Part 9
Tidak akan ada yang pernah tahu, bagaimana keheningan mengantarkan kita pada situasi tidak terduga.
***
Aku dan yang lain sudah memasuki sebuah rumah yang disediakan untuk kami. Sekarang aku sadar kenapa kita ini di sebut Red City, sebab bangunan di sini mayoritas berwarna merah dengan diprakasai oleh bangunan utamanya yang memiliki warna begitu mencolok. Ya, mungkin sebuah tanda kalau rumah tersebut dipimpin oleh kepala daerah di sini.
"Akhirnya kita bisa beristirahat dengan tenang," kata Lazuard spontan. Bahkan aku saja yang mendengar perkataannya hanya bisa menimpali dengan senyuman, pasalnya yang dikatakan Lazuard ada benarnya. Kasur empuk seperti ini sangat dirindukan oleh para prajurit. Apalagi saat tahu tempat yang jadi tujuan kami sudah kami temukan, jadi malam ini kami bisa tidur dengan nyaman. Tanpa perlu lagi berpikir di mana The Red City berada. Sebab pikiran itu telah tergantikan dengan 'apa yang harus aku cari tahu di sini? Siapa yang membuat tempat ini' dengan begitu aku bisa pulang bersama dengan pasukan lainnya.
"Cih, berlebihan sekali kamu! Kalau kalian mau mengobrol di luar saja, karena saya tidak ingin mendengar celotehan kalian!" Omel Matteo seperti biasanya. Ah, pada akhirnya Matteo akan tetap sama. Tetap menyebalkan dan tetap seperti pemimpin di antara kami semua.
Aku dan Lazuard memilih keluar dari rumah yang akan kami singgahi selama di sini. Meninggalkan Aristide yang sejak kedatangan kita semua ke sini memilih membersihkan diri lebih dahulu sebelum beristirahat. Ya, tipikal Aristide. Berhari-hari bersama mereka aku jadi mengenal sikap mereka satu persatu. Matteo si pesuruh yang tidak suka di atur dan selalu menyuruh siapa pun seakan mereka semua babunya. Aristide pecinta kebersihan, tenang dan selalu membela aku dan Lazuard jika Matteo berulah dengan tingkah buruknya itu. Sedangkan Lazuard, pemuda yang mudah terpancing emosi, mudah terbawa arus dan kadang bisa menjadi teman yang asik di ajak bicara, hanya saja dia selalu berada di bawah Matteo. Jadi, sulit untuk lelaki itu menjadi dirinya sendiri.
"Udaranya sangat sejuk, walau suasananya sangat mencekam. Aku baru tahu ada sebuah kota yang terbentuk seperti ini. Menenangkan di satu sisi tapi mengkhawatirkan di sisi lain. Apa kamu juga merasakan hal yang sama denganku?" tanya Lazuard sambil menatap sekelilingnya yang hanya terlihat kehidupan orang-orang yang mulai terlelap dalam tidur mereka.
"Heem. Terkadang suasana seperti ini yang patut untuk kita khawatirkan." hanya itu jawabanku, karena lagi-lagi tatapan mataku terpaku pada siluet bertudung hitam yang menatap ke arahku. Entah kenapa, aku merasa dia seakan membawa pesan untukku, tapi bagaimana bisa aku menemuinya? Tidak ada alasan yang tepat untuk aku mengejar sosok tersebut bukan.
"Jujur, selama perjalanan menuju kota ini, hanya satu orang yang terpikirkan dikepalaku, Al." Lazuard menoleh padaku membuat aku mengernyit bingung. Apa yang dia pikirkan?
"Apa itu?" tanyaku berharap dia akan melanjutkan ceritanya.
"Wanita yang kita temui pertama kali. Wanita itu bilang tidak ada seseorang yang mati di sini. Apa itu maksudnya seseorang mati di tempat lain?" pertanyaan Lazuard tentu saja membuka mataku. Aku ingat perkataan wanita itu, wanita yang mengatakan tidak akan ada yang mati di sini. Tapi, aku membenarkan perkataan Lazuard jika maksud wanita itu adalah wilayah yang pertama kali kita datangi mungkin saja tidak pernah terjadi yang namanya pembunuhan, tapi di tempat lain atau di wilayah lainnya bisa saja terjadi bukan? Termasuk di kota dengan suasana yang mencekam ini. Tidak menutup kemungkinan jika kota ini menyimpan 1000 rahasia yang tidak ingin diketahui banyak orang.
"Entah. Kenapa kamu bertanya seperti itu?" tanyaku memastikan.
"Hanya penasaran. Sebab makam yang kita temui waktu itu bukankah itu mengisyaratkan kalau memang ada pembunuhan di tempat ini. Sekarang kita buat sebuah asumsi seperti ini, ada tiga tingkat pembagian wilayah. Wilayah pertama hutan yang tidak mengancam kita, lalu hutan yang gelap yang kita masuki, hutan yang tidak ada pencahayaannya tapi pada siang hari membuat Matteo terluka hanya karena sebuah ular. Tempat yang mungkin bisa jadi tempat bertahan hidup karena banyaknya tersedia makanan di sana entah dari tumbuhan dan hewan, tapi tebing yang kita temui mengisyaratkan tidak ada jalan keluar dari tempat itu. Lalu terakhir Red City tempat tertinggi yang di mana semua tersedia dengan baik tapi menyimpan rahasia begitu apik. Anggap saja hutan yang pertama kita masuki tempat teraman. Lalu, tebing yang kita temui, adalah sebuah batu loncatan dan Red City adalah jawaban dua wilayah itu. Bisa saja kan seperti itu?" pertanyaan Lazuard membuat aku menatapnya dengan serius. Tidak salah jika dia jadi prajurit terdepan, analisisnya sangat bagus dan jika aku bekerja sama dengannya harusnya aku bisa menemukan jawabanku selama ini. Tapi, analisis tersebut tidak cukup menjawab semua jawaban yang sudah aku temukan sebelumnya. Hanya saja, penjelasannya masuk akal jika di gabungkan, tapi ada hal lain yang Lazuard tidak tahu. Rahasia yang aku saksikan sendiri.
"Mungkin analisis kamu benar, tapi apakah kamu tidak takut kalau aku berkhianat dan melakukan hal buruk padamu?" pertanyaanku disambut gelak tawa Lazuard.
"Hahaha.. Aku tidak perlu takut pada prajurit lemah seperti kamu. Masa menganalisis situasi saja kamu tidak mengerti. Nanti setelah dari sini aku akan mengajari kamu banyak hal. Bersiaplah, aku akan benar-benar membuat seorang Alkas yang bodoh menjadi pintar. Dan simpan analisisku di kepala kamu, ya kali saja akan ada jawabannya bukan suatu saat nanti?" tipikal Lazuard. Suka sekali menganggap orang lain bodoh persis Matteo tapi versi halusnya. Ah, apa mungkin timku harus semuanya seperti ini? Tim yang sangat menyebalkan.
"Janji ya kamu akan mengajariku banyak hal! Aku jadi tidak sabar." perkataanku disambut senyuman di wajahnya.
"Tentu saja! Aku mandi dulu, bye loser!" perkataan Lazurd hanya aku balas dengan dengusan. Hingga tiba seseorang yang menepuk bahuku.
"Kamu bukan loser, kamu hanya belum berkembang lebih baik. Jangan di masukkan ke dalam hati. Tapi, jadikan hal tersebut adalah penyemangat kamu. Tibanya di sini, akan membuat kita tiba dengan tujuan masing-masing dan cepat atau lambat kita juga akan meninggalkan kota ini. Aku harap kita bisa bekerja sama. Aku tahu pasti alasan kamu ke sini adalah kedua orang tua kamu bukan?"
Aku mengernyit, "Dari mana kamu tahu?" pancingku. Aku memastikan semua hal yang terjadi pada kita berdua, tapi tidak ada satu pun memori yang mengingatkan aku pada Aristide yang menanyakan hal ini. Apa karena tragedi saat di hutan pertama kita terlalu bising sehingga Aristide tidak mempertanyakannya lebih lanjut? Entah lah.
"Mayat yang kita temui pertama kali bukan kah sangat jelas kalau kamu anak dari mereka? Aku saja tidak tahu kalau mereka memiliki anak. Setahuku mereka hanya hidup berdua." perkataan Aristide hanya aku jawab dengan senyuman.
"Tidak ada orang yang tahu aku anak mereka. Mungkin karena aku tidak berbakat?" pertanyaanku membuat Aristide menggelengkan kepalanya.
"Pasti kamu punya bakat, jangan merasa rendah diri." Aristide menepuk bahuku membuat aku lagi-lagi dibuat bingung olehnya.
"Kamu kenapa seperti ini?" tanyaku spontan.
"Hanya merasa bersalah karena tidak menghibur kamu waktu itu. Tidurlah, besok aku ajarkan kamu bela diri, supaya kamu bisa melawan Matteo." ledeknya membuat aku mendengus.
"Ya, Master. Tolong ajarkan hamba yang lemah ini," kataku mengejeknya.
"Hahaha.. bisa saja kamu. Ayo istirahat."
Ya, istirahat. Aku butuh waktu untuk beristirahat setelah dijadikan samsak oleh Matteo. Lihat saja, akan aku balas lelaki itu!
****