Pada akhirnya, hari yang paling dihindari itu akhirnya tiba. Kaluna duduk memandang pantulan dirinya di cermin besar berbingkai emas. Ia tak pernah membayangkan dirinya akan mengenakan busana seperti ini, terlebih untuk pernikahan yang terasa seperti babak panjang dari skenario hidup yang tak pernah ia tulis sendiri.
Sang perias menorehkan sentuhan akhir pada kelopak matanya, memoleskan kilau lembut di tulang pipi. Aroma bedak bercampur bunga segar memenuhi ruangan. Di tengah kesibukan itu, pintu terbuka pelan. Sosok Rania masuk, anggun dalam gaun pastel, senyumnya hangat.
“Sudah selesai, Mbak?” tanyanya pada sang perias.
“Sudah, tinggal nanti detail kecil sebelum turun, Non,” jawab sang perias sambil merapikan meja rias. Beberapa asistennya segera beranjak ke sisi lain ruangan, memberi ruang bagi Rania untuk mendekat.
Kaluna hanya menatap lewat pantulan. Rania duduk di kursi sebelahnya, tangan halusnya menggenggam jemari Kaluna. Sentuhan itu hangat, membuatnya sedikit keluar dari lamunannya. “Kenapa, Kak? Kok kayak gelisah?” suara Kaluna lirih, namun matanya mencoba tersenyum.
Rania menarik napas dalam, menatapnya dengan pandangan seorang kakak yang penuh tekad. “Kaluna… aku tahu kamu berusaha terlihat tegar. Tapi jangan pernah merasa kamu harus menanggung semuanya sendirian.”
“Maksud Kak Rania?”
“Aku tahu… dulu adikku itu pernah nakal sama kamu,” ucap Rania, nada suaranya mengandung penekanan yang membuat Kaluna sedikit membeku. “Jangan pikir aku nggak tahu, aku tahu gimana dia nakalnya apalagi sama kamu. Kalau dia berani mengulang itu atau melakukan apa pun yang bikin kamu nggak nyaman, aku ingin kamu langsung bilang ke aku. Biar aku yang urus.”
Kaluna tersenyum tipis, “Makasih banyak, Kak. Tapi kayaknya dia udah tobat, walaupun nantinya dia bakalan nakal, akan aku kurung dia di Gudang.”
Rania tertawa mendengarnya. “Emang harus gitu, tapi lebih bagus kamu laporin ke aku biar sekalian diulek itu kepanya.”
Kaluna menghela napas lega. “Kamu bikin aku merasa punya sekutu, Kak.”
“Itu karena kamu memang punya. Kamu punya aku. Dan kamu nggak sendirian lagi.” Rania mengeratkan genggaman tangannya, lalu tersenyum lembut. “Selamat datang di keluarga, Kaluna.”
Kaluna membalas pelukan Rania, memeluknya erat seakan rasa gugupnya sedikit larut dalam hangatnya pelukan itu. Hingga ketukan di pintu memutus momen itu. Suara panitia terdengar dari luar. “Waktunya, Mbak. Pengantin perempuan diminta bersiap.”
Kaluna dan Rania saling melepaskan pelukan, namun senyum mereka masih tertinggal. Dengan satu tarikan napas panjang, Kaluna berdiri, gaun putihnya mengalun, bersiap melangkah menuju takdir yang menantinya.
Sementara di sisi lain, Dhika berdiri di altar, matanya menatap jauh ke garis horizon di mana matahari mulai merangkak turun, mewarnai langit Bali dengan semburat oranye keemasan yang memantul di permukaan laut. Angin sore menggerakkan dedaunan kelapa, dan aroma laut bercampur wangi bunga melati dari rangkaian hiasan altar sederhana. Tidak ada kemewahan berlebihan, hanya kursi-kursi kayu putih yang berjajar rapi, dihiasi pita sutra, dan lilin-lilin kecil yang berjanji akan menyala begitu senja benar-benar datang.
Pernikahan ini bukan pesta glamor, melainkan sesuatu yang hangat dan intim yang hanya beberapa kerabat dekat, suara ombak yang jadi musik pengiring, dan langit sore Bali yang menutup diri perlahan di balik sinar emasnya. Dhika, yang biasanya berdiri dengan bahu tegap dan aura tak tergoyahkan, terlihat santai… setidaknya sampai langkah-langkah itu terdengar.
“Wahh… cantik sekali pengantinnya…”
“Wajahnya kayak barbie ya.”
“Beruntung sekali, tampan dan cantik bisa-bisa anaknya spek Dewa Dewi.”
Orang-orang berceloteh membuat Dhika menoleh.
Kaluna.
Perempuan yang selama ini di kepalanya selalu identik dengan kacamata tebal dan setelan kerja kini berjalan perlahan di atas jalur bunga putih, tanpa sepasang lensa di wajahnya. Rambutnya disanggul lembut, dihiasi sisipan bunga yang kontras dengan rona kulitnya yang bercahaya. Gaun putih sederhananya jatuh anggun mengikuti lekuk tubuh, tanpa kilau berlebihan, namun justru itulah yang membuatnya memikat. Setiap helai kain tampak bergerak seiring langkahnya, seakan diciptakan untuk menyatu dengan hembusan angin sore ini.
Ada sesuatu di wajahnya, yaitu ketenangan namun menggetarkan. Tatapan matanya tidak ragu, bibirnya tersenyum tipis, dan untuk alasan yang tidak dimengerti Dhika, dadanya terasa sesak. Kepala pria itu mendadak terasa berat, denyut aneh berdebar di pelipis.
Entah sejak kapan ia tidak berkedip.
