Lucy Reborn

3172 Words
Lizy Ghustavno alias Lucy Setya Febriana adalah gadis asal Indonesia dan berkuliah di New York. Hidup Lucy awalnya baik-baik saja sebelum memijakkan kaki di sebuah Night club. Tempat itu mengubah hidupnya 180˚. Sarah –sahabat Lucy- mengajaknya ke sana untuk bersenang-senang sejenak. Namun, ia malah bertemu dengan seorang Hans Stone. Pria penguasa bisnis hitam di benua Amerika. Mereka menikah berdasarkan kontrak, namun perlahan rasa mulai tumbuh di hati Lucy. Ia mengira pria itu juga mencintainya. Nyatanya, Hans membunuh kedua orang tua Lucy, mencoba membunuh Lucy, dan berselingkuh tepat di depan matanya di saat Lucy sedang hamil. Ya, Lucy menyimpan dendam. Ia akan membalas perbuatan pria berengsek itu. Lucy membuka mata, menatap cermin yang memantulkan bayangannya. Wanita itu menyeringai, perubahan warna mata menjadi berwarna biru sebab operasi membuatnya benar-benar puas. Lucy menatap perubahan yang benar-benar membuatnya tidak mengenali dirinya sama sekali. Tubuhnya semakin tinggi, sebab ia olahraga setiap hari dan rutin meminum vitamin, rambutnya yang lurus menjadi keriting gantung, rambut yang dulunya cokelat-kehitaman itu menjadi berwarna pirang kecokelatan, warna kulitnya sedikit mencoklat karena berjemur, bentuk tubuhnya pun semakin langsing. "Sempurna," gumamnya menyeringai. "Lucy, apa kau benar-benar membencinya?" tanya Leon ragu. Lucy menoleh dengan tatapan sinis, seringai sadis tidak lepas dari bibir mungilnya. "Lucy?" Wanita itu mengulang. "Namaku Lizy Ghustavno." Leon tersenyum kikuk. Pria itu menatap dalam wanita asia yang berusaha mengubah tampilannya itu. Leon mulai mendekati wanita yang menatapnya juga dengan tatapan dingin. Lucy alias Lizy merasakan setiap sentuhan di kulit pipinya, namun netranya tidak beralih. "Kau masih sahabatku, Lucy," lirih Leon pelan. Wanita itu menepis tangan Leon dari wajahnya, hingga tangan pria itu terlepas dari wajah mulusnya, "Jangan sebut nama itu lagi. Namaku sekarang Lizy, panggil aku Lizy!" Tok....Tok....Tok.... "Nona, Mr.Malvin Stone meminta ijin untuk—" "Suruh dia masuk," potong Lucy cepat. Malvin menatap tajam ke arah Leon dan Lucy, seakan tidak mengenali wanita yang berada di depannya, Malvin bertanya, "Di mana Lucy?" Lucy menyeringai, meskipun wajahnya hampir sama dengan dirinya sebelumnya tetap saja ia sangat berbeda dari dirinya yang dulu. Lucy mendekati pria itu dan memiringkan kepalanya. "Lucy sudah mati. Sekarang namaku Lizy!" Malvin mengkerutkan dahi, bingung dengan apa yang terjadi. Pria itu menatap ke dalam mata sosok di dapannya, tidak ada miripnya dengan Lucy, namun bibir, hidung, dan bentuk wajah sangat-sangat mirip dengan wanita itu. "L-Lucy?!" kaget Malvin saat menyadari perubahan drastis Lucy. Wanita itu mempelototi Malvin dengan tatapan membunuh, kemudian alis kanannya naik seolah-olah tidak suka dengan panggilan pria itu untuknya. "Namaku Lizy!" bentaknya kasar. Malvin menyeringai. Rencananya benar-benar membuat wanita itu membenci suaminya sendiri, tapi satu hal yang menjadi ancaman yang tidak terpikirkan olehnya adalah Leon. Ia tidak menyangka bahwa Leon akan ambil peran dalam hal ini. "Untuk apa kau di sini?" tanya Malvin tajam pada Leon yang tengah menatapnya juga. Leon menatapnya tidak kalah tajam, "Seharusnya aku yang bertanya padamu, apa yang kau lakukan di sini? Aku adalah sahabatnya dan kau? Kau adalah adik dari musuhnya." Malvin yang merasa terpojok semakin memincingkan matanya. "Aku hanya membantunya." Leon terkekeh tajam, "Membantu untuk melawan kakakmu sendiri? Setelah kau menipunya demi kakakmu?" "Stttt!" desis Lucy yang mampu membungkam mereka semua. Lucy mengambil cek di dalam tasnya dan menulis di atas kertas itu kemudian memberikannya pada Malvin. "Kau tidak perlu datang lagi, urusan kita hanya uang, bukan?" tanya Lucy menatapnya seolah mengusir. Malvin berdecak kemudian tertawa pahit. "Setelah aku menolongmu ini yang kau balas?" Lucy memincingkan mata, kemudian mendekatkan wajahnya pada pria itu, "Lalu apa maumu?" "Aku ingin ikut serta." Malvin berucap tegas. Kali ini Leon yang lebih penasaran, "Apa yang membuatmu ingin bergabung?" "Aku tidak ada urusan dengan—" Belum sempat Malvin menyelesaikan perkataannya sudah dipotong oleh Lucy. "Jika kau tanpa beralasan ingin ikut serta, aku tidak akan terima itu." Wanita itu melipat kedua tangannya di depan d**a. "Aku ingin membalas perbuatannya yang merebut Chloe dariku, puas?!" jawabnya kesal. "Jadi kau sudah punya rencana?" tanya Lucy menaikkan alis kanannya. Malvin menyeringai sadis, "Kita akan membuat dia jatuh cinta kembali padamu dan aku akan merebutmu darinya, bagaimana?" Leon menatap datar ke arah Malvin dan menyilangkan kedua tangannya di depan d**a, "Kau bukan mafia, bagaimana bisa kau ikut serta? Kakakmu akan merasa ada yang tidak beres, tiba-tiba adiknya bergabung dengan musuh? Itu aneh." Leon menatapnya dengan interogasi. "Tidak, aku hanya membantu dalam penyelidikan dan informasi soal pertemuan itu kita buat seolah-olah tidak disengaja," jawab Malvin santai. "Tapi aku tidak akan membuatnya hanya jatuh cinta padaku," ucap Lucy memberi jeda, "aku akan menghancurkan perusahaannya juga!" "Itu tidak mudah, dua tahun aku bersaing dengannya tidak juga aku menandinginya," sanggah Leon duduk di sofa. "Aku tidak akan mundur hanya karena kau bicara begitu," ucap Lucy tenang. ★ "Lucy.... kau dimana?" lirih Hans mengelus foto yang terpajang sangat besar di dinding kamarnya tepat di depan king size-nya, agar setiap ia bangun dari tidurnya ia dapat melihat wanita yang sangat ia cintai itu. Pria itu mendaratkan keningnya tepat di foto. Wajah frustasinya sangat terpancar. Meskipun orang-orang berkata ia semakin dingin setelah meninggalnya istrinya, namun itu tidak benar jika orang-orang melihat ia tengah berdiam diri di kamarnya memandangi foto wanita cantik asia yang tak lain adalah istrinya. Tok....Tok....Tok.... Hans tahu benar jika itu adalah Ken. Pria itu tidak membalas apapun, tidak ingin diganggu, ia juga tidak ingin berkata kasar lagi pada sahabatnya itu. Kematian istrinya sudah sangat-sangat mengguncangnya, jangan sampai ia mendapatkan masalah lagi dengan sahabatnya itu. Tok....Tok....Tok.... Pria itu memejamkan matanya, ia benar-benar merindukan wanita pujaannya. Wanita yang membuatnya lupa akan singgasananya, kekayaannya, sisi kejamnya, dan nama baiknya. Tanpa peringatan lain, Ken langsung mendobrak pintu takut terjadi sesuatu pada sahabatnya. Awalnya Ken akan marah karena pria itu tidak memberikan izin, namun melihat apa yang sahabatnya itu lakukan, membuat Ken mengurungkan niatnya. Ia tersenyum pahit dan menyentuh pundak pria itu. "Apa makan malam dengan Ms.Ghustavno batalkan saja?" tanya Ken sedikit khawatir. Hans menggeleng pelan. "Tidak, aku baik-baik saja, aku akan bersiap. Pergilah." Ken mengangguk pelan kemudian meninggalkannya. ★ "Apa kau siap bertemu dengannya malam ini?" tanya Leon memastikan sahabatnya itu. Lucy masih bersusah payah jalan di atas kayu panjang, berusaha mensejajarkan langkahnya agar sempurna dari beberapa bulan yang lalu, ia lakukan untuk pertemuan malam ini. "Jangan bertanya hal bodoh," jawab Lucy masih berjalan mondar-mandir dengan perlahan. Wanita itu turun dan mencoba mempraktekkan cara jalan yang sudah ia pelajari dari dulu setelah itu, ia masuk ke ruang tembak. Membidik dengan sudut mata yang dingin, memang masih payah namun setidaknya sudah ada perkembangan dari latihannya beberapa bulan yang lalu. Lucy terus menembak bagian vital gambar itu tanpa mempedulikan Leon. Cukup hingga lima gambar yang ia tembak masing-masing di bagian vital, gadis itu beralih lagi pada ruang fitness-nya. "Apa kau belum menemui anakmu?" tanya Leon setelah mengembuskan napas entah kesekian kalinya. "Setelah aku mandi tentunya," jawab Lucy seadanya. Leon mengacak-acak rambut wanita itu. "Cepatlah, mereka menunggumu.” Setelah mengucapkan kalimat itu Leon langsung pergi untuk pulang, sementara Lucy mendengus karena kesal rambutnya diacak-acak. Wanita itu mengambil handuknya kemudian membersihkan diri. Setelah itu ia mengambil kedua buah hatinya dari pengasuh yang selalu ada di rumahnya. "Mommy sayang kalian, mom akan kembali setelah urusan mom selesai. Mom berjanji besok kita akan bermain bersama karena besok adalah ulang tahun kalian." Lucy berucap dan mengecup kening anaknya secara bergantian, "Sherly, tolong jaga anakku." Pengasuh bernama Sherly itu mengangguk dan tersenyum ramah, setelah itu Lucy berjalan dengan langkah yang indah menuju mobilnya. Wanita itu sudah bisa mengendarai mobil Pagani Zonda Cinque Roadster. Pagani Zonda Cinque Roadster adalah mobil sport dengan harga $1.85 million. Mobil sport ini didukung dengan tampilan sporty dan kerennya lagi bodi berbahan Carbon-Titanium serta performanya hanya butuh waktu 3,4 detik untuk berakselerasi 0-100km/jam sedangkan top speed-nya 217 mph. Sampainya Lucy di sebuah Casino bernama The Mirage, ia melangkahkan kakinya keluar dan mengunci mobil diikuti oleh beberapa anak buahnya dari mobil lain. Pakaian yang ia kenakan hanya sebuah gaun hitam di atas lutut dengan blazer putih, sepatu heels yang tinggi, anting yang panjang dengan sentuhan tatapan datar dari sudut matanya. "Malam ini adalah awal dari pembayaran dosa-dosamu, Mr.Hans Stone," desis Lucy namun setitik airmata terjatuh dari sudut matanya, segera ia hapus itu. ★ Hans berjalan dengan tegas nan gagah yang diikuti oleh Ken, mereka selalu setia dengan tampang datar mereka, namun tatapan Hans Stone semakin lama semakin tajam dari sudut matanya yang dingin. Cukup melihat bentuk rahangnya saja orang-orang sudah tahu betapa gagahnya pria itu, cukup melihat sudut matanya saja orang-orang sudah tahu betapa dinginnya pria itu, cukup melihat postur tubuhnya saja orang-orang sudah merinding ketakutan melihatnya. Ia adalah Raja Mafia di negara asalnya tersebut. Pria itu terus berjalan menuju tempat VVIP yang memang tempatnya, khusus untuk sang pemilik resor yang besar itu. Langkahnya berhenti saat melihat seorang wanita yang duduk di tempat itu sedang membelakanginya, sudah pasti Ms.Ghustavno yang memiliki janji temu dengannya. Pria itu tidak menyangka, padahal semua orang tengah menatapnya, namun wanita itu tidak peduli akan kehadirannya. Hans melangkah dan Ken menarikkan kursi untuk tuannya itu, pria itu duduk dan perlahan menatap wanita itu. Tatapannya terpaku pada wanita cantik yang nampak anggun, dewasa, dan sangat mirip dengan istrinya. Lucy... -Hans Hatinya berdesir bagaikan ada angin pantai serta ombak yang menghantam hatinya, sungguh nyaman, menenangkan melihat wanita itu. Namun, rambut priang, bermata biru, kulit yang sedikit kecoklatan, tubuh yang lebih langsing, serta sedikit lebih tinggi dari istrinya membuat Hans segera menepis pikiran itu. Sudut bibirnya yang sedikit terangkat segera ia turunkan kembali ke ekspresi datar nan dingin. Tapi tetap saja, hatinya benar-benar nyaman melihat wanita yang ada di hadapannya. "Mr.Stone?" Suara wanita itu pun hampir sama, namun ada sedikit perbedaan di sana, suara wanita di hadapannya ini benar-benar lembut nan anggun menampilkan kesan dewasa dalam dirinya. Berbeda dari Lucy yang menggemaskan dan natural. Hans berdeham singkat, sebelum berjabat tangan sebagai perkenalan pertama mereka. "Hans Stone," ucap Hans setelah kedua tangan itu bertautan. Bentuk tangannya pun mirip dengan istrinya, hatinya semakin berdesir dan ia benar-benar ingin teriak bahwa ia sangat mencintai istrinya. Wanita itu tersenyum hangat. Benar-benar anggun, "Lizy Ghustavno." Deg! Jantung Hans berdegub dengan kencang, meskipun sekian banyak gadis yang mengucapkan namanya Lizy pada Hans, hanya wanita ini yang mampu mengingatkannya pada sosok yang membuatnya trauma, Lizy Johanes, seorang wanita tua yang pernah menjadikannya sebagai b***k seks. Hans semakin curiga pada wanita yang ada di hadapannya. Ia merasakan wanita itu benar-benar adalah Lucy. Pria itu ingin sekali menanyakannya namun lidahnya kelu, ia tidak bisa. "Mr.Stone, bisa Anda lepaskan tangan saya?" tanya wanita itu dengan senyum kikuk, benar-benar dewasa. Hans segera melepaskan tangannya berdeham sebentar, sementara Ken mematung menatap wanita itu, benar-benar mirip Lucy. Para pelayan pun datang memberikan makanan pembuka, sambil melahapnya mereka terus bercakap-cakap. "Sebenarnya, saya baru dalam hal ini karena itulah saya ingin meminta bantuan Anda untuk berkerja sama." Senyum wanita itu ramah. Hans terus memperhatikan wanita itu kemudian tersadar dari lamunannya. "Tidak perlu memakai bahasa formal, santai saja." Ia menggeleng. "Tidak, semua orang selalu memakai bahasa formal ketika berbicara dengan anda, Mr.Stone." Setelah mereka selesai dengan makanan pembuka, makanan utama mereka pun datang. Cara makan, cara berpakaian, cara bicara, caranya tersenyum wanita itu pun berbeda dari istrinya yang membuatnya semakin yakin bahwa kemiripan itu hanyalah kebetulan. Meskipun Hans tetap memasang tatapan datar dan dingin berbeda dengan perasaannya yang terus berdebar-debar. "Kau sudah menikah?" tanya Hans memakan makanannya. Lucy sedikit menyunggingkan seringai kecilnya, "Excuse me, sir?" Hans langsung berdeham dan melap mulutnya. "Tidak, maksudku bukan untuk tidak sopan." Lucy menghela napas dengan senyum kecilnya. "Bukan, saya pikir Mr.Stone tidak memiliki hati seperti yang orang-orang katakana, tapi Anda bertanya untuk sesuatu yang pribadi, bukan soal bisnis." Pria itu meminum white wine-nya. "Hubungan diperlukan untuk berbisnis, Nona." Lucy terkekeh kecil dan kembali memakan makanannya, "Kalau begitu, ajarkan saya untuk membuat hubungan yang baik." Hubunganku saja tidak beres... -Hans Hans berdeham. "Kau ingin bekerjasama soal apa?" Lucy melap mulutnya dan meminum white wine-nya, "Pembangunan Kasino, saya meminta Anda berkerja sama untuk membangun sebuah Kasino." Tatapan Hans masih datar. "Mengapa aku harus menerima tawaranmu? Berikan alasan." Lucy tersenyum, "Alasannya seperti apa yang Anda katakan tadi, yaitu untuk membangun hubungan yang baik dengan Anda, Mr.Stone." Hans menyunggingkan seringai tipisnya. Ini kali pertamanya ia didibalikkan kata-katanya oleh seseorang untuk bekerjasama. "Apa keuntunganku menerima tawaranmu itu?" tanya Hans melipat kedua tangannya di depan d**a. Saat itu juga para pelayan mengambil piring kotor dan memberikan makanan penutup. Lucy masih setia dengan senyuman dewasanya untuk menjawab segala pertanyaan menjebak dari Hans. "Keuntungan Mr.Stone adalah kita akan membagi hasil 50:50, memperluas nama Anda, menaikkan nama baik Anda, dan untuk membuat hubungan yang baik pastinya." Hans lagi-lagi menyeringai tipis. "Bagaimana bisa kau menjamin aku tidak akan mengalami kerugian?" Untuk detik pertama Lucy tercekat pertanyaan itu cukup membuatnya terjebak, akhirnya ia kembali tersenyum dan meminta beberapa map dari tangan kanannya. Wanita itu menunjukkan beberapa pada Hans. "Kami memiliki berbagai jenis permainan, berbagai jenis minuman dengan kualitas terbaik, pemain DJ kelas atas, gadis dan wanita yang cantik, chef kelas atas, bangunan yang kita buat pun unik, ada kolam renang, hotel dengan pelayanan bintang lima, restoran dengan pelayanan bintang lima, dan mendirikannya pun di pusat kota yang tidak ada Kasino saingan di sana jadi dapat dipastikan Kasino ini akan mendapatkan keuntungan berlipat." Hans kembali menyandarkan punggungnya ke senderan kursi, menatap gadis itu. "Berapa lama kau memikirkan projek ini?" Tidak mungkin aku mengatakannya sejak satu tahun yang lalu.-Lucy "Empat bulan yang lalu," jawab Lucy berusaha setenang mungkin. Sementara Ken membulatkan matanya, Secepat itu ia sudah mendapatkan semua perlengkapan? Bukankah ia pemula? -Ken "Aku dengar kau baru saja mendirikan Club Night, Hotel, Casino, dan lainnya," ucap Hans datar. Lucy mengangguk pelan, "Benar, saya baru satu tahun lebih mengasah kemampuan saya." Hans memakan makanan penutupnya. "Kau terlihat berpengalaman, seseorang membantumu?" Tidak mungkin aku bilang Leon yang membantuku.... Itu sama saja memberikan petunjuk tentang identitasku.-Lucy Lucy menggeleng singkat dan memakan makanannya. "Terima kasih. Paman saya yang telah membantu saya." "Oh ya? Siapa pamanmu?" Shit, sekarang aku harus jawab apa?! Lucy meminum white wine-nya. "Saya mendengar Anda sudah menikah?" Pria itu langsung menghentikan aktivitas makan dan menyandarkan punggungnya ke senderan kursi, sementara Ken menatap tajam ke arah Lucy sebab seperti tengah menyembunyikan informasi tentang pamannya. "Begitulah." "Apakah dia cantik? Saya tidak menyangka bahwa Mr.Stone yang terkenal dengan julukan Mafia Paling Dingin memiliki pasangan." Lucy menatapnya dengan tatapan intimidasi. Hans menatap ke arah Lucy. "Dia adalah wanita paling cantik yang pernah ada, bocah polos, ceria, aneh, dan mampu membuatku berdebar-debar." Hati Lucy berdesir seperti ada angin sejuk yang menyapu hatinya namun ia terus meyakinkan hatinya bahwa itu hanyalah omong kosong. "Tapi saya juga mendengar bahwa Anda dekat dengan wanita bernama Tiffany," sindir Lucy menyeringai tipis. "Kau men-stalk-ku?" Lucy terkekeh pelan. "Bukankah jika ingin membuat hubungan yang baik harus mengenal orang itu terlebih dahulu?" Hans melap mulutnya, meminum white wine-nya kemudian melipat kedua tangannya di depan d**a. "Tiffany adalah teman masa kecilku, tidak lebih." Pembohong! -Lucy Lucy memutar kedua bola matanya dan melihat jam kemudian meminta tagihan pada pelayan namun dihentikan Hans. "Masukan ke dalam tagihan Hans Stone." Lucy menatap Hans tidak suka. "Maaf Mr.Stone tapi saya tidak suka hutang budi." "Apa kata orang jika makan malam dengan pria seorang wanita yang membayarnya?" "Setidaknya saya membayar makanan saya sendiri," jawab Lucy tidak suka. Hans menyeringai, sifat inilah yang dimiliki istrinya. "Baiklah kalau begitu, besok malam kita makan malam di rumahmu dengan begitu hutang budimu lunas, bukan?" Lucy memutar kedua bola matanya. "Baiklah, lagipula Anda belum menyetujui kerja sama." Setelah Hans membayarnya mereka kembali ke mobil masing-masing, Lucy mengemudikan mobilnya dengan santai namun saat ia sudah dekat dengan rumahnya ia melihat kaca spionnya dan menyeringai tipis, beberapa anak buah Hans mengikutinya. Seolah tidak mempedulikan hal itu, ia langsung masuk ke dalam rumahnya. ★ Ken melipat kedua tangannya di depan d**a menatap Hans yang tengah sibuk mengutak-atik ponselnya. "Apa menurutmu dia tidak mencurigakan?" tanya Ken. Hans hanya menaikkan sebelah alis tanpa mengalihkan pandangannya. "Cari tahu soal dia." "Dia benar-benar mirip Lucy." Ucapan Ken membuat Hans menoleh padanya dengan tatapan datar seperti biasa. Pria itu hanya menatapnya namun setelah itu ia kembali fokus ke ponselnya. "Gadis itu memakai mobil Pagani Zonda Cinque Roaster, bukan?" Ken mengangguk mengiyakan. "Sepertinya ia menyukai mobil sport." Hans tersenyum. "Pesankan aku mobil Lamborghini Veneno." Mobil sport Lamborghini Veneno berbanderol 4.5 Juta Dollar tersebut memiliki design sporty dengan lekukan body aerodinamis, material berbahan carbon fiber, sehingga bobotnya sangat ringan, dan dan dapat berakselerasi dengan sangat cepat. Dengan mesin V12 berkapasitas 6.5 liter dengan fast-shifting 7-speed ISR transmission yang mampu berakselerasi 0-100 km/jam dalam waktu hanya 2.8 detik. Sementara untuk top speed yang mampu diraihnya mencapai 335 km/jam. Ken membulatkan matanya. "A-Apa?!" Hans menatapnya datar. "Kau tuli?" "Apa kau gila membeli mobil seharga langit demi untuk menarik perhatiannya?!" Hans hanya tersenyum dingin, sementara Ken menghela napas ia pergi mencari informasi tentang Lizy Ghustavno dan memesan salah satu mobil termahal di dunia itu. Sementara Hans sibuk mencari informasi Lizy Ghustavno di internet. ★ "Lancar?" tanya Leon menatap wanita yang tengah bermain dengan anaknya itu. Wanita itu berhenti sejenak kemudian mencium putrinya gemas. "Tentu saja." "Jika aku boleh jujur, aku tidak suka kau yang pendendam seperti ini," jujur Leon membakar rokoknya. Wanita itu memutar kedua bola matanya, "Aku tidak bertanya pendapatmu,” balas Lucy. Ia menatap tajam Leon. “Jika kau ingin merokok keluarlah! Itu buruk untuk anak-anakku." Leon langsung berbalik menuju taman, sementara ponsel Lucy bergetar di sakunya segera ia angkat. "..." Lucy menyeringai, "Baiklah, aku akan segera ke sana." Wanita itu segera mengganti pakaiannya dengan blazer merah gelap serta rok span hitam selutut memakai heels hitamnya. "Kau akan ke mana?" tanya Leon melihat Lucy menenteng tas merahnya. "Rencana selanjutnya." Saat itu juga Stacy menarik ibunya dan menangis untuk minta digendong, Lucy menghela napas kemudian mengiyakan permintaan anaknya. "Sebentar saja, ya? Mommy ada urusan." Stacy memeluk ibunya dengan sangat erat, sementara Nick jadi ikut-ikutan minta digendong, Lucy pun menggendong keduanya dengan kedua tangannya, setelah beberapa menit Lucy pun melihat jam dan segera menurunkan anaknya. "Sherly, Leon, jaga anakku," ucap Lucy segera melenggang keluar. Lucy melaju dengan mobil sport Pagani Zonda Cinque Roaster miliknya. Saat ia telah sampai ia dapat melihat mobil Lamborghini Reventon serta mobil Aston Martin One-77 sudah pasti pemiliknya Hans dan Ken. Meskipun mobil milik Hans lebih mahal dari mobil Lucy tetap saja mobil milik Lucy adalah mobil bergengsi. Lucy segera masuk dan berbicara dengan resepsionsis dulu, ia tidak diperbolehkan masuk karena belum membuat janji, tapi sekarang sejak ia menjadi Billionaire semua orang menghormatinya. Dasar mata duitan... -Lucy Lucy terus melangkah bersama tangan kanannya menuju ruangan Malvin, ia sudah siap dengan akting selanjutnya. Tok....Tok....Tok.... "Masuk." Lucy tersenyum dewasa menatap ketiga pria itu sementara kedua dari mereka yaitu Hans dan Ken terkejut dengan keberadaannya. "Selamat siang." Senyum Lucy langsung masuk. "Aku tidak menyangka Mr.Hans Stone kemari." Malvin menyeringai, Lucy pun menatapnya. Setelah itu tatapannya kembali beralih pada Hans yang tengah menatapnya juga. "Apa kau juga meminta bantuan Malvin untuk urusanmu?" tanya Hans menatap Lucy datar. Lucy tersenyum, "Begitulah." "Baiklah, lagipula aku sudah selesai. Jangan lupa nanti malam," ucap Hans melangkah keluar bersama Ken di belakangnya. Ken terus berjalan di belakang Hans hingga saat pria itu masuk ke mobilnya yang dibukakan pintu oleh Ken ia menghentikan Ken yang ingin pergi ke mobilnya sendiri dengan perkataannya. "Selidiki Malvin,” perintah Hans.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD