_____________________
Kau gadis polos atau naif? Jangan tunjukkan wajah tak berdaya itu. Itu membuatku merasakan hal aneh Bianca.
_____________________
"Lepasin saya pak! Jangan ikat saya! Saya gamau!"
"Ya harus mau." Balas Brandon tetap memasang wajah tenang tak berdosa mengikat kedua tangan Bianca.
Di bopongnya tubuh Bianca yang tangannya sudah terikat oleh dasi sehingga tidak bisa memukul atau mencakar selain menangis memohon untuk di lepaskan. Bianca benar benar tidak berdaya karnanya. Suara teriakannya bagaikan angin yang tidak didengar oleh Brandon. Terhempas ditelan udara ruangan kerja gemerlap seorang Brandon Calemous.
Brandon membopong tubuh mungil Bianca seperti karung beras yang tak berbobot. Saat Brandon keluar dari ruang kerja dan hendak menuju kamar, ia berpapasan dengan kedua jalangnya. Mata kedua wanita cantik itu merasa terluka melihat tuannya tertarik pada gadis belia yang bahkan memiliki tubuh kurus tidak sebanding dengan tubuh molek mereka. Yang membuat mereka cemburu adalah Brandon tertarik karna keinginannya sendiri sedangkan dulu Eveline dan Cecilia, Brandon dapatkan dari rekan kerja yang memang menjual mereka dalam keadaan perawan.
Bahkan untuk menoleh dan melirik keduanya tidak Brandon lakukan. Giliran mata Bianca bertemu dengan keduanya. Seolah mendapat secerca harapan untuk bebas, Bianca berteriak meminta tolong pada kedua wanita yang berdiri melipat kedua tangannya tersebut. Bahkan Bianca tidak tahu usahanya akan sia sia.
"Tolong saya! Saya mohon tolong saya!" Teriak Bianca melihat kedua wanita itu penuh harap.
Meski kedua wanita itu ingin menolong Bianca karna merasa cemburu, keduanya tidak bisa melakukan apa apa. Melawan seorang Brandon sama dengan mencari mati. Eveline dan Cecilia masih menyayangi nyawa mereka sehingga memilih menulikan telinga mereka, Menguatkan hati mereka seolah hati mereka terbuat dari besi.
"Kamu berisik Bianca. Percuma, gaada yang nolong kamu. Di Mansion ini gaada yang berani ngebantah saya" jelas Brandon menurunkan tubuh Bianca pada ranjang.
Karna kakinya tidak diikat, Bianca berencana ingin berlari pergi dari kamar mewah itu. Yah meskipun dalam keadaan genting dan terdesak, sempat sempatnya gadis itu memuji kemewahan kamar yang ia yakini kamar Brandon karna seumur hidupnya ia tidak pernah melihat kemewahan itu.
Sayangnya seorang Brandon Calemous bukanlah pria bodoh. Pria yang genap berusia 30 tahun itu tahu apa yang ada di otak Bianca yang hendak kabur dari kamarnya. Buru buru ditindih badan kurus mungil itu agar tidak kabur.
Tanpa perasaan tangan kekar itu merobek gaun selutut berwarna peach pemberian dari atasan Bianca. Tidak perduli dengan jeritan dan rintihan permohonan agar di lepaskan Brandon yang sudah buta akan nafsu. Keinginannya agar berhenti memikirkan gadis itu semakin kuat. Keyakinan setelah merenggut harta berharga gadis itu ia akan tenang semakin menguasai otaknya.
Badan Bianca terasa terbelah menjadi dua kala benda keras milik brandon mendiami dirinya. Perih, sakit, bahkan sesak. Saat itu dunia Bianca hancur berkeping keping, tidak ada yang tersisa selain rasa sakit. Ia miskin, ia juga seorang yatim piatu, dan sekarang harta satu satunya yang ia jaga, yang ia banggakan sudah lenyap. Hari ini Bianca benar benar miskin segalanya. Tidak bernilai dan menyedihkan. Sungguh menyedihkan.
Saat itu ia tidak sedang menstruasi, ia selesai menstruasi 3 hari yang lalu. Dan kala itu milik Bianca mengeluarkan darah segar. Bianca tidak tahu jika itu adalah darah keperawanan. Ia masih terlalu dini untuk tahu jika melakukan hal itu untuk pertama kali akan mengeluarkan darah karna selaput keperawanan robek. Bianca mengira Brandon melakukan hal itu secara kasar sehingga membuat miliknya berdarah. Betapa berdosanya Brandon menodai gadis belia yang kini sudah menjadi seorang wanita. Menjadi seorang wanita sebelum menikah. Itu menyakitkan mengingat Bianca dan Brandon tidak saling mencintai dan melakukan hal terlarang itu.
Bianca lemas, semenjak merasakan benda keras yang Bianca sendiri takut untuk melihatnya badannya menjadi lemas. Ia tidak bertulang, Bianca pasrah. Ia tahu usahanya sia sia sehingga ia memutuskan untuk menunggu hal menjijikkan itu berakhir.
Tidak ada desahan di bibirnya. Isak tangis mendominasi jiwa gadis itu. Hanya Brandon yang melontarkan desahan demi desahan nikmat memperawani tubuh rapuhnya. Payu dara yang bergantung bebas itu sudah terkoyak dan basah akan air liur karna di hisap. Bibir Bianca yang tidak pernah di sentuh oleh bibir lain kini sudah di lumat habis habisan oleh Brandon.
Matanya terpejam, tangannya meremas dasi yang mengikat keduanya, air mata tak berhenti mengalir di sudut mata. Bibir yang basah akan liur dan perih akan darah menjadi satu. p****g yang membengkak dan kemaluan yang terasa nyeri. Menyedihkan.
"Sudah pak hiks, sakit pak sakit"
"Uhh ini nikmat bukan sakit"
Pria itu masih mengoyak milik Bianca. Memukuli p****t sintal dan wajah Bianca untuk memuaskan hasratnya. Babak belur, bianca babak belur dengan banyak memar di tubuhnya. Lehernya penuh dengan tanda berwarna merah keunguan yang jika di sentuh tidak sakit. Brandon mengukirnya tanpa lelah.
Berjuta juta sel s****a ditabur dalam rahim Bianca. Wajah Brandon mendongak menatap langit langit melakukan pelepasan. Benda kerasnya tiba tiba melemas tapi brandon enggan untuk mengeluarkannya dari dalam tubuh Bianca.
"Sakit hiks hiks sakit" rintih Bianca.
"Aww pak udah! Lepasin pak udah! Aduuhh sakiit"
Brandon tidak puas, belum. Ia belum puas menikmati milik Bianca. Berkali kali ia menyetubuhi Bianca. Tidak perduli dengan tangis dan rintihan. Yang jelas brandon puas. Egois dan jahat. Itu adalah hal mutlak pada dirinya. Brandon akan berhenti saat ia merasa puas.
Darah, cairan putih bercampur menjadi satu kala Brandon puas. Pria itu berbaring di samping tubuh hancur Bianca setelah melepaskan ikatan pada tangan gadis itu. Pria itu menutup tubuhnya dan Bianca pada satu selimut yang sama. Seolah tidak perduli dengan gadis itu setelah mendapat kepuasan, Brandon langsung terlelap. Sedangkan Bianca menangis dengan membelakangi tubuh pria yang memperkosanya. Tangannya terkepal meremas selimut merapatkannya agar tubuhnya tertutup. Bianca benci pada dirinya yang tidak bisa melakukan apa apa kala benda laknat keras milik brandon mengoyak tubuhnya. Sakit.
_____
Mataku terbuka, rasa pusing menjalar di kepalaku. Disekeliling masih terdapat interior mewah, itu tandanya aku masih berada di kamar pria mafia. Kenapa ia tidak membuangku? Aku berusaha duduk. Tidak lupa menutup tubuh terlanjangku dengan selimut merah maroon dalam ruangan itu. Ruangan ini kosong, pintu tertutup rapat. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Rasa nyeri pada kemaluanku masih terasa mengingat aku berdarah belum waktunya.
"Kamu sudah bangun?" Suara itu membuatku terkejut. Aku menoleh dan benar saja pria mafia itu keluar dari sebuah pintu yang ada di dalam kamar. Ia sudah rapi dengan pakaiannya. Tanpa komando tanganku bergetar, aku mengingat semuanya, perlakuannya padaku.
Reflek aku memundurkan badanku hingga terbentur kepala ranjang, selimut maroon yang tengah menutupi tubuhku kueratkan takut takut merusut dan memperlihatkan tubuh kotorku di depan pria b******k itu.
"Saya tidak akan menidurimu lagi, tenang saja" ujarnya seolah tahu apa yang ada di dalam fikiranku.
Perlahan ia melangkah mendekatiku kemudian duduk di tepi ranjang, memandangku yang menunduk tanpa mau melihat wajahnya. Aku takut. Darahku berdesir ingin membunuhnya, aku benci melihatnya melakukan hal jahat seperti ini kepadaku.
"Kamu kenapa diem aja? Gak mau marah ke saya? Gamau mukul atau nyakar saya kaya semalem?" Tanyanya. Aku menggeleng lemah dengan tetap menunduk. Tidak ada rasa bersalah menyakitinya, rasa sakit di lehernya karna cakaranku tidak ada apa apanya dengan tamparan dan juga perasaanku yang terluka.
"Ini bekas cakaran kamu belum kering. Tadi saya mandi perih banget, gimana kamu mau tanggung jawab?"
Aku tetap diam, hatiku menjerit. Aku tidak akan mau bertanggung jawab, malah aku senang sudah melukainya. Tahu begitu aku perdalam saja cakaranku agar dia mati. Pasti menyenangkan. Tapi apa benar cakaranku tidak membahayakan? Apa tidak akan infeksi? Padahal aku sudah berusaha untuk bersikap jahat, tapi kenapa tidak bisa? Meski pada pria kejam di hadapanku.
"Saya mau pulang" ucapku lirih. Bahkan untuk bersuara saja tidak bisa. Aku marah, tapi aku tidak bisa melakukannya.
"Saya tanya kamu jawab! Gimana kamu bertanggung jawab atas luka yang kamu beri ke leher saya ini!" bentaknya.
Terus bapak sendiri gimana? Bapak udah ngelecehin saya! Bapak juga udah nampar saya! Salah saya apa pak! Apa karna saya miskin?! Tapi bukan berarti bapak gampang ngelecehin saya! Oh saya ngerti, karna saya sebatang kara sehingga bapak seenaknya melakukan kejahatan itu pada saya! Saya ingin membunuh bapak! Setidaknya hal itu yang ingin aku teriakkan. Kata kata itu hanya dapat kuteriakkan di dalam hati tidak berani kuteriakkan langsung.
"Ya bapak obati" cicitku pelan.
"Kali ini saya maafkan kamu. Setidaknya saya mendapat keperawanan kamu sebagai gantinya" ingin aku menamparnya, tanganku sudah terkepal erat tapi tidak bisa bergerak untuk melayang pada pipi tirus pria itu.
"Saya gak minta maaf ke bapak, saya gaakan pernah minta maaf." Ucapku memberanikan diri menatap mata biru gelapnya.
"Berani kamu?"
"Saya mau pulang!"
"Apa emang kebiasaan kamu kalo saya tanya kamu jawab yang lain?"
"Saya mau pulang!"
"Ya pulang aja!"
Aku bangkit dari atas ranjang. Kulilitkan selimut agar tidak terlepas dari tubuhku kemudian menuruni ranjang. Saat hendak berdiri aku terjatuh diatas lantai tepat di depan pria itu duduk di tepi ranjang dengan posisi menyamping. Selangkanganku perih, sakit, jika aku hendak melangkah rasanya akan robek. Perut bagian bawahku terasa nyeri.
"Akhh sakit hiks hiks" lagi lagi aku menangis. Selalu seperti ini, aku merasa cengeng setelah kejadian itu. Aku merasa lemah dan ingin mati saja!
"Makanya kamu jangan keras kepala. Nanti anak buah saya anter kamu pulang kalo s**********n kamu mendingan. Saya udah nyuruh salah satu dari mereka buat beliin kamu baju. Jadi bisa enggak diem di kamar ini tanpa mengoceh? Kamu terlalu banyak main drama hanya gara gara keperawanan kamu saya ambil. Masih untung kamu saya setubuhi di kamar pribadi saya, jalang jalang saya gapernah masuk ke kamar ini."
Itu bahkan lebih sakit. Serasa hatiku tergores oleh pisau yang sangat tajam. Hanya? Dia mengatakan hanya pada mahkota yang aku jaga. Apa ini tidak keterlaluan? Bahkan mengatakan maaf saja tidak.
"Ayo saya bantu kamu tidur di atas ranjang"
Pria itu hendak menyentuhku tapi buru buru aku menepis tangannya. Aku beringsut mundur dan menatap matanya datar.
"Saya bisa sendiri"
"Kamu itu jalang aja sok jual mahal?"
"Iya saya jalang! Saya emang jalang pak! Saya kotor! Puas?!"
- To be continue -