Reyhan duduk di tepi ranjang sambil sedikit menyingkirkan kelopak bunga yang berserakan di atasnya. "Ini harus dibersihkan. Saya tidak biasa tidur dengan banyak bunga begini," ujarnya.
Aku mengusap wajah. Aku jadi harus membersihkan di saat aku sudah kelelahan. Belum lagi aku masih kesal karena seluruh photocard milikku hilang dibuang bude Ajeng.
"s**t! Padahal aku capek banget!" gerutu ku.
Reyhan menoleh ke arahku. "Kamu tidak boleh mengumpat, Aysha," katanya mengingatkanku.
Aku menutup mulut. Aku lupa suamiku seorang Gus. Tapi dia harus tahu, bahwa wanita yang dinikahinya bukan wanita yang mungkin dia idam-idamkan.
"Mas Rey." Aku duduk di sebelahnya. "Gue mau bicara," kataku serius. "Maksudnya aku!" tekanku yang lama-kelamaan tidak tahan berbicara dengan gaya formal.
Reyhan mengendurkan kerah kemeja putihnya, kemudian dia membuka satu kancing bajunya itu. Aku menelan ludah, apakah dia mau membuka pakaian, aku panik. Tidak mungkin dia mau menerkamku malam ini, kan. Apalagi kita sama-sama belum saling menyesuaikan diri.
Oh tidak. Reyhan berjalan ke arahku dan aku terus mundur.
"Apa pendingin ruangannya tidak nyala?" tanyanya sambil menatapku leluasa.
Bagaimana bisa dia melakukan hal itu. Jangan-jangan dia tidak sepolos yang aku duga. Benar, Aysha, dia adalah laki-laki normal, bukan malaikat tak berhasrat.
Aku lalu mendongakkan kepala, melihat ke arah AC. "Oh iya, gue lupa nyalain!"
Reyhan tampak mengernyit. Tak lama dia mengalihkan pandangan begitu saja dariku.
Alhasil aku tidak jadi bicara, aku malah menyalakan AC setelah itu kehilangan gairah untuk berbicara serius dengannya.
"Mas, gue mandi duluan, ya."
"Ah, sorry, aku mandi dulu, ya, Mas," ulangku sambil mengusap wajah lelah.
"Bukannya kamu mau bicara serius?"
"Em, gak jadi deh."
"Oh ya sudah. Jangan terlalu formal. Biasa saja," ucap Reyhan.
Aku sedikit terkejut. Rupanya Reyhan tak masalah dengan gaya bicaraku.
"Gue mau mandi aja, udah gak tahan pakai baju ini, gerah."
Reyhan tidak menjawab. Aku pun masuk ke kamar mandi begitu saja.
Sambil membersihkan tubuh, aku berpikir. Takdir membawaku menjadi istri seorang Gus. Kalau dibayangkan, aku jadi kasihan dengan Reyhan. Padahal, katanya jodoh itu cerminan.
Dosa apa yang Reyhan lakukan hingga mendapatkan istri yang tidak sepadan.
Ah terserah! Itu sama sekali bukan salahku. Dia sendiri yang mau menerima perjodohan.
Padahal, kalau Reyhan mau, bisa saja dia menolak. Pernikahan pun dijamin tidak akan terjadi. Lain halnya dengan diriku yang dipaksa sekaligus diancam oleh ayah. Daripada pergi ke pesantren, ternyata tidak buruk juga aku menikah. Apalagi Reyhan sangat rupawan.
Sejauh ini sikap Reyhan tidak terlalu menyebalkan juga. Jadi, tidak masalah. Aku akan berusaha menjalani takdirku dengan baik dan menikmatinya selagi bisa.
"Duh segarnya." Aku menghanduki rambutku yang basah. Rasanya lelahku hilang setelah berendam dengan air hangat. Aku melihat ke ranjang, ternyata Reyhan sedang berbaring sambil memejamkan mata.
"Dia tidur tanpa mandi dulu," gumamku.
Namun aku melihat Reyhan sudah berganti pakaian.
Apa mungkin dia sudah mandi lebih dulu sebelum salat asar. Tepatnya sewaktu aku pingsan karena kelaparan tadi.
"Mas Rey, gak mandi?"
"Saya sudah mandi," jawabnya masih sambil memejamkan mata.
"Oh."
"Segera pakai baju dan hijab kamu, Aysha."
Aku tercengang. Aku baru saja mandi dan dia memintaku memakai baju dan hijab. Baju memang harus. Aku tidak mungkin telanjang. Tapi hijab? Itu artinya penutup kepala yang tadi dia pakai sewaktu acara pernikahan, bukan?
"Mas Rey, kita mau ke mana kok aku harus pakai hijab?"
Reyhan masih memejamkan matanya, sedangkan tangannya bersedekap ke d**a. "Tidur."
Aku membulatkan mulutku lebar-lebar. "Tidur?"
"Ya, ini sudah malam."
"So, kenapa aku harus pakai hijab? Gak mau! Aku gerah banget!"
Aku berusaha menerima keadaan Reyhan adalah suamiku dan dia harus tidur sekamar denganku. Tapi tidur dengan hijab? Aku tidak pernah membayangkan hal itu terjadi.
Aku biasa mengenakan pakaian tidur dengan celana mini. Bahkan aku juga tidak memakai dalaman sewaktu tidur. Bisa-bisanya dia memintaku untuk mengenakan hijab.
"Saya belum siap melihat rambut dan juga tubuh kamu."
Rasanya aku seperti tersambar petir di malam hari. Pukul delapan malam dan aku mendengar sesuatu yang mengejutkan darinya.
"Apa kata Mas? Belum siap gimana?"
Jujur aku bingung maksud perkataan Reyhan itu. Apa Reyhan tidak mau melihatku tanpa hijab, begitu. Tapi ini tidur, mana mungkin aku tidur berkerudung.
"Maafkan saya, Aysha." Akhirnya Reyhan bangun dan membuka mata.
"Astaghfirullah." Reyhan malah mengelus d**a lalu menutup matanya kembali begitu melihatku dengan kimono mandi.
Apa ada yang salah? Apa aku kelihatan terlalu seksi? Aku segera menutupi tubuhku dengan dua tangan. Pikirannya pasti sangat m***m. Aku tidak akan membiarkan!
"Mas kenapa sih?" tanyaku bingung.
"Menjauh satu meter," tegasnya.
"Hah? Kenapa?"
"Menjauh Aysha, kamu kenapa pakai baju begitu?"
"Gue abis mandi, masa suruh pakai gamis?"
Reyhan masih menutup matanya sambil mengatur napas yang berantakan.
"Lo jangan mikir yang m***m, ya, Mas! Gue gak lagi mancing lo atau apa pun, ngerti!"
"Apa kamu belum memakai baju, Aysha?"
Aku benar-benar frustasi dengan pertanyaan itu.
"G-gue pakai baju, memangnya telanjang," jawabku polos.
Reyhan sedikit menarik napas tertahan seperti orang yang sesak napas.
"Tolong segera pakai baju yang tertutup."
"Tertutup gimana sih Mas? Kita kan cuman mau tidur," jawabku lagi.
"Tidak perlu dengan kerudung, hanya baju yang tertutup saja."
Aku menggeleng. Aku benar-benar heran dengan kelakuan suamiku itu.
"Ini memangnya terbuka?" Semoga saja pertanyaanku kali ini di jawab dengan lebih jelas oleh Reyhan.
"Seharusnya tidak, hanya saya belum siap."
Belum siap apa, sih. Aku makin keheranan.
"Ya udah. Gue pakai baju dulu," tutupku tidak mau memperpanjang. Mungkin laki-laki yang alim memang begitu.
Aku berjalan mendekati lemari. Kupilah baju tidurku yang semuanya berukuran mini. Aku lebih suka baju berlengan pendek dan bawahan yang pendek juga. Dibandingkan baju lengan panjang dan celana panjang.
"Astaga gue lupa di mana simpan setelan tidur gue yang panjang," gumamku sambil mencari.
Ini sangat merepotkan. Ingin rasanya aku tidur tanpa pakaian saja sekalian. Tapi aku juga gugup jika harus melakukan hal itu di sebelah Reyhan.
Baru malam pertama, aku tidak mau membuat keributan. Yang ada, aku membuat ayah marah dan mencabut segala fasilitas.
"Ah akhirnya ketemu!" decakku lega. Aku memakai piama tidur satin berwarna putih.
Aku mengambil pengering rambut kemudian duduk di sebelah Reyhan yang tengah sibuk dengan ponselnya. Agaknya dia tak sadar aku sudah selesai berganti pakaian. Kunyalakan pengering rambut lalu kuarahkan ke kepala. Dia langsung melonjak kaget menatapku seperti melihat hantu.
"Mas Rey kenapa?"
Kalau diingat, aku jadi sering bertanya ada apa dengannya. Apa sekaget itu melihat wajahku. Padahal sepertinya aku tidak jelek juga.
"Astagfirullah." Lagi-lagi Reyhan menyebut dengan mata melotot.
"Mas kenapa sih? Jujur, ya, Mas. Aku bingung dengan Mas. Apa segitu jeleknya aku di mata Mas?"
Reyhan menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan sama sekali. Apakah itu tatapan jijik, tapi sepertinya tidak begitu. Atau itu tatapan marah? Tapi juga tidak mirip.
"Saya minta maaf, Aysha. Saya hanya belum terbiasa."
Reyhan beranjak dari duduknya kemudian dia keluar dari kamar. Aku tidak mengerti, kenapa sekarang dia malah pergi.
"Ya Allah, gue ngantuk banget tapi harus menghadapi suami yang aneh gitu. Padahal ini malam pertama, tingkah dia kenapa udah bikin kesel aja!"