The Game

3137 Words
"Terima kasih." ucap Hans dengan sedikit senyum ditunjukkan untuk Sarah sebab karenanya Ken kembali ke rumah Hans, sebelumnya Ken tidak ingin kembali menampakkan wajahnya di depan Hans karena belum menyelesaikan tugasnya perkara Lucy. "Bukan apa-apa." jawab Sarah tersenyum sambil menggendong bayinya. Sarah dan Ken sudah menikah beberapa bulan yang lalu, sementara Hans terus berpikir jika saja Lucy masih hidup pasti perut Lucy membuncit dan hubungan mereka jauh lebih mesra dari Sarah dan Ken. Ken tidak mengobrol dengan Hans sepatah kata pun, ia langsung masuk ke dalam kamarnya tanpa melirik Hans. ★ ★ ★ ★ ★ ★ Lucy terus terisak memeluk tubuhnya, ia bergetar luar biasa rasa trauma semakin besar tentang berhubungan intim, Hans menyetubuhi dirinya dengan kasar, dan parahnya dijual. Lucy menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Mengapa aku diberi takdir seperti ini? Bukankah aku terus berjuang? Apa salahku? Brak! Pintu terbuka lebar karena rasa trauma yang besar Lucy memeluk tubuhnya dan menutup matanya rapat-rapat, "Tidak! Kumohon jangan! Jangan lakukan itu! Kumohon jangan! Jangan!" "Lucy." panggil Malvin dengan rasa sedikit teriris di hatinya. "Tidak! Jangan lakukan itu! Kumohon! Jangan! Jangan! Jangan!" Malvin memeluknya berusaha menenangkan gadis itu namun malah membuatnya semakin bergetar hebat dan menggeliat seperti cacing kepanasan. "Jangan! Jangan! Kumohon jangan!" Malvin merasakan sakit di dadanya sebesar itukah trauma gadis ini? "Lucy, ini aku, Malvin!" Ucap Malvin berusaha menenangkan gadis itu. Lucy menatapnya, menangis dan langsung memeluknya, "Tolong aku Malvin! Aku takut!" Lucy memeluk Malvin dengan sangat erat, "Bawa aku pergi, kumohon! Aku benar-benar takut!" Tubuh gadis itu semakin menegang dan bergetar, mengingat betapa menjijikkannya dirinya yang disentuh oleh pria bergantian. Malvin mengelus punggung gadis itu bertujuan menenangkannya. "Tenanglah, Lucy...." Setelah cukup lama berpelukkan mereka pergi ke mobil Malvin menuju kediamannya, di saat perjalanan pria itu mengambil sebuah map merah di dashboard mobilnya dan menyerahkannya pada Lucy. "Apa ini?" Tanya Lucy sebelum membuka map itu, tubuhnya masih bergetar akibat trauma yang baru saja terjadi padanya. "Maaf...." ucap Malvin pelan. "Untuk apa?" Tanya Lucy semakin penasaran dan segera membuka map itu. Mata gadis itu terbelalak ia benar-benar tidak percaya apa yang ia lihat, ia menatap Malvin dengan penuh airmata. "Kau berbohong!" Ucap Lucy menahan tangis yang memilukan. "Itu kenyataannya, Lucy...." lirih Malvin pelan. "Ini tidak benar!" Seolah tidak menerima kenyataan gadis itu melempar map itu hingga jatuh ke kakinya. "Aku tidak berbohong, Lucy." "Ini pasti salah!" Lucy terus tidak percaya dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Tidak mungkin Hans pembunuh kedua orangtuaku!" Karena terlalu fokus pada Lucy konsentrasi mengemudi Malvin terbagi dan itu membuat gadis yang tengah menyebrang terserempet, mereka langsung keluar dari mobil. "Apa kau baik-baik saja?" Tanya Lucy pada gadis itu, mata bengkaknya tidak mengurangi kecantikannya. Gadis itu tersenyum, "Tidak apa-apa." Setelah menatap Lucy cukup lama, ia mulai mengingat wajah yang sangat mirip dengan gadis itu. "Apakah kau gadis asia yang hilang setahun yang lalu?" Tanya gadis itu yang mampu membuat Malvin dan Lucy menekuk keningnya. Lucy mengangguk pelan mungkin gadis itu mengetahui sesuatu. "Apa kau sudah menemukan pembunuh kedua orangtuamu?" Tanyanya. Lucy tidak bisa menjawab ia benar-benar bingung, apakah Hans atau Leon yang membunuh kedua orangtuanya? Ia pun tidak tahu akhirnya ia menggeleng. Gadis itu mengalihkan tatapannya pada Malvin dan langsung membelalakkan matanya. "D-dia pembunuh orangtuamu!" Tunjuk gadis itu pada Malvin. Malvin mengkerutkan keningnya kemudian menyeringai tipis. I'm so lucky. "Apa maksudmu pria yang mirip denganku tanpa kacamata dan rambutnya yang lebih sedikit pendek?" Tanya Malvin berusaha setenang mungkin. Gadis itu mengangguk cepat, "K-kau benar!" "Itu kembaranku." jawab Malvin santai sambil menunjukkan foto Hans padanya. "Tidak salah lagi! Dia orangnya!" Gadis itu kemudian berdehem dan menatap iba ke arah Lucy, "Aku Reina, aku salah satu saksi kejadian itu." Lucy merasakan sakit di dadanya ia benar-benar tidak percaya, "Kau berbohong! Aku pernah bertemu dengan Reina dan itu bukan kau!" Gadis itu mengambil dompetnya dan menunjukkan KTP-nya, "Aku Reina." Lucy menatap itu langsung berlari, gadis itu tidak menerima kenyataan. Lucy menangis sambil terus melangkahkan kakinya. Malvin mengejar Lucy dan mendekap tubuh gadis itu. "Tidak apa, Lucy. Aku di sini untukmu." ucap Malvin masih memeluknya. Lucy menepis pelukan itu, "Kau lah yang menipuku! Kau memalsukan informasi bahwa Leon pembunuh orangtuaku!" "Aku minta maaf, Lucy. Hans adalah kakakku dan sekarang aku sadar bahwa kau tidak pantas diperlakukan seperti ini." ucap Malvin dengan wajah menyesal. Lucy menangis dan memeluk balik tubuh itu, ia menangis sejadi-jadinya tapi ia tidak boleh percaya begitu saja ia pun mengingat Leon yang sedang menelepon seseorang tentang pembunuh kedua orangtuanya. "Itu semua salahmu, bagaimana bisa peluru itu belum kau ambil?!" "..." "Apa?! Peluru itu sudah diambil oleh orang lain?" "..." "Lain kali aku tidak menerima kecerobohan, cepat cari tahu siapa yang telah mengambil peluru itu!" "..." "Aku tahu, Lucy sedang stres sekarang." "..." "Bye." Lucy melepaskan pelukan itu dan tersenyum getir. Malvin menuntunnya ke mobil, melaju menuju kediaman Malvin. Setelah sampai di rumah itu, Lucy terus memikirkan apakah benar informasi Malvin? Tidakkah ia memalsukan informasi itu lagi? "Malvin...." "Hm?" Jawab Malvin mengutak-atik komputernya. "Boleh kupinjam ponselmu?" Malvin menaikkan alis kanannya, "Untuk apa?" Lucy memutar kedua bola matanya, "Menelepon Leon." "Untuk apa?" Lucy berdecak, "Ini soal pembunuh orangtuaku!" Malvin menyeringai dan memberikan ponselnya. Lucy mengutak-atik ponsel itu, "Apa kau punya kontaknya?" "Tentu saja, jangan lupakan bahwa aku-" "Terserah." potong Lucy cepat dan langsung menaruh ponsel itu di telinganya. Malvin terkekeh dan melanjutkan pekerjaannya di komputer. Lucy menunggu beberapa saat dan akhirnya di sebrang sana mengangkat telepon. "..." Lucy terkejut pria itu langsung berkata kasar padanya, ia berdehem, "Leon, ini aku." "..." "Lupakan soal itu, begini aku ingin bertemu denganmu." Malvin langsung melirik Lucy menaikkan alis kanannya. "..." "Boleh, aku sedang di rumah Malvin." "..." "See you later." "..." Lucy langsung menyerahkan ponsel itu pada Malvin. Pria itu masih menatapnya manaikkan alis kanannya. "Untuk apa kau bertemu dengannya?" "I told you." jengah Lucy. Malvin memutar kedua bola matanya, "Setelah itu kau kembali ke sini." "Untuk apa?" Tanya Lucy menaikkan alis kanannya, bingung. "Kau ingin Hans menemukanmu dan menyiksamu lagi?" Lucy mengepalkan tangannya, "Kenapa kau membantuku?" "Karena aku kasihan padamu." Lucy memutar kedua bola matanya, "Tidak perlu, aku bisa tinggal dengan sahabatku, Leon." "Tidak Lucy.... itu berbahaya." ucap Malvin tidak terima. "Berbahaya?" Malvin menghela napas, "Leonard Carltons adalah mafia seperti Hans apa bedanya mereka berdua?" ★ ★ ★ ★ ★ ★ Lucy dan Leon memakan makanannya masing-masing namun Leon terus bertanya-tanya bukankah koran mengatakan Lucy sudah meninggal? Leon mencuri pandangan ke arah Lucy beberapa kali dan gadis itu langsung membuka suara. Lucy menatap Leon menaikkan alis kanannya, tatapannya amat datar, "Kau membunuh orangtuaku?" Leon terkejut kemudian menautkan kedua alisnya, "Apa?! Kau menuduhku?!" Lucy menggeleng pelan, "Aku mendengarmu membicarakan soal peluru dan menyebut-nyebut namaku saat kau menelepon di rumahmu." "Peluru?" Tanya Leon bingung, pria itu terus berpikir berusaha mengingat apa yang ia katakan, "Oh! Aku mencari peluru itu untuk diperiksa, bukankah kau bilang kau membutuhkan bantuanku?" Lucy tersenyum getir. Benar, Hans adalah pembunuh kedua orangtuaku.... Gadis itu mengepalkan tangannya mengingat apa yang pria itu katakan padanya. "Pembunuhnya seorang mafia baru." ucap Hans melipat kedua tangannya di depan d**a. Untuk menutupi kedokmu, Hans? "Lucy, ada apa?" Pertanyaan Leon membuatnya tersadar dari pikiran serta emosinya, pria itu menatap Lucy dalam bingung sementara dirinya telah membunuh adik kandung pria itu. Lucy menjatuhkan bulir beningnya, Aku salah sasaran.... Aku membunuh Freya, adik Leon dengan alasan bodoh. Aku benar-benar seperti orang bodoh. "Lucy?" Lucy menggeleng. Kali ini Leon ingin bertanya pada Lucy, apakah gadis itu hamil? Perutnya membuncit. Leon memperisapkan kata-katanya beberapa detik berusaha untuk terlihat santai dan tidak terlalu peduli. "Apa kau hamil anak Hans?" Lucy mengangguk dengan senyuman getir, Leon merasakan sakit di dadanya. Sampai kapan aku terus mencintaimu di satu pihak, Lucy? Leon mengepalkan tangannya, ia benar-benar payah. Bagaimana bisa ia kalah dengan Hans yang baru saja mengenal Lucy? Leon terus menjerit di dalam hatinya dan parahnya lagi gadis yang ia cintai, mencintai saingannya di dunia hitam. "Leon.... kumohon bantu aku...." ★.★.★.★.★.★ Lucy kembali ke kediaman Malvin setelah puas berbincang dengan Leon, ia melangkahkan kakinya menuju ruang kerja Malvin, tapi tiba-tiba ia merasakan bayinya menendang di dalam sana. Apa aku harus membencimu? Karena kau anak dari pembunuh orangtuaku? Karena kau adalah anak dari orang yang menyiksaku? Apa harus aku menggugurkanmu? Lucy Setya Febriana Stone Point of View. Aku mengelus perutku, airmataku jatuh begitu saja. Aku benar-benar membenci Hans, semua yang pria itu katakan hanyalah omong kosong dan semua yang pria itu lakukan hanyalah akting. Maaf Lucy, aku tidak bisa menemanimu tiga hari ke depan, aku ada urusan di Kanada, Itali, Jepang, dan Rusia setelah ini aku janji kita akan liburan bersama. Kemarin benar-benar menyenangkan, terima kasih telah mengajakku ke sana. I Love You Your lovely husband Aku mengepalkan tanganku, benar-benar sakit hati, aku tidak percaya pria yang sangat kucintai dan yang kupikir cinta pertama dan terakhirku adalah orang yang telah membunuh kedua orangtuaku, hampir membunuh diriku, dan menyiksaku. Aku terduduk di lantai, kakiku lemas, aku benar-benar tidak kuat dengan semua kenyataan ini. "Mendesah dengan nyaring, agar mereka iri." jawab Hans asal yang mampu membuat Lucy terbelalak. Aku merasakan sakit di dadaku setiap ia mengingat perkataan Hans yang lembut. "Sttt, don't cry." ucap Hans lembut. Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku, "Kau kejam, Hans." Hans mendecih, "Kau akrab dengan Ken, aku takut kau bisa jatuh cinta padanya." Aku memeluk lututku, ini benar-benar tidak adil. "Hans, aku malu. Hans, pelan-pelan. Hans, lebih cepat. Hans-Hans-" Hans terus mengejek dan terpotong saat Lucy mencium singkat bibirnya. Aku memegangi perutku, ini adalah anaknya.... anak kami.... Hans melumat bibir Lucy tanpa ampun, ia menggigit bibir bawah gadis itu bertujuan untuk membuka mulutnya tapi gadis itu tidak menurut dan kemudian Hans menghisap bibir bawah gadis itu yang sontak membuat Lucy mengerang serta membuka mulutnya dan pada saat itu Hans memasukkan lidahnya secara brutal. Lucy mengerang ia merasa Hans benar-benar berbeda. "I'm gross and wild as f**k, didn't i?" Lucy menyeringai dan berbisik di telinga Hans, "And i love it." Aku menangis, menutup mataku dengan sangat rapat. Aku mohon bangunkan aku dari mimpi buruk ini.... Napas Hans memburu, "Baru sekarang kau minta maaf? Jadi sifat polosmu tadi hanya menutupi semuanya?" "T-Tidak-" "Tutup mulutmu!" Hans mendorong Lucy ke atas king size-nya, "Di mana kau disentuhnya? Akan kuhapus sekarang juga!" Hans memposisikan tubuhnya di pertengahan kedua kaki Lucy yang sengaja ia buka dan menyetubuhi gadis itu dengan kasar. Aku menangis, menjerit, sakit di dadaku luar biasa seperti ada api yang membakar hatiku dan merambat ke atas hingga ke tenggorokanku. Hans menatapnya benar-benar dingin dan tajam, "Keluar atau ingin menyaksikan kami berhubungan?" "H-Hans, jangan lakukan ini.... kumohon." "Beritahu aku siapa yang menjamah tubuhmu?" desis Hans tajam. Lucy menutup mata bengkaknya sekuat tenaga dan menangis, "Aku benar-benar tidak tahu dan tidak-" "Tutup mulutmu!" Hans menarik gadis itu ke dalam pelukannya dan mencium bibir gadis itu sambil meremas b****g juga d**a gadis itu. Lucy lagi-lagi menangis dengan suara parau, "Hans...." Aku menggelengkan kepalaku perlahan, berusaha menepis semua ingatan itu namun nihil, aku benar-benar mencintainya dan sakit hati karenanya. "Buka matamu atau kau akan merasakannya juga!" ancam Hans dengan suara yang benar-benar murni kejahatan tanpa ada sedikitpun kebaikan. Aku menggigit bagian bawah bibirku, Ternyata sakit hati seperti membunuhku perlahan.... Hans lagi-lagi menyeringai, "Takut?" Lucy tidak menjawab, Hans menarik Lucy untuk mendekat ke arah api bahkan nyaris menyentuh kulit gadis itu. "J-Jangan Hans! Kumohon jangan! Jangan! Jangan! Jangan!" Jerit Lucy saat merasakan panas luar biasa padahal ia belum menyentuh api itu. Aku mengepalkan tanganku, keputusanku sudah bulat. Aku menghapus airmataku dan berjalan menuju ruangan Malvin. End of Lucy Setya Febriana Stone Point of View. Gadis itu terus melangkah menemui Malvin yang masih sibuk dengan komputernya. Tatapan gadis itu dingin dan penuh kebencian, perlahan ia duduk di kursi. "Bagaimana kau bisa menemukanku? Bukankah koran mengatakan bahwa diriku sudah meninggal?" Tanya Lucy. Malvin berhenti berkutat pada komputernya dan menatap gadis itu datar, "Saat aku sibuk menjalankan misiku untuk Hans, aku menemukan kejanggalan dan kejanggalan itu membuatku menemukanmu." Lucy mengangkat alis kanannya, wajahnya sangat penuh kebencian, "Hans yang memalsukan kematianku?" Malvin menggeleng, "Hans membunuhmu dengan menabrakmu, ia pikir kau sudah mati. Setelah itu, Tiffany yang mengendalikanmu." "Apa aku bisa percaya padamu?" "Kali ini percayalah padaku." Lucy menyenderkan punggungnya ke kursi terlihat sedikit berpikir, "Boleh kupinjam uangmu?" Malvin menaikkan alisnya, "Berapa?" "$200.000.000." Malvin mengernyit, "Untuk apa kau uang sebanyak itu?" Lucy berdiri dan mengitari meja Malvin berhenti tepat di belakang pria itu kemudian berbisik, "Aku akan balas dendam, aku tidak peduli jika kau memberitahu kakakmu." Malvin menyeringai kemudian berusaha menetralkan ekspresinya, ia tidak menyangka bahwa gadis itu akan balas dendam. Malvin berdiri menarik lembut dagu gadis itu. "Aku tidak akan memberitahunya, kupikir itu pantas ia dapatkan karena menyia-nyiakan gadis sepertimu." Lucy menepis tangan itu kemudian membelakanginya, "Aku tidak akan tinggal di sini, aku akan berusaha sendiri. Karena itu aku ingin meminjam uangmu." Malvin menyeringai, Lucy benar-benar sexy jika seperti ini. Malvin mendekati gadis itu, mengelus leher jenjangnya kemudian berbisik. "Kau tahu jika meminjam uang harus ada jaminannya, bukan?" Lucy berbalik menatap datar pria itu, "Aku tahu, jaminannya adalah nyawaku, tubuhku, dan pikiranku." Malvin melebarkan seringainya, gadis ini jauh lebih berani dari sebelumnya dan ia benar-benar tertantang untuk segera membuat gadis itu bertekuk lutut mencintainya juga. Malvin terkekeh kemudian mengambil sebuah kartu debit lalu menulis sesuatu di kertas dan memberikannya pada Lucy. "Ini berisi $200.030.000, kau bisa memakainya semaumu dan ini pin nya." Lucy mengambilnya kemudian langsung pergi tapi ditahan oleh Malvin. "Kau sedang hamil, bagaimana jika ada sesuatu-" "Aku tidak mempercayaimu dan wajahmu sangat mirip dengannya." Cukup kata-kata itu yang membungkam Malvin dan sontak melepaskan tangannya dari Lucy. Tanpa memikirkan Malvin, gadis itu langsung berlalu. Malvin mengkerutkan keningnya lalu berdecak. Lucy melangkah keluar yang di mana Leon telah menunggunya di dalam mobil sedari tadi. Lucy duduk di samping pengemudi dan mereka langsung melaju. "Leon, bisa kau antarkan aku ke makamku? Maksudku makam orang yang dikenal sebagai namaku?" Leon mengangguk dan membanting stir menuju tujuan yang Lucy minta. Setelah kesekian menit mereka sampai dan betapa terkejutnya Lucy mendapati Hans menangis tengah menatap makam seseorang. "Leon, apa itu makamku?" Tanya Lucy sedikit ragu, menunjuk makam yang ditatap oleh Hans. Leon mengangguk pelan. Hati Lucy berdesir melihat Hans yang perlahan menjatuhkan airmatanya dan terus berucap maaf. Lucy menjatuhkan bulir beningnya, ia sangat merindukan pria itu, sangat. Ia ingin memeluk pria itu dan mengatakan bahwa ia tengah mengandung anaknya tapi tidak, ia tidak melakukannya, sakit yang ia alami lebih besar dari rasa rindu itu. Lucy menghapus airmatanya dan berbalik pergi. "Ayo kita pergi." Leon menarik tangan Lucy, "Apa kau yakin akan balas dendam padanya?" Lucy menghempas tangan Leon, "Apa yang ia rasakan tidak sebanding dengan apa yang kurasakan!" Mereka berjalan menuju mobil Leon dan melaju dengan cepat. Satu bulan telah berlalu, Lucy berhasil mendirikan Night Club dan Hotel&Casino dibantu oleh Leon, saat ini ia tinggal dengan Leon hingga anaknya lahir maka ia akan tinggal sendiri. Malvin yang setiap malam terus menghubunginya membuat Lucy sesekali tidak mengangkat telepon pria itu. "Terima kasih, Leon. Kau benar-benar membantuku." ucap Lucy memegangi perutnya yang sudah berusia sembilan bulan. Leon tersenyum lembut, "Bukan masalah, kau adalah sahabatku." Leon menyenderkan punggungnya di senderan sofa, saat ini mereka berada di ruang keluarga, meskipun rumah Leon tidak sebesar rumah Hans tapi rumah itu benar-benar mewah. "Menurutmu nama apa yang harus kuberikan mereka?" Tanya Lucy menatap perutnya. Leon terlihat berpikir, "Aku rasa, seharusnya kau bertanya pada ayahnya." "Leon!" Kesal Lucy menatap tajam dirinya. Leon menghela napas, "Jika dia laki-laki aku rasa lebih baik namanya Hanzel. " Lucy menatap Leon semakin menajamkan tatapannya, "Dan akan dipanggil Hans?" "Kau tahu? Pasti wajah anakmu sangat mirip dengan ayahnya karena itu nama yang diberikan juga harus-" "Leon! Jangan bahas dia sekarang!" Leon menatap datar Lucy, gadis itu benar-benar mudah marah sekarang. Lucy berusaha menenangkan dirinya. "Xavier atau Nick? Kalau perempuan Stacy?" Tanya Lucy. "Aku akan menjawabnya setelah aku pulang." jawab Leon kemudian pergi. Mobil Leon melaju cepat dan berhenti di sebuah Hotel&Casino yang cukup ramai, sepertinya ada pesta di sana. Leon terus melangkah mencari sosok yang sangat dicintai juga dibenci sahabatnya itu. Mata Leon mendapati sosok itu tengah meminum vodka sendirian tanpa ada yang menemaninya, tatapan pria itu kosong seperti tidak semangat hidup. Leon berjalan mendekatinya dan langsung disambut dengan tatapan tajam begitu mengerikan, lebih mengerikan dibanding dulu. "Hans." panggil Leon. Pria itu masih menatapnya tajam dengan sorot sedingin es, "Pergi atau tidak segan aku habisi kau sekarang juga." Perkataan itu terdengar tidak seperti mengancam tapi benar-benar akan pria itu lakukan, Leon duduk di sebrang kursi Hans yang langsung disambut dengan cengkraman di kerah Leon. "Aku tidak main-main." ucap Hans hampir menarik pelatuk itu tapi tertahan dengan ucapan Leon. "Jika Lucy masih hidup-" Leon mengambil jeda. Hati Hans terasa hangat mendengar nama itu, suara lembut gadis itu memanggil namanya, suara desahan yang mampu membuat Hans menjadikan gadis itu candunya. "-Siapa nama yang akan kau berikan pada anak kalian berdua?" Lanjut Leon. Hans melepas cengkramannya memegangi kepalanya, "Pergi." "Aku bertanya baik-baik padamu." "Pergi atau-" "Apa kau melihat jasad gadis itu saat dikuburkan? Tidak, kau tidak melihatnya. Bagaimana bisa kau percaya bahwa gadis itu sudah mati?" Hans mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, "Aku tidak percaya dia sudah mati karena itu aku masih berada di sini, jika aku percaya gadis itu sudah mati maka aku akan menyusulnya." Leon menaikkan alis kanannya dengan tatapannya yang datar, "Apa kau mencarinya?" "Tentu saja! Aku bahkan sudah menyiapkan nama untuk anakku!" Leon tersenyum miris, melihat pasangan gila ini membuat hatinya sakit. "Siapa?" "Nick dan.... " ucap Hans tersenyum paksa, "Stacy.... singkatan Stone dan Lucy. " Deg! Leon tersenyum getir, pemikiran pasangan ini sangat serupa, mengapa tuhan begitu kejam pada keduanya? Mengapa tuhan tidak memberikan kebahagiaan kepada keduanya? Leon menghela napas yang tercekat di tenggorokannya bibirnya terbuka, ia harus memberitahu Hans bahwa gadis itu ada bersamanya namun ia adalah mafia. Mafia yang memiliki jiwa kesetiaan yang lebih, ia tidak akan mengkhianati kepercayaan itu. Hans menghela napas kemudian menatap pria yang ada di hadapannya. "Mengapa kau datang ke sini?" Leon menyeringai tipis, "Karena aku kasihan padamu." "Aku tidak butuh!" Jawab pria itu angkuh. Leon berdiri dari kursinya, "Aku beritahu kau bahwa gadis itu masih hidup di dalam hatimu." "Aku pun tahu itu, brengsek." ucap Hans. Drrt.... Drrt.... Drrt.... Ponsel Leon bergetar segera ia menjawab telepon dari Lucy dan menuju mobilnya. "..." "Lucy melahirkan?!" "..." Setelah mengetahui rumah sakit dan ruangan Lucy, Leon langsung mematikan ponselnya dan bergegas menuju tujuan. Napas pria itu naik-turun sebab berlari terus, setelah ia mendapatkan ruangan itu, ia melihat Lucy tengah menggendong dan menatap kedua buah hatinya, anak kembar. "Lucy?" Gadis itu menangis, "Wajah kalian.... mirip pria itu.... tapi aku tidak bisa membenci kalian...." Lucy memeluk buah hatinya, "Tidak apa, ini bukan kesalahan kalian.... kita akan membalas perbuatan iblis itu pada kita! Kita akan hidup baru dengan nama baru dan membalasnya!" Leon menatapnya miris, gadis itu benar-benar membenci suaminya sementara suaminya sangat mencintainya tapi cinta itu tidak sebesar kesalahan pria itu. Leon tersenyum menatap kedua buah hati dari gadis itu. "Keduanya laki-laki atau perempuan?" Lucy tersenyum, "Laki-laki dan perempuan." "Nick dan Stacy." ucap Leon mengelus kepala kedua anak Lucy.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD