "Aku nggak tahu mau jalan sama siapa," jawabku. "Kenapa harus milih salah satu? Embat aja dua-duanya!" usul Elvira. "Maunya gitu, tapi dua-duanya nggak akur!" "Jadi beneran harus milih salah satu nih?" tanya Elvira. Aku mengangguk. "Coba kasih gambaran cowoknya gimana!" pinta Elvira. Aku berpikir sejenak, mencoba merangkai kata untuk menggambarkan kedua makhluk Tuhan paling ganteng itu. "Jadi, cowok pertama itu kakak kelas kakak. Orangnya ganteng, tinggi, putih dan yang paling menggoda iman adalah senyuman dari bibirnya yang merah merekah bak anggur merah itu!" kataku mulai menggambarkan mas Angga. "Hm, dia suka kakak?" tanya Elvira. Aku mengangkat kedua bahuku. "Nggak tahu," "Kok bisa nggak tahu?" tanya Elvira heran. "Dia bilang kalau ngajak kakak kencan buat mastiin dia suka kakak apa nggak," jawabku jujur. "Oh, oke! Lanjut!" "Cowok kedua teman sekelas kakak. Dia cowok BBF yang nyebelin tapi ganteng!" "Ah, kak Alfa!" kata Elvira santai. "Loh kok tahu?" tanyaku heran. "Cuma kak Alfa yang kakak julukin cowok BBF!" jawab Elvira. "Ah! Tapi kok tahu? Kakak kan nggak pernah cerita!" tanyaku lagi. "Oh, Elvira nggak sengaja denger!" jawab Elvira ngejelasin. "Dih, tukang nguping!" ledekku. "Ya gimana nggak nguping, kakak sadar nggak sih kalau waktu itu kakak nangis 7 hari 7 malam sambil ngutuk kak Alfa tiap jam 12 malam? Mama dan Alvira sampek ngundang dukun karena ngira di rumah ini ada hantu. Nyadar nggak sih?" ujar Elvira panjang-lebar. Aku hanya senyum kaku. "Maaf," ucapku merasa tidak enak. "Yaudahlah, pokoknya Elvira nggak setuju kakak sama kak Alfa! Sama cowok yang pertama aja!" saran Elvira. "Kok gitu? Bisa aja kan sekarang Alfa udah suka kakak beneran, ya kan?" tanyaku ragu. Elvira menghela napas pelan. "Kak, jangan bodoh! Kakak udah janji buat nggak jadian sama dia selamanya. Kemana mantera yang selalu kakak baca tiap hari itu?" Aku terdiam. "Iya sih," "Jangan goyah karena dia sedikit jadi baik. Karena kalau dia ngePHP kakak lagi kali ini, sakitnya akan jauh berlipat dari pertama kali kakak ngerasa sakit karena dia. Paham?" Aku hanya mengangguk. "Pilih cowok yang menyukai kakak, jangan yang kakak suka!" "Tapi belum ada yang suka kakak!" kataku. Elvira menautkan alisnya. "Heh? Sudah  kuduga, kakak aja yang kebaperan!" kata Elvira menyimpulkan. Aku manyun. "Trus kakak naksir dua-duanya?" tanya Elvira. Aku hanya tersenyum kecil. Sementara Elvira, adikku yang 'tua' pemikirannya itu hanya menggelengkan kepalanya. "Keluar sana! Pokoknya jangan pilih kak Alfa. Paham?" pesan Elvira. Begitulah inti dari dialog interaksi yang antara aku dan Elvira tadi malam. Meski Elvira bilang begitu, jujur saja aku masih belum memutuskan siapa yang akan aku pilih antara mas Angga dan Alfa. "Na, Ina!" Aku tersentak kaget dari lamunanku dan menoleh pada makhluk astral yang sudah berdiri di depanku dengan senyuman manis. "Pagi, Ina!" sapanya lagi. "Ya? Ah, pagi!" sahutku masih dengan ekspresi bodoh. "Sehat kan hari ini?" tanyanya. Aku mengangguk pelan. "Sudah sarapan?" tanyanya sok perhatian. Aku mengangguk sekali lagi. "Kalau gitu, jangan lupa nanti sore ya!" Aku hanya tersenyum kaku. "Aku jemput jam 4!" katanya. Aku hanya mampu tersenyum tanpa menjawab apapun. "Jangan banyak ngelamun, ini bukan mimpi, kok! Kenyataan, Na!" katanya lalu pergi ke bangkunya. Sekali lagi aku hanya mampu tersenyum. Aku senyum bukan karena kau ajak keluar, Alfa tapi karena aku nggak tahu gimana nolak ajakan kamu tauk! "Na, Ina!!!!" Aku menoleh dan si Alka sudah datang dengan sebuah senyuman yang mengembang. "Nih!" katanya sembari memberikan aku setangkai bunga plastik. "Heh?" "Dari mas Angga!" "Buat aku?" tanyaku. Alka mengangguk. "Kata mas Angga, ini bunga cantik untuk gadis paling cantik di hatinya. Eaaaa!" kata Alka menggodaku. "Apa sih, alay! Nggak mungkin mas Angga bilang gitu!" elakku. Alka manyun sambil meletakkan paksa bunga plastik itu di tanganku. "Buatmu! Udah terima aja!" kata Alka maksa. Aku pun terpaksa menerima bunga plastik itu. "Bilangin makasih ya," Alka mengangguk mengiyakan. "Ah satu lagi, kata mas Angga nanti sore dia jemput kamu jam 4!" "Hah??" Aku dan Alka menoleh lalu si Alfa bagaikan hantu sudah berdiri di hadapan kami. "Apa maksudnya, Na?" tanya Alfa. "Anu, Fa. Sebenarnya-." "Ina janjian kencan sama mas Angga ntar sore," potong Alka. "Hah?!!!" teriak Alfa terkejut. "Alay kau! Udah jangan ganggu, si Ina udah move on dari cowok BBF kayak kamu." kata Alka tegas. Alfa menoleh padaku dengan ekspresi yang menurutku menunjukkan sedikit 'kemarahan' dan kekecewaan. "Fa, aku-," "Aku paham! Nggak usah jelasin!" potong Alfa lalu duduk lagi ke bangkunya. Bersamaan dengan itu bel sekolah berbunyi tanda kegiatan belajar-mengajar akan segera dimulai. Aku sesekali menoleh pada Alfa, entah kenapa aku merasa bersalah karena sudah membuat Alfa kecewa. Maafin aku, Fa. Tapi bener kata Alka dan Elvira. Bagaikan detak jarum jam yang terus berputar, aku harus move on darimu. Karena aku nggak mau nangis lagi untuk alasan yang sama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD