Keberadaan Kaluna itu menahan Dhika di kamar. Ia enggan keluar, seolah pintu kayu berat itu menjadi tembok terakhir yang mampu menahan segala perasaan yang tak ingin ia hadapi. Pelayan keluar masuk membawa makanan, minuman, atau sekadar menanyakan perintah. Wajahnya masih diselimuti marah, nada kesalnya belum padam, tetapi jauh di dasar hati ada sesuatu yang ia benci akui yaitu rasa takut. Takut berhadapan dengan Kaluna, takut kalau perempuan itu membawa kembali surat cerai yang telah ia tandatangani sendiri. Ia tidak memahami dirinya. Bagaimana mungkin seorang Mahardhika Montegard yang biasa menaklukkan ruang rapat dan membungkam lawan bisnis, justru gentar di hadapan seorang perempuan? “Ck, nggak, ini Cuma perasaan bersalah karena pernah bully dia. Dia emang gak seharusnya disini.” Ia