Dhika keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri. Uap hangat masih menempel di kulitnya, membentuk kilau samar di otot-otot yang kencang. Rambutnya yang basah sedikit berantakan, sebagian tetes air jatuh menelusuri garis rahang hingga leher. Handuk kecil tergantung di pundaknya, dan aroma segar sabun bercampur maskulin memenuhi ruang.
Begitu matanya menyapu kamar, langkahnya otomatis melambat.
Kaluna sedang tengkurap di ranjang, tubuhnya seperti lekukan sungai yang mengalir malas di atas seprai lembut. Kedua kaki tertekuk santai, betis mulusnya bertumpu pada bantal, sementara gaun tidurnya yang tipis dan longgar bergeser sedikit, menyingkap garis punggung yang meruncing pada lekuk paling menggoda.
Kain itu terangkat tanpa sengaja, membiarkan cahaya bulan menyentuh kulitnya yang hangat, hingga batas tipis yang memisahkan kain dan udara terbuka begitu saja, memamerkan belahan pantatnya yang halus, seolah sengaja menantang tatapan. Jemarinya masih sibuk menari di layar ponsel, sama sekali tak menyadari bahwa setiap gerak kecilnya adalah siksaan manis bagi Dhika, yang hanya bisa berdiri mematung, dilanda pusing oleh pemandangan yang terlalu indah untuk dibiarkan begitu saja.
“Lo ngapain sih masih pake baju kayak gitu?” suaranya keluar ketus, nyaris seperti bentakan.
Kaluna menoleh sepersekian detik, sorot matanya datar di balik kacamata yang entah sejak kapan sudah bertengger di wajah. “Ada yang nuker koper gue, mana tau dituker sama modelan kayak gini. Baju gue entah nyasar ke mana,” jawabnya santai, lalu kembali fokus ke ponselnya.
Dhika mengerutkan kening, berjalan mendekat. “Pake baju gue dulu. Minimal yang layak.”
“Gak usah,” potong Kaluna cepat. “Gue nyaman pake ini.”
“Nyaman? Lo gak tahu malu.” Nada Dhika menusuk, matanya sengaja menyapu tubuh Kaluna seolah menilai dari ujung kepala sampai kaki.
Kaluna memutar bola mata. “Kenapa? Lo suka sama tubuh si culun ini?” Nada suaranya sinis, ujung bibirnya melengkung mengejek.
“Jangan GR. Gue gak ada niat,” sahut Dhika dingin. “Lo pikir gue gak pernah liat yang lebih…” ia mengangkat alis, “menarik?”
“Yaudah, harusnya gak masalah. Gue capek seharian pake gaun yang berat itu.”
“Lo beneran gak tau malu pake baju kayak gini?”
“Ngapain malu di depan orang kayak lo? Lagian kan lo bilang gak menarik.” Kembali fokus pada ponselnya.
“Dasar culun,” gumam Dhika.
Kaluna mendengus, lalu tanpa banyak bicara, ia meraih bantal di sampingnya dan melemparkannya ke arah Dhika. “Udah deh, stop ngoceh. Tidur di karpet sana.”
“Lo bilang apa?”
“Kalau gak mau, ada sofa di lantai bawah atau di deket balkon. Kasurnya punya gue soalnya seharian gue kenalan sama keluarga lo.”
Dhika justru tertawa hambar dan melangkah santai ke sisi kosong ranjang, lalu melompat naik dengan gerakan seenaknya. “Gue tidur di kasur. Gue juga capek.”
Kaluna langsung bergeser, mendorong tubuh Dhika dengan lutut. “Minggir!”
“Lo yang minggir.” Dhika menahan kakinya, tubuhnya seperti batu, tak bergeming.
“Minggir gak!”
“Stop! Kakinya diem anjir! Gak ada tempat lagi! Lagian gue enggan ngelirik. Bahkan kalau lo telanjang sambil joget pun, gue bakal mikir dua kali.”
Kaluna berdecak kesal. “Lo pikir itu lucu?” Ia mencoba menggeser Dhika lagi, tapi tubuh pria itu jauh lebih besar dan berat. Karena susah, akhirnya dia mendengus kesal. Kaluna meraih guling, meletakkannya di antara mereka seperti tembok.
“Malah tragis,” balas Dhika datar. “Karena lo repot-repot pasang penghalang, padahal gue gak ada minat.”
“Lo jangan macem-macem. Kalau lo nyebelin lagi, gue potong kuping lo, Dhika.”
“Silakan. Kuping gue dua, jadi masih ada cadangan,” jawab Dhika dengan senyum tipis yang jelas-jelas menguji kesabaran.
Kaluna mengangkat selimutnya tinggi-tinggi, membelakangi Dhika. “Tidur. Dan tutup mulut.”
Dhika berdecak pelan, nada kesalnya tak berusaha disembunyikan. Udara di antara mereka jadi padat dan terasa hangat, tapi bukan hangat yang nyaman. Lebih mirip bara yang belum sempat meledak. Beberapa menit hening. Lalu, tepat ketika Dhika mulai menarik napas dalam untuk memaksa tidur, Kaluna berbalik cepat, menatapnya tajam. “Awas kalau lo macam-macam, gue gak akan tinggal diem, awas ya.”
Dhika menatap balik, sudut bibirnya terangkat tipis, nyaris seperti tantangan. “Gue tanya siapa yang mau modelan cewek culun kayak lo? Berubah sejauh apapun, lo tetep si culun yang gak ada harganya di mata gue.”
Kaluna terdiam sepersekian detik, lalu mendengus keras, membalikkan badan lagi, menutup diri di balik selimut.
Dhika hanya menghela napas kasar, mencoba memejamkan mata, namun otaknya menolak untuk jinak. Setiap detik terasa panjang, dan kesunyian kamar justru membuat napasnya sendiri terdengar terlalu jelas. Hingga beberapa menit kemudian, suara gesekan seprai membuatnya membuka mata. Kaluna, si “culun” yang kini sudah bukan gadis SMA pemalu itu lagi, berbalik menghadap ke arahnya.
Lampu tidur memercikkan cahaya lembut yang jatuh tepat di lekuk tubuhnya, dan di balik gaun tipis yang sedikit longgar, Dhika bisa melihat belahan d**a yang kenyal, naik-turun pelan mengikuti irama napasnya. Kulitnya tampak mulus, seakan memantulkan cahaya keemasan itu, membuat darah Dhika mengalir lebih cepat.
“b******k…” umpatnya lirih, nyaris terdengar seperti desahan frustrasi. Tanpa pikir panjang, ia meraih bantal, bangkit dari ranjang, dan menjatuhkan diri di karpet bawah, seolah jarak fisik bisa meredam godaan yang menari-nari di depan matanya. Sambil merebah, ia mendengus pelan.
“Nyebelin… si culun ini malah bikin gue nggak bisa tidur,” gumamnya, sangat kesal.
***
Untunglah saat Kaluna bangun, bayangan Dhika sudah tidak ada di sebelahnya. Seprai di sisi ranjang itu dingin, dan entah bagaimana, koper yang semalam ia cari mati-matian kini sudah tergeletak rapi di sudut kamar. Alisnya terangkat, bibirnya membentuk senyum tipis penuh kecurigaan. Tch, siapa yang sebenarnya dalang dibalik ini… pikirnya sambil turun dari ranjang.
Ia langsung masuk ke kamar mandi, membiarkan air hangat mengalir membasahi tubuh, menghapus sisa kantuk dan sedikit rasa pegal. Setelah selesai, ia mengenakan dress santai berwarna pastel yang jatuh lembut di tubuhnya, rambut dibiarkan tergerai setengah basah.
Begitu menuruni anak tangga, aroma roti panggang dan kopi menyapa hidungnya. Di meja makan, Dhika duduk santai, satu tangan memegang cangkir, satunya memegang koran. Di hadapannya, sarapan tersusun rapi yaitu roti, selai, omelet, dan buah potong. Tatapannya terangkat begitu melihat Kaluna. “Duduk. Gue mau ngomong,” suaranya datar, tapi ada nada perintah yang tak bisa ditolak.
Kaluna menduduki kursi di hadapannya tanpa basa-basi, langsung meraih sepotong roti lain dan menambahkan selai stroberi tebal-tebal. Dhika mengerutkan kening. “Lo nggak ngerti sopan santun ya? Minimal izin dulu, gue yang manggang itu.”
Kaluna hanya menatapnya sambil mengunyah, lalu dengan sengaja menjilat ujung roti itu, membiarkan selai merah mengilap di ujung lidahnya. “Apa? Lo risih?” tanyanya, nada suaranya penuh provokasi.
Rahang Dhika mengeras, jemari mengetuk meja sekali sebelum ia memalingkan pandangan. “Lo itu nyebelin, tahu nggak?”
Kaluna malah tertawa kecil. “Dan lo gampang kesal. Nggak sehat kalau darah tinggi di usia segini, Tuan Montregard.”
“Kalau kelakuan lo kayak gini sejak awal, udah habis lo dibully gila-gilaan.”
“Coba aja kalau lo berani sekarang.”
Dhika meletakkan cangkirnya dengan bunyi tak! yang cukup keras. “Nanti abis sarapan, kita harus ke tempat keluarga gue yang dari Paris. Jadi—”
“Oh? Mau mulai sandiwara?” sela Kaluna sambil tersenyum miring. “Jadi mau ada acara apa? Pagi-pagi banget?”
Dhika menatapnya lama, bibirnya menipis. “Nggak tahu. Kakek yang nyuruh. Jadi kalau gue bilang pura-pura mesra, lo ikutin. Jangan bikin masalah.”
Kaluna bersandar di kursinya, mengangguk malas. “Apa yang gue dapet nanti?”
“Apa aja, asal masih dalam batas wajar.”
“Oke, nanti gue pikirin. Oh iya, siapa yang bawain koper gue kesini?”
“Gatau. Gak usah banyak tanya.”
Kaluna menghembuskan napasnya kasar, ingin sekali menjawab tapi sudah malas berdebat. Akhirnya keduanya kemudian makan dalam diam. Namun, di balik keheningan itu, mereka berdua tahu kalau sarapan ini hanyalah pengisian tenaga sebelum pertunjukan pura-pura romantis yang akan mereka lakoni di depan keluarga besar Montregard.
Sesuai agenda, Dhika dan Kaluna berjalan berdampingan menuju villa tempat keluarga besar menginap. Tangan mereka saling menggenggam, sebuah gestur yang bagi orang luar mungkin tampak romantis, namun bagi mereka berdua hanyalah bagian dari perjanjian sandiwara. Pegangan itu terasa kaku, seperti ada garis tak kasatmata yang memisahkan kulit mereka meskipun bersentuhan.
Udara pagi di kawasan villa itu segar, pepohonan cemara menjulang di kanan-kiri jalan setapak, dan suara burung bercampur dengan desir angin yang menerpa dedaunan. Namun, keindahan itu hanya menjadi latar bagi langkah yang penuh waspada. Dhika sempat melirik Kaluna dari sudut mata, dimana perempuan itu tampak santai, tapi Dhika tahu betul di balik ekspresi datarnya, pikirannya sudah menyiapkan berbagai cara untuk membalas jika ia kelewat batas.
Begitu mereka mendekati bangunan utama, langkah keduanya otomatis melambat. Dari kejauhan, di pendopo terbuka yang menjadi titik berkumpul keluarga, mereka melihat sesuatu yang janggal yaitu koper-koper besar berjajar rapi, beberapa anggota keluarga berdiri sambil memeriksa tiket, dan staf villa mondar-mandir membantu mengangkut barang.
Dhika mengerutkan kening. “Lho… kenapa pada siap-siap?” tanyanya begitu mereka masuk ke area pendopo.
“Kalian datang tepat waktu,” ujar Kakek Lucien sambil menepuk bahu Dhika. “Kami semua mau pulang.”
Kaluna mengerjap, memandang bergantian antara koper dan wajah-wajah yang tersenyum ramah. “Pulang? Sekarang?”
Lucien terkekeh, kerut di wajahnya menambah wibawa sekaligus kelicikan yang samar. “Ya. Kami sudah cukup di sini. Tapi…” Ia menoleh ke arah Dhika dan Kaluna, senyumnya melebar seperti seseorang yang baru saja merencanakan sesuatu yang licik. “Kalian berdua akan tetap tinggal di villa ini selama satu minggu penuh. Anggap saja bulan madu kecil sebelum nanti menentukan pergi kemana.”
Dhika menahan napas, tapi sebelum ia sempat membantah, Kakek Lucien mengangkat satu jari, menambahkan instruksi terakhir dengan nada yang terlalu ceria untuk ukuran perintah. “Dan, setiap hari… Kakek mau kalian kirim foto mesra. Minimal satu kali sehari. Kakek ingin bukti kalau kalian benar-benar menikmati waktu berdua.”
Senyum Kaluna membeku, sementara Dhika menatap kakeknya dengan pandangan datar. Mereka berdua masih memaksakan tawa tipis untuk menjaga citra di depan keluarga, namun dalam hati masing-masing, sumpah serapah sudah berbaris rapi.
Hebat. Satu minggu penuh di tempat ini… dan harus pura-pura mesra setiap hari.
Mereka sama-sama tahu kalau ini akan menjadi permainan panjang yang tak ada pemenangnya.