Baru Nikah Udah Diajak Pindah

1336 Words
“Aysha, bangun, Nduk.” “Hem, sebentar ih!” “Aysha, ini udah subuh lho. Udah lewat malah! Cepet bangun!” Aku menggeliat sambil menyipitkan mata. Kenapa suara bude sangat berisik. Ini jelas masih pagi buta, dan aku sangat mengantuk, tapi malah dibangunkan. “Bude, tumben bangunin!” kataku masih sambil memejamkan mata. Rasanya kelopak mataku sangat berat untuk terbuka. “Aysha, kamu nggak malu sama suami kamu. Dia bangun dari jam tiga tadi, coba bangunin kamu tapi kamu gak bangun.” Aku langsung terjaga begitu mendengar ucapan bude tentang suami. Bagaimana bisa aku lupa, bahwa aku sudah menikah. “Mas Rey nya mana, Bude?” tanyaku celingukan mencari-cari keberadaan lelaki itu. “Udah ke masjid, makanya kamu bangun. Kalau dia pulang, kamu belum shalat, gimana?” Mataku masih sangat berat. Rasanya aku ingin merebahkan tubuhku kembali ke kasur yang empuk. Tapi kalau aku tidak bangun, pasti urusannya jadi panjang. “Iya iya, ini Aysha mau bangun. Dah, bude mending keluar dulu.” Bude berkacak pinggang sambil menggelengkan kepalanya ke arahku. “Kamu kira bude bisa ditipu. Begitu bude keluar, kamu tidur lagi, kan?” Aku menghela napas. “Ya ampun. Iya iya!” Segera aku beranjak bangun. Lihat saja, selesai shalat subuh aku akan tidur lagi. “Bude, shalat subuh berapa rakaat sih?” “Astagfirullah, Aysha!” Bude menyentak, sepertinya dia kesal. Tapi bagaimana, aku memang lupa. Aku pun menyengir kuda tanpa merasa berdosa. “Ay, lupa, Bude.” Bude Ajeng hanya bisa menggelengkan kepala. Beginilah aku dan sudah kukatakan sejak awal. Aku bukan wanita baik-baik. Aku lupa jumlah rakaat shalat subuh, bahkan aku hanya shalat di hari raya saja. Bude meringis, dia mendekatiku lalu memelukku. Aku bingung, heran dengan sikap bude Ajeng yang tiba-tiba memelukku. “Maafin bude, ya, Nduk. Selama ini bude sibuk, sampai lupa mendidik kamu. Ingetin kamu shalat lima waktu. Ajarin kamu cara shalat.” Tanpa sadar bude Ajeng menangis sambil memelukku. Aku tidak bisa berkata-kata. Aku juga tidak bisa menangis hanya menepuk pelan punggung bude Ajeng. “Aysha gapapa, Bude.” Bude mendelik. “Shalat lima waktu itu wajib!” Lagi-lagi aku salah. “Iya, bude, iya. Aysha ngerti. Udah jangan ngomel mulu nanti cepet tua lho!” “Kamu ini, ya! Makanya buruan bangun!” Mendengar suara bude yang melengking membuat aku teringat akan sesuatu. “Astaga! Bude, Ay lupa nanya! Bude buang kemana foto JK di kamar Ay?!” tanyaku sedikit ngegas. Bude Ajeng menatap mataku seperti orang yang kebingungan. “Bude?” “Bude simpen, nggak bude buang! Tapi kamu udah nikah, Ay. Gak boleh nyimpen foto laki-laki lain!” Aku meringis sambil tertunduk lemas. “Emang kenapa, sih, Bude? Kan cuman foto. Nggak mungkin juga Ay nikahin fotonya,” ocehku. Bude menggeleng dan tidak menjawab lagi. Dia begitu saja keluar dari kamarku. “Ngeselin!!” ** “Nak Rey baru pulang dari masjid?” Aku mendengar suara itu sayup-sayup. Mataku masih belum rela untuk terbuka. Rasanya sangat nyaman, hangat, tidak sadar aku tertidur setelah menunaikan shalat. “Iya, Bude. Aysha sudah shalat, kan, Bude?” Aku menghela napas mendengar Rey bertanya pada Bude Ajeng. “Udah kok. Coba kamu lihat ya. Soalnya dia suka tidur lagi kalau abis shalat subuh,” kata bude Ajeng berbicara pada Rey. Aku memejamkan mata, memang tidur lagi adalah pilihan yang terbaik. Meski tertidur aku masih mendengar suara derap langkah kaki ke arahku. Itu pasti Reyhan. “Aysha, kamu tidur?” “Hem,” jawabku hanya berdeham pertanda iya. “Jangan tidur di atas sajadah, buka mukena kamu dulu,” ujarnya padaku. Aku pun bangun dengan malas. Kenapa sih hal seperti itu saja harus dipermasalahkan. “Ini nyaman, tidur di atas sajadah begini,” kataku merengek. Reyhan lalu membantu aku membuka mukena. Seketika mataku langsung segar begitu tangannya menyentuh garis mukena dibagian wajahku. “A-Aku bisa sendiri!” cegahku tidak ingin Reyhan membantu ku membuka mukena. Reyhan hanya diam, dia masih berjongkok sambil menatap mataku. Aku baru saja selesai membuka mukena, kemudian melipatnya rapi di atas sajadah. “Aysha, saya minta maaf.” Aku tertegun. Kenapa dia minta maaf, batinku bertanya. “Sikap saya semalam, pasti kamu merasa di susahkan,” lanjut Reyhan. Aku menghela napas. Jujur saja aku memang sedikit kesal. Tapi sekarang aku sudah tidak mempermasalahkan hal itu lagi. “Oh, gapapa kok,” jawabku santai. Memang wajar sih, namanya juga santri, pasti kaget dan belum terbiasa dengan gadis yang tidak terbiasa menutup aurat sepertiku. Aku yang cenderung cuek dalam segala hal. Bertolak belakang sekali dengan dirinya. “Saya hanya belum terbiasa dengan keberadaan wanita di samping saya. Rasanya belum percaya bahwa saya dan kamu sudah menikah.” Tatapan mata Reyhan sangat lekat. Aku sampai gugup luar biasa. Kenapa begini, padahal aku biasa bergaul dengan lawan jenis lebih intens dibandingkan hanya bertatap mata. Namun berbeda ketika aku berhadapan dengan Reyhan. Jantungku berdebar-debar. Tidak mungkin aku jatuh cinta padanya. Itu sangat mustahil mengingat kita berdua bahkan belum saling mengenal satu sama lain. “Saya akan berusaha menjadi suami yang baik untuk kamu, Aysha.” Kenapa denganku. Bukan hanya berdebar, tapi aku juga merinding sekarang. ** Ini pertama kalinya aku bangun sepagi ini, dan tidak tidur lagi. Sebenarnya tadinya aku sudah terlelap kalau Reyhan tidak membuat mataku jadi seratus persen segar karna ucapannya. Sekarang aku hanya memikirkan perkataannya, yang bilang akan berusaha menjadi suami terbaik. Aku tidak berharap hal seperti itu. Sadarku terlalu besar. Aku pun belum tentu bisa jadi sepertinya. Menjadi pasangan ideal itu rasanya sangat sulit. “Aysha, ini gosong astaghfirullah!” Aku terkejut mengangkat bahu mendengar lengkingan suara bude Ajeng memekik di dekat telingaku. Hidungku juga mencium bau tidak enak, rupanya itu bau gosong dari ayam yang aku goreng. “Ya ampun, Aysha, kamu masak apa ngelamun?” tanya bude Ajeng padaku. Aku menganga tidak percaya melihat ayam yang tadinya berwarna kekuningan berubah menjadi hitam legam. “Bu-Bude, kok ayamnya hitam gini?” Bude Ajeng menepuk kening. “Ya kamu gimana masaknya, Nduk? Kamu mikirin apa sih?” Apa aku harus menjawab pertanyaan itu. Tidak mungkin, kan, aku malu jika jujur aku sedang memikirkan suamiku yang baru menikahimu kemarin. “Maaf ya, Bude. Terus gimana dong?” “Ya Allah, bude nyesel menyerahkan masakan ke kamu. Udah sana, mendingan kamu temenin suamimu di balkon. Biar bude yang urus masakan,” kata bude Ajeng mengusirku dari dapur. Aku hanya bisa mengangguk. Sudah kubilang, aku tidak memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan. Aku memang terlahir sebagai perempuan. Akan tetapi kemampuan dasar sebagai perempuan saja aku tidak punya. Lantas bagaimana aku bisa jadi istri ideal untuknya? Kakiku melangkah lemas menuju balkon. Sebenarnya aku lebih suka di dapur dibandingkan harus menemani lelaki kaku itu. Namun apa boleh buat, aku bisa saja membakar dapur nanti kalau tetap bertahan di sana. Reyhan terlihat tengah membaca buka yang cukup tebal. Aku tidak tahu itu buku jenis apa. Tapi, kalau dilihat dari sampulnya yang berbahasa Arab, itu pasti buku Agama. Dilihat dari jauh, Reyhan memang tampan. Apalagi di lihat dari dekat. Lelaki itu membuatku terjerat pesonanya. Aku tertegun, bukannya menghampiri. Rasanya waktu terhenti, aku hanya ingin menatapnya dari tempatku berdiri. “Aysha, sedang apa kamu di sana?” Aku tersentak. Rupanya Reyhan menyadari keberadaan ku di sekitarnya. “Ah, aku cuman ... iseng aja." Kemudian aku duduk di sebelahnya, memberi sedikit jarak agar tidak terlalu dekat. “Kamu tidak memasak?” tanyanya tanpa menatapku. Aku menggeleng sambil menghela napas. “Kenapa, sepertinya kamu ada masalah,” tanyanya lagi. “Tidak, aku barusan membuat ayam jadi hitam,” jawabku sambil mengusap wajah frustrasi. Setelah ini aku yakin Reyhan akan menyesal sudah menikahi wanita semacam aku. “Oh, tandanya api yang kamu nyalakan terlalu besar.” Reyhan menutup buku lalu menatapku. Seketika aku terpaku menatap matanya yang memandang lurus ke arahku. Reyhan menyentuh sebelah pipiku dengan telapak tangannya. Ia lalu mengusap-usap di sana. Aku meneguk ludah. Apa yang ingin dia lakukan sekarang. “Aysha, kamu mau tinggal bersama saya, kan? Kita pindah ke rumah yang sudah saya siapkan,” ucapnya. Aku terkesiap mendengar itu. Masih sambil mengelus pipiku, dia terus menatapku seolah tak jemu. “Pindah?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD