Seksi dan Tegang

1515 Words
“Jadi?” Pertanyaan Vita menggantung di udara, sembari menatap nyalang Kaluna yang tengah mengerjakan sesuatu di laptopnya. “Bisa-bisanya kamu santai disaat mau dinikahin sama musuh sendiri, Luna! Lawan gak!” “Vi, rileks. Kita berdua udah sepakat pernikahan ini buat Kakek kita masing-masing, buat nenangin mereka aja. Kita udah saling nyebutin point di pernikahan nanti. Gak ada yang harus ditakutin, aku sama si Dhika itu gak akan ganggu satu sama lain. Dan tentu bakalan berakhir cerai.” “Kalau emang akhirnya cerai, kenapa gak dibatalin dari sekarang aja? Lagian dia punya cewek ‘kan?” tanya Vita masih dengan emosi yang menggebut. “Lihat gue dulu, Kaluna.” Kaluna menghela napasnya dalam. Ia tinggalkan dulu pekerjaannya dan menatap Vita yang kini melangkah mendekat padanya. Salah satu tangannya menyentuh meja menopang tubuh, tatapannya tajam pada Kaluna. “Gak usah nikah sekalian.” “Tapi kalau gak nikah, kita sama-sama kecewain Kakek masing-masing, Vit.” “Tapi dia bahkan nyakitin kamu, Na, kakek kamu gak tahu kan?” “Gak akan ada gunanya kalau tahu, yang ada bahkan bikin dia makin kecewa dan sakit. Jadi tenang aja, okey? Gak ada pernikahan berjalan mulus, aku sama si Dhika udah mikirin mateng, bakalan ada perpisahan pada akhirnya.” Vita terdiam sejenak. “Dia minta maaf gak atas tindakannya dulu?” “Enggak.” “Emang beneran b******n!” BRAK! BYUR! “Astaga, Na!” Kopi di meja Kaluna sampai tumpah sebab gebrakan tangan Vita yang penuh emosi. “Ck, inimah aku emang disuruh mandi. Yaudah deh, sana katanya mau ke café ada meeting. Sana.” “Aku masih gak terima ya kamu nikah sama musuh yang bikin kamu trauma, Na. Kita omongin ini lagi nanti.” Vita menatap jamnya, sebelum pamitan sebab ada pekerjaan yang menunggu. Dan Kaluna? Ia akan membersihkan diri di kamar mandi dalam ruangannya, ia ingin menyegarkan dulu kepalanya dari berbagai beban yang menumpuk. Bahkan Kaluna menurunkan tirai besar hingga menutupi dinding kaca, tidak lupa menghubungi sekretarisnya supaya tidak membiarkan siapapun masuk, sebab dia ingin istirahat sejenak. Sementara itu di sisi lain, seorang Mahardhika disela kesibukannya terpaksa harus pulang ke rumah sebab panggilan dari sang Mama yang kini tengah membungkus mpek-mpek ke dalam wadah besar. “Mama gak lupa kalau di dunia ada ojeg online ‘kan?” “Diam, kamu harus antarkan sendiri, supaya pendekatan juga dengan Kaluna. Kalau bisa, ajak dia kesini secepatnya sebelum menentukan tema pernikahan dan hal semacam itu. Mama mau kenal dia dengan baik, dari fotonya…. Dia terlihat sangat manis dan cantik. Beruntung sekali adek.” Dhika mendengus, dan terdengar sang Mama hingga ia diberikan tatapan tajam. “Iya, Ma, beruntung.” Begitu bungkusannya selesai, sang Mama segera menyerahkannya pada anak bungsunya. “Jangan hanya karena amanat Kakek, kamu seenaknya sama dia. Sayangi dia dengan benar, beruntung loh wanita secantik dia mau menerima kamu, Dek.” Dhika hanya mengangguk, lalu naik mobil segera. Dalam perjalanan barulah dia tertawa dingin, cantik apanya, culun begitu. Jika bukan karena sang kakek, ia enggan untuk menikahi si culun yang bahkan kini mulutnya pedas, berani menatap tajam pada Dhika. Tidak seperti dulu yang ketakutan, si culun bahkan kini menatapnya penuh kebencian. Menyebalkan sekali. Akhirnya mobil pun sampai di kantor Kaluna. “Pak, apa perlu saya ikut?” tanya sang ajudan. “Tidak perlu, saya tidak akan lama.” Dhika melangkah masuk ke lobby kantor Namara Essence dengan paperbag di tangannya. Wajahnya datar, aura dinginnya seperti bilah baja yang membuat beberapa pegawai di resepsionis spontan menunduk, memilih pura-pura sibuk daripada menyapa. Langkahnya mantap menuju lift eksekutif, menekan tombol ke lantai paling atas, lantai milik sang CEO. Begitu pintu lift terbuka, suasana sepi menyambutnya. Alisnya berkerut. Ke mana sekretaris perempuan itu? Apa sedang ke kamar mandi? Malas membuang waktu, Dhika langsung menuju pintu di ujung lorong, memutar gagangnya dengan santai. Gelap. Tirai jendela besar ditutup rapat, membuat ruang CEO itu hanya diselimuti cahaya samar dari lampu meja di sudut. Dhika melangkah tanpa rasa curiga, hingga… ia mendengar hembusan napas teratur. Tatapannya bergerak ke arah sofa. Dan di sanalah ia melihatnya, Kaluna. Perempuan yang di kepalanya selalu identik dengan kacamata tebal dan blazer kerja itu kini tertidur miring di sofa, rambutnya terurai berantakan, membingkai wajahnya yang tenang. Tanktop tipis berwarna krem membalut tubuhnya, menonjolkan lekuk d**a yang penuh dan menggoda setiap tarikan napasnya. Celana pendek satin lembut memperlihatkan keindahan pahanya sekaligus membentuk siluet padat pinggulnya yang sempurna. Dhika mengepalkan tangan, rahangnya menegang. Napasnya berubah ritme, seperti ada sesuatu yang tiba-tiba menguasai kepalanya. Ia memalingkan wajah dan buru-buru keluar sebelum pikirannya semakin kacau. Sialannn! Pintu ditutup dengan tegas. Dhika berdiri di luar, menatap lantai. Tunggu. Kenapa adik kecilnya menegang? Tidak. Tidak mungkin. Bukan karena si culun itu. Seketika, rasa panik yang jarang ia rasakan merayap di dadanya. Ia mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor Anton. “Anton.” Suaranya dingin dan berat. “Siapkan jadwal perjalanan kerja ke luar negeri. Segera. Sebelum saya menikah. I don’t care if it’s Singapore, Tokyo, or Dubai. Make it worth my time. Full itinerary, high-level meetings, premium investors only. I need to be… occupied.” “Maaf, Pak?” “Sampai hari pernikahan tiba, buat saya sibuk.” Iya, Dhika memilih pergi menjauh dari si culun itu sampai hari pernikahan tiba. **** “Luna, nanti yang keranjang biru langsung masukin ke kulkas ya, yang sisanya langsung dimakan,” ujar sebuah suara yang begitu halus dari arah dapur. Kaluna mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari foto-foto di dinding, masa remaja Dhika waktu masih di Indonesia. “Dulu dia keliatan banget ‘kan nakalnya?” sosok itu kini berdiri di samping Kaluna. “Makannya dikirim ke Kakek dari pihak ayahnya di Prancis, sebelum kenakalannya menjadi-jadi. Mama aja sebagai Ibunya suka dibikin pusing, tiap hari pulang banyak banget kotor di bajunya, masuk kelas jarang, tahunya main aja. Mana Papanya langganan keluar masuk BK gara-gara anak itu.” Kaluna hanya tersenyum sebagai tanggapan, memang benar Dhika itu next level dari nakal. Menjelang kelas tiga akhir, Dhika dipindahkan. Saat itu Kaluna pulang lomba dan tahu-tahu Dhika sudah tidak ada, katanya dibawa pergi oleh Kakeknya di Prancis. Bagi Kaluna itu sebuah ketenangan, walau trauma yang ditorehkannya masih belum kunjung hilang. “Luna mau pulang sekarang?” “Iya, Ma. Soalnya besok ada janji temu sama Vendor, Kak Rania juga ikut.” “Ah iya, kalau urusan Mama selesai lebih cepat pasti Mama nyusul kok. Heran juga Mama sama Dhika, kenapa dia malah keluar Negara, padahal acara nikahan kalian tinggal menghitung minggu.” Benar sekali, Kaluna sedang berada di rumah orangtuanya Mahardhika atas perintah dari Dhika sendiri. awalnya Kaluna ingin mengabaikan, tapi tiba-tiba saja ada nomor tidak dikenali mengiriminya pesan dengan sangat sopan dan hangat. Siapa sangka keluarga ini sangat hangat, berbanding terbalik dengan Dhika dengan segala kebusukannya. Mereka sangat baik, bahkan Lestari, sang calon Mama Mertua, meminta maaf sebab Kaluna harus menikahi anaknya yang nakal itu, berterima kasih atas kesediaannya. Dengan background Kaluna yang baik, jelas sekali dia diterima oleh mereka. Bahkan katanya jika nanti Dhika berulah, bisa melapor pada sang mertua. Tidak buruk juga. Setelah berpamitan, Kaluna langsung mengendarai mobilnya sendiri. Setidaknya keluarga Dhika sangat baik, ada sisi yang membuatnya nyaman dalam melangsungkan sandiwara yang entah sampai kapan selesainya. “Ah… kue kesukaan Kakek,” gumam Kaluna mampir terlebih dahulu, belum jauh tempatnya dari kompleks perumahan elite keluarga Dhika. Begitu keluar dari toko tersebut, tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya. “Apasih?!” “Lo abis dari rumah keluarganya Dhika?” Tanya Rihana dengan api kecemburuan di tatapannya. “Ngapain abis dari sana?” Kaluna tertawa. “Kenapa? Iri gak bisa kesana? Capek jadi simpenan?” “Lo harus tahu batasan ya, pernikahan ini cuma sandiwara, jadi usahakan jaga jarak sama keluarganya, gak usah sok manis lo, Culun.” “Mereka yang ngundang, dan emang gue manis.” Kaluna melangkah mendekat, membuat Rihana mundur seirama dengan Kaluna ketika tatapan perempuan berkacama itu begitu tajam. “Lo yang tiba-tiba datang narik tangan gue, itu bener-bener gak sopan banget. Gue gak peduli lo mau gimana sama Dhika diluar sana, gak ada urusannya sama gue dan stop berkeliaran di sekitar gue, sakit mata.” Rihana tertawa. “Bisa lawan lo sekarang, Culun? Punya nyali lo? Jaga sikap sebelum Dhika kasih lo peringatan.” “Peringatan apa? Emang bener lo bikin sakit mata. Udah mukanya pas-pasan, attitude minus, skill jalan kayak manekin mabuk, pantes semua brand pada batalin kontrak. Model kok portofolionya isinya minta maaf mulu.” “Lo gak us¾ Arghh!” BYUR! Siapa sangka, Kaluna yang terus melangkah mengintimidasi Rihana hingga terus berjalan mundur dan akhirnya terjungkal ke got samping toko tersebut. “Aishhhh! Sialannn!” “Kaluna?” Kaluna buru-buru menoleh. “Loh, Ma? Kenapa nyusul?” Disana Lestari turun dari mobil, di tangannya ada papperbag. “Mama lupa, ini oleh-oleh Papamu kemarin dari luar kota. Untung aja kamu belum jauh,” ujarnya kemudian melirik ke Rihana yang… hitam pekat, kotor dan juga bau menyedihkan. Rihana tersenyum berusaha menyapa hingga memperlihatkan giginya yang putih saja. “Hallo, Tante.” “Ih, kamu ngapain ngobrol sama ODGJ? Ayok ayok jangan deketan, nanti ketularan gila,” lanjutnya menarik tangan Kaluna menjauh. Membuat Rihana mengepalkan tangannya kuat. Sialan! Dia kesal sekali!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD