Bab 18

1099 Words

Nadira menyalakan lampu ruang makan meski hari masih pagi buta. Wajahnya lelah, matanya merah karena hampir semalaman tak tidur. Ia sudah menyiapkan secangkir kopi kental, bukan untuk mengusir kantuk, tapi untuk menenangkan hati yang bergejolak. Tangannya gemetar ketika meraih ponsel. Berkali-kali ia mengetik pesan lalu menghapusnya. Akhirnya, ia hanya menulis satu kalimat sederhana: “Kita perlu bicara. Empat mata.” Pesan itu dikirimkan ke Arga. Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar. Balasan singkat muncul: “Besok. Jangan di rumah.” Nadira tersenyum miring. Senyum yang lebih mirip luka daripada bahagia. Dia masih bisa atur jarak, berarti dia memang sembunyikan sesuatu. Sementara itu, di rumah sebelah, Alya masih berusaha terlihat normal. Ia menyiapkan sarapan untuk Bima, berus

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD