Nadira's Table

1548 Words
Bian terbangun perlahan. Ruangan hotel masih terang dengan cahaya sore yang menembus tirai tipis. Pendingin ruangan masih berdengung lembut, dan di luar, samar - samar terdengar suara kesibukan serta sorak wisatawan yang mungkin baru kembali dari pantai. Ia mengucek mata, lalu duduk di tepi ranjang dengan yang sudah agak ringan daripada tadi. Jam tangan yang diletakkannya di nakas bersama ponselnya sudah menunjukkan pukul lima sore. "Waduh," gumamnya pelan sambil meregangkan tubuh. "Tidur siang kok bisa nyenyak banget gini." Sejenak ia hanya menatap kosong ke arah koper terbuka di sudut kamar. Badannya segar, tapi perutnya lapar. Bian mengambil buku menu yang ada di dalam laci, sepertinya ia butuh sesuatu untuk dimakan, mungkin yang ringanringan saja karena makan malam tidak lama lagi, takut kekenyangan. Ia membalikkan lembar demi lembar untuk melihat menu yang tersedia di hotel ini, tapi tidak satupun yang membangkitkan selera makannya, lapar tapi masih pemilih, itulah Bian. Ia mengingat kembali ajakan Capt Randy tadi siang, ajakan makan malam yang ia tolak mentah - mentah dengan alasan ingin tidur cepat. Ia menyalakan ponsel. Notifikasi grup keluarga ramai, entah membicarakan apa, ia skip dulu untuk mencari nomor telepon capt. Randy, karena cuma nomor Captain-nya yang ia punya, kalau pramugara atau pramugari tidak ia simpan. "Jadi nyesel juga nggak ikut," pikirnya sebelum menelpon Capt. Randy. Perutnya mulai keroncongan. Hotel memang menyediakan room service, tapi makanannya terlihat membosankan. Nama Capt Randy terpampang jelas di layar. "Aduh, enaknya telepon nggak, ya?" Bian ragu."Nanti dibilang galau, lagi." Ia meletakkan ponsel di meja dan pergi ke toilet untuk buang air kecil sambil menimbang - nimbang. Tapi akhirnya setelah keluar dari toilet, jempolnya menekan icon telepon disamping nama Capt. Randy.. Nada sambung terdengar. Tak lama, suara berat yang akrab muncul di seberang. "Halo, Bi. Kenapa?" Suara Randy agak bercampur dengan hembusan angin dan tawa kecil orang di sekitarnya. Bian tertawa kikuk. "Masih di pantai, Capt?" "Ya, masih...sebentar lagi sunset, ada apa, Bi ... kamu sakit?" "Nggak, Capt ... baru bangun tidur." "Owh .." "Capt ... tadi kan aku nolak ikut makan malam, ya? Eh, sekarang aku malah bingung sendiri di kamar, lihat meu hotel nggak aada yang menarik. Terus badan udah enakan lagi. Masih bisa nyusul nggak kalau ke resto itu?" Ada jeda sebentar sebelum Capt. Randy tertawa lepas. "Hahaha, kamu ini aneh banget, Bi. Tadi bilang males, sekarang mau ikut. Nanti saya telpon ke resto, bolegh nggak nambah satu orang lagi ya." "Semoga bisa, Capt." "Soalnya ini kan sudah mepet waktunya. Semoga mereka bisa, nanti sebentar saya kabarin kamu, Bi." "Oke Capt, aku sambil siap - siap." "Ya." "Nggak apa-apa, Capt. Yang penting bisa makan bareng kalian. Kirim shareloc-nya, ya. aku siap - siap dulu." "Oke. Tapi jangan kebablasan tidur lagi. Kalau ketiduran, ya wassalam." Bian terkekeh. "Nggak, Capt, udah segar kok. Aku langsung jalan." Panggilan berakhir. Sambil menunggu kabar dari Capt. Randy, Bian pun mencuci muka dan mengganti baju. Saat sedang bersiap begitu ponselnya berdering , ia pikir dari Capt. Randy, tidak tahunya Clarissa. "Halo sayang," ucap Bian menjawab panggilan Clarissa. "Lagi dimana, a'?" "Lagi di hotel, aku baru bangun tidur. Kamu sudah sampai rumah?" "Belum, lagi makan sama Egi,laper banget." "Aku juga lagi pengen makan, tadinya mau di hotel aja, tapi tadi diajak Captain Randy, kayaknya aku mau ikut aja." "Sama pramugari - pramugarinya juga?" tanya Clarissa, terdengar ada nada cemburu. "Ada dua orang, nggak semuanya ikut kok . Ada pramugaranya juga." "Kamu nggak deket-deket sama pramugarinya kan?" Bian terkekeh,"Nggak sayang ..." "Perginya jam berapa?" "Ini aku lagi siap - siap, nunggu telepon Captain Randy." "Ya udah ... Aku lanjut makan dulu deh. Nanti malam video call ya." "Oke, jam berapa? Kamu nggak ke mana - mana lagi kan ?" "Nggak aku di rumah aja, habis makan ini mau cari sesuatu dulu di PS, abis itu langsung pulang." "Yaudah, aku telpon jam delapan?" "Oke." "Bye sayang ... I love you." "Bye, a' ... I love you too." Setelah menutup telepon, Bian menghela napas panjang. Ia tahu Clarissa sering khawatir, bahkan kadang terlalu mudah cemburu. Tapi ia tidak bisa menyalahkan tunangannya itu, hubungan yang sering dipisahkan jarak seperti mereka ini selalu menyimpan celah untuk salah paham. Setelah itu, Bian mengecek wa chat yang notifikasinya baru masuk. Capt. Randy Bi ...bisa tambah 1 Bian pun tersenyum. Bian Makasih, Capt. Kita ketemu di mana? Capt. Randy Langsung di lokasi aja, saya kirim shareloc-nya. Naik taksi aja. Bian Ok Capt. Capt. Randy Tapi jangan kebablasan tidur lagi. Kalau ketiduran, ya wassalam. Bian terkekeh membaca pesan itu. Bian Nggak, Capt, udah segar kok. Aku langsung jalan. Pada balasan berikutnya, Capt. Randy sudah mengirimkan tautan lokasi Resto yang ia maksud. Bian langsung menekan gambar peta untuk mengira - ngira Di mana lokasinya berada, dan di petanya tertulis 'Nadira's Table'. "Hm … Nadira's Table? Kayaknya aku belum pernah denger resto ini," gumam Bian. "Kalau Capt bilang enak, berarti worth it lah." Ia bangkit dan mengambil sepatu dan memakainya. Di depan cermin, ia menatap bayangannya sebentar. Ada senyum kecil muncul tanpa alasan. Bian memilih baju kaos biru muda, dipadukan dengan celana chino beige dan sepatu sneakers putih. Penampilannya sederhana tapi tetap enak dilihat. Setelah memastikan dompet dan ponsel masuk ke dalam kantong celana, ia keluar kamar. Lorong hotel cukup lengang. Lampu dinding sudah mulai dinyalakan dan memantulkan bayangan langkahnya. Sesampainya di lobi, ia melihat dua turis asing sedang asik bercakap dengan resepsionis. Bian mendekati meja resepsionis. "Mbak, sore. Kalau ke daerah Kuta biasanya macet nggak, ya?" tanyanya ramah. Resepsionis tersenyum. "Sore, Pak. Tergantung jamnya. Sekarang sih agak padat, karena banyak tamu hotel yang jalan keluar bareng - bareng. Tapi biasanya masih bisa ditempuh sekitar setengah jam." Bian mengangguk. "Oke, makasih ya, Mbak." "Sudah ada mobilnya Pak?" "Belum, Saya mau pesan taksi." "Mau Saya pesankan atau bapak pesan taksi online sendiri?" Bian menggeleng, Dia tidak punya aplikasi taksi online. "Bisa tolong dipesankan saja, mbak?" "Ya bisa Pak, Silakan tunggu sebentar, nanti kalau taksinya datang, petugas akan datang memberitahu." Bian pun melangkah menuju sofa yang berada di lobi. Hanya beberapa menit kemudian, mobil taksi biru berhenti di depan lobi. Sopirnya, pria paruh baya berkemeja biru langssung menyapanya," Selamat sore, Pak, mau diantar kemana?" Bian menutup pintu mobil,"Selamat sore, Pak. Kita ke Kuta ya." "Baik, pak." Mobil yang membawa Bian pun Jalan meninggalkan lobi hotel. "Kutanya di mana Pak?" "Bapak tahu Nadira's Table?" "Maaf, saya nggak tahu, Pak, ada mapsnya?" "Ada." Bian menyerahkan ponsel. Mobil berhenti sebentar di pinggir jalan. Sopir menatap layar, lalu mengangguk. "Oh, tahu saya. Itu agak ke dalam, dekat deretan kafe. Bisa ditempuh lewat jalan pintas." Mobil kembali melaju. Jalanan Bali sore itu padat merayap, penuh motor sewaan turis dan bus pariwisata. Sopir sempat mengeluh kecil soal macet, lalu membuka obrolan ringan. "Baru pertama ke Bali, Pak?" tanyanya. "Udah sering sih, Pak. Tapi biasanya cuma sebentar. " jawab Bian. "Oh gitu. Biasanya ke Bali itu kalau nggak turis , ya urusan pekerjaan." Bian tersenyum kecil. "Iya, betul. Kebetulan kalau saya memang urusan pekerjaan." "Sendirian aja, Pak?" "Nggak, Pak. ada teman saya yang lain dan mereka sudah nunggu di tempat yang saya tuju sekarang." "Oh ketinggalan ceritanya?" "Ya gitulah kira - kira." Mereka berdua tertawa. Obrolan ringan itu membuat perjalanan terasa lebih singkat. Sesekali Bian melirik keluar jendela, melihat bayangan jingga terakhir matahari yang hampir hilang. Pantai tampak di kejauhan, dengan turis-turis bergegas pulang. "Sayangnya sunset kelewat, ya," ujar Bian sambil mendesah pelan. Sopir melirik melalui kaca spion. "Iya, Pak. Tapi jangan khawatir, malam di Kuta juga indah. Banyak resto pinggir pantai yang enak. Mungkin Resto yang bapak tuju ini juga menarik." "Semoga saja, karena saya juga belum pernah ke sini..." Bian tersenyum, meski dalam hatinya muncul perasaan aneh. Entah kenapa, ada firasat bahwa malam ini tidak akan berjalan biasa saja. Mobil terus melaju, mendekati titik tujuan. Jalan mulai mengecil, melewati deretan kafe dan toko suvenir dengan lampu warna - warni. Aroma laut bercampur dengan bau sate lilit dari warung pinggir jalan. Ponselnya bergetar. Panggilan dari Capt. Randy. "Halo, Capt." "Udah dimana, Bi, Kita udah duduk di dalam. Kalau kamu udah sampe, langsung masuk aja. Bilang nama reservasi, Randy." "Oke, Capt. On the way, Kalau lihat dari Maps, kayaknya aku sampai sana lima menit lagi," jawab Bian cepat. "Oke, sip, ditunggu." Kurang lebih lima menit kemudian, taksi yang membawa Bian akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan berarsitektur modern tapi tetap hangat dengan sentuhan kayu dan lampu kuning temaram. Di atas pintu masuk, ada papan nama bertuliskan jelas, Nadira's Table. Bian menatapnya sesaat. Ada sesuatu dari nama itu yang terasa asing sekaligus mengundang rasa penasaran. Ia menarik napas dalam, lalu membayar ongkos taksi, tentu saja ia lebihkan. "Silakan, Pak. Restonya kelihatan bagus," kata sang sopir sambil tersenyum. "Terima kasih, Pak," jawab Bian. "Sama - sama, Pak." Ia berdiri sejenak di depan pintu. Dari kaca, terlihat suasana resto hangat, penuh tapi tidak sesak. Tata letaknya rapi, kursi - kursi kayu dipadukan dengan dekorasi tropis. Tidak ada yang mondar - mandir keluar masuk, lebih mirip ruaang kelas di sekolah, semua tertib di dalam. Hatinya berdebar. Ia tak yakin apakah itu karena lapar, atau karena ini adalah kunjungan pertamanya ke resto ini? Biasanya ia tidak pernah merasakan begini. Dengan langkah mantap, ia mulai melangkah masuk … mencari Capt. Randy. "Selamat Malam, apakah sudah reservasi?" tanya pelayan yang menyambutnya di depan. "Uhm ... saya bersama Pak Randy." "O ya ...yang ada tambahan pax, ya ... silahkan ikut saya," jawab pelayan tersebut mengajak Bian masuk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD