Pagi itu rumah besar keluarga Arga terasa berbeda. Biasanya, suasana selalu ramai dengan suara anak-anak dan obrolan ringan di meja makan. Tapi kali ini, hening menyelimuti ruangan, seperti ada sesuatu yang menahan napas semua orang. Alya duduk di kursi sebelah Bima, menyuapi anaknya dengan tangan bergetar. Sementara itu, Nadira berdiri lama di dapur sebelum akhirnya keluar membawa teko teh. Wajahnya tampak tenang, tapi sorot matanya menusuk, seakan menyimpan seribu pertanyaan. Arga yang baru saja turun dari lantai atas langsung menangkap tatapan itu. Ada perasaan tidak nyaman di dadanya, seperti sedang diadili tanpa kata. “Pagi, semuanya,” suara Arga terdengar berat, mencoba memecah keheningan. “Pagi,” jawab Nadira singkat, lalu duduk di sampingnya. Ia menuangkan teh ke gelas, tapi ta