“Ih, Om Dhika mimisan!” suara nyaring Daisy, keponakannya, memecah keheningan.
****
Keduanya sepakat untuk menjalani pernikahan sandiwara dengan rapi, memerankan peran layaknya pasangan normal.
Sebagian besar keluarga Dhika datang dari Paris, dan di sanalah Kaluna mengetahui sebuah fakta baru bahwa ayah Dhika dan saudara-saudaranya di Paris memiliki ibu yang berbeda. Pantas saja, beberapa dari mereka memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah ingin mengukur atau menilai. Kaluna menduga ada riak-riak lama, perseteruan yang membuat ayah Dhika memutuskan menetap di Indonesia dan menanggalkan nama belakang keluarga ayahnya.
Kaluna tidak berniat mencampuri urusan masa lalu, fokusnya hanya memastikan kakek dan neneknya menikmati hari ini tanpa beban. Ia membiarkan beberapa sepupu Dhika yang masih melemparkan senyum sinis berlalu begitu saja dari pandangannya.
Malam tiba, lampu-lampu gantung mulai menyala dan musik lembut mengalun di bawah langit berbintang. Setelah menunaikan semua basa-basi, menyapa para tamu, dan memastikan semua undangan terlayani, Kaluna merasa waktunya untuk undur diri. Teman dekatnya telah pamit, begitu pula kakek dan nenek yang memilih kembali ke penginapan untuk beristirahat.
“Gue ke vila duluan, udah capek,” bisik Kaluna, setengah menahan kantuk.
Dhika hanya mengangguk, matanya tetap menyapu kerumunan tamu. “Iya, gue di sini dulu. Jangan macem-macem lo.”
Kaluna berdecak lalu pamit pada beberapa orang yang sempat menahannya untuk mengobrol. Langkahnya ringan menuju area vila yang katanya disiapkan khusus untuknya. Begitu sampai, matanya langsung menelusuri interiornya. Vila itu cantik, tapi… ia memiringkan kepala. Hanya satu kamar? Dan kamarnya… oh Tuhan… terlalu romantis untuk selera orang yang baru menikah kontrak. Ranum warna mawar pada seprai, kelambu putih melambai tertiup angin, dan di sudut ada bathtub besar berisi kelopak bunga.
“Ya ampun honeymoon suite,” gumamnya sinis.
Terserahlah, pikirnya. Ia butuh kesegaran. Kaluna masuk kamar mandi, membiarkan air hangat mengalir di kulitnya, menghapus semua sisa make-up dan penat. Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan tubuh terbalut handuk putih yang hanya sampai pertengahan paha. Ia menuju koper, siap mencari piyama longgar atau kaus favoritnya.
Begitu resleting koper terbuka, langkahnya terhenti. Ia menatap isi koper selama tiga detik, lalu matanya menyipit.
“...Astaga… siapa yang ganti semua baju aku?” gumamnya, nada suaranya naik setengah oktaf.
Di dalam koper itu, tidak ada satupun gaun santai atau pakaian kasual. Semuanya adalah lingerie. Satin tipis, renda transparan, potongan yang lebih cocok untuk iklan parfum dibanding dipakai tidur. Ada yang warna merah menyala, ada yang hitam pekat dengan belahan tak masuk akal, bahkan satu set berwarna putih yang nyaris tidak menutupi apapun.
Kaluna mendecak, lalu mengangkat salah satunya. “Masa gak pake baju sih?”
Ia meletakkan lingerie itu di tempat tidur, lalu menatap sekeliling kamar yang terlalu sepi. “Yaudah lah, lagian dia juga gak doyan kan modelan culun gini.”
Satu jam kemudian, Dhika akhirnya memutuskan untuk meninggalkan pesta. Dia sudah lelah menghadaoi beberapa sepupu dari Paris yang tatapannya seperti pisau tumpul, yang menusuk tapi tidak mempan. Mereka iri bukan main hanya karena sang Kakek selalu memihaknya. Semua orang tahu alasannya, yaitu darah wanita yang dicintai sang Kakek mengalir dalam dirinya. Sebuah kebanggaan bagi orang lain, tapi bagi Dhika itu beban yang menyesakkan.
Ia memasuki vila. Lantai bawah adalah ruang makan dengan interior kayu dan kaca lebar, sunyi hanya terdengar detik jam dinding. Langkah kakinya mantap menuju tangga, lalu menapaki anak tangga menuju lantai atas.
Pintu kamar tidak tertutup rapat. Dhika mendorongnya tanpa banyak pikir lalu berhenti.
Kaluna duduk di ujung ranjang, membelakanginya. Rambut hitamnya terurai hingga menyentuh punggung, sementara tubuhnya terbungkus lingerie satin merah tua dengan renda tipis yang menonjolkan lekuk pinggang dan punggungnya yang sempurna. Tali tipis lingerie itu jatuh sedikit di bahu, memberi garis pandang pada kulit pucatnya yang mulus. Kaki jenjangnya terangkat sedikit, jari-jari kakinya lentik, sedang ia rapikan dengan gunting kuku.
Dhika mematung. Napasnya nyaris tertahan. Dalam hatinya, ia mengumpat. Dhika berbalik hendak pergi, tapi— BRUK!
Dahi Dhika membentur dinding di belakangnya. Rasa nyeri langsung menjalar, membuatnya refleks mundur dan kehilangan keseimbangan, jatuh telentang di lantai.
Jeritan Kaluna pecah di udara. “Astaga! Lo ngapain di situ?!” Refleks, ia meraih bantal terdekat dan melemparkannya tepat ke wajah Dhika.
Dhika hanya meringis sambil menatap langit-langit. Sialan… malu setengah mati.