Bukan Aku yang Dulu

1575 Words
Masih teringat di benak Kaluna bagaimana tatapan mereka membuatnya tidak bisa bernafas, memanggilnya kutu buku, memberinya perintah yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang teman sekolah. Kaluna dianggap sebagai seorang pelayan, yang harus melayani mereka yang lebih kaya. Keberadaannya di sekolah swasta mahal itu dianggap keberuntungan bagi orang lain, tapi bagi Kaluna tidak. Anak-anak kaya yang memiliki orangtua sebagai donator malah memperlakukannya lebih buruk. Khususnya sang Pangeran Sekolah, atau dengan julukan lain Hakim Jalanan. Anak yang sangat nakal, jarang masuk sekolah dan sekalinya ia masuk akan membuat hidup Kaluna terasa seperti kiamat. Tentu saja Mahardhika, yang katanya ayahnya adalah seorang Pengacara, penegak hukum, tidak menjamin kelakuannya baik. “Lun? Eh nengok dia dipanggil si Culun. Beliin gue jajan ke kantin sono, sama kerjain PR gue.” “Weiii, anak beasiswa nih. Salin buku catatan gue ya.” “Si culu, Bu! Dia yang buang sampah sembarangan.” Ingatan itu tetap melekat walaupun 10 tahun berlalu. Kaluna kecil yang baru berusia 16 tahun itu harus menanggung derita ejekan dari teman-temannya hanya karena mendapatkan beasiswa, hanya karena penampilan dan strata ekonomi berbeda, atau mungkin mereka hanya iri dengan otaknya yang cemerlang, yang satu tahun lebih muda tapi mampu menjadi kebanggan sekolah. Khususnya para wanita yang selalu iri padanya, dan pada akhirnya mereka akan turut merundung, bahkan lebih parah dari Mahardhika, sampai beberapa kali Kaluna pulang telat dari sekolah demi mengerjakan hukuman atau tugas mereka. Maka dari itu, Kaluna enggan menikah dengan Mahardhika. Bayangan masa lalu akan selalu menghantui, belum lagi melihat Dhika satu atap dengannya. Namun, Kaluna lebih tidak mampu melihat sang Kakek terbaring sakit, dengan wajah pucat dan tangannya yang kasar kini tengah mengelus surai halus sang cucu. Walau darah tidak terikat diantara mereka, walau Kaluna dirawat beralasan kasihan sebab kedua orangtuanya meninggalkan, petani tua yang menjadi tetangga, malah menjaganya sampai Kaluna menjadi seseorang seperti sekarang. Sampai berbegai pekerjaan diambil oleh sang Kakek, termasuk pernah menjadi sopir dari Lucien, Kakeknya Dhika. “Kenapa memaksakan ke ladang? Bukannya udah dikirim uang banyak-banyak sama Luna?” Kakek Suta terkekeh. “Bukan karena uang, Kakek rindu ke ladang lagi.” Walau hidup di Ibu Kota, Kakek Suta memilih untuk tidak menikmati segala kemewahan dan fasilitas modern seperti apartemen tinggi dengan pendingin udara, pusat perbelanjaan besar, atau hiruk-pikuk kafe elit. Ia lebih suka tinggal di rumah bergaya tropis sederhana di kawasan pinggiran Jakarta, di mana hamparan sawah masih membentang di kejauhan dan udara pagi membawa aroma tanah basah. Lingkungannya tak terlalu kampung, namun tetap menyisakan ruang bagi derap langkah petani dan suara gemericik irigasi yang menjadi latar hidupnya sejak muda. Kakek dan Neneknya pernah tinggal di Ibu Kota hanya untuk menemani Kaluna ketika mendapatkan beasiswa di salah satu sekolah elit. Mereka adalah lentera hidup Kaluna, tanpa mereka, ia mungkin tidak akan menjadi seseorang. “Kan udah ada yang jaga, udah ada yang kerja, Luna udah bayarin mereka loh biar Kakek gak turun ke ladang. Ini malah turun, sekarang kumat lagi ‘kan?” “Gak papa, cuma pegel biasa. Nanti lihat kamu menikah, Kakek bakalan langsung sembuh.” Kaluna tersenyum tipis, sambil terus memijit kaki sang Kakek yang terbaring. “Memangnya harus menikah ya, Kek? Dengan orang itu juga?” “Iya, harus menikah dengan orang itu. Supaya kalau Kakek atau Nenek tidak sampai umur, ada yang menemani kamu.” “Kok kakek ngomongnya kayak gitu. Gak boleh, harus temani sampai Kaluna tua juga. Masih banyak ladang yang harus Kaluna beli buat Kakek. Makannya harus tetep sehat.” Pria tua itu tertawa kencang sampai memperlihatkan giginya yang sebagian sudah rontok. “Dia laki-laki yang baik, dibesarkan oleh keluarga yang baik juga. Keluarga besarnya sangattttt besar, apalagi kerabat-kerabatnya di Prancis. Luna pasti suka, biar gak kesepian.” “Udah, nanti juga kenal sendiri,” ucap sang Nenek masuk ke kamar membawa makan dan obat untuk Kakek. “Bukannya hari ini Luna juga mau ketemu sama Nak Dhika? Jadi atau enggak?” “Oh iya!” Kaluna baru ingat. “Luna pamit dulu ya.” Mencium tangan kedua orang tua tersebut sebelum bergegas pergi. Mengendarai mobil sendiri menuju ke kantornya di pusat kota Jakarta. Memang Kaluna yang meminta bertemu, ada beberapa hal yang harus dibicarakan, disepakati. Kantor Namara Essence berdiri megah sebagai ikon kemandirian Kaluna, menempati bangunan enam lantai dengan luas yang menjulang di salah satu kawasan bisnis strategis. Fasadnya memadukan kaca reflektif dan panel kayu elegan, memberi kesan modern sekaligus hangat. Lantai teratas menjadi pusat komando, ruang CEO milik Kaluna dengan jendela panorama menghadap kota, interior berbalut marmer krem dan sentuhan emas, memancarkan wibawa sekaligus cita rasa mewah yang menjadi ciri khas brand Namara Essence. Sesuai dugaannya, ketika Kaluna berjalan di koridor menuju ruangannya, sang sekretaris berkata, “Sudah ada di dalam, Bu. Tadi beliau agak marah jadi saya tidak berani menolak dan mengizinkannya duduk di dalam.” “Gak apa, terima kasih ya.” Kaluna menarik napasnya dalam sebelum membuka pintu ruangannya sendiri. Namun, langkahnya seketika terhenti melihat…. Bukan hanya Mahardhika disana, tapi ada juga seorang perempuan yang tengah tertidur, bersandar di bahunya. Dhika menoleh saat pintu ruangan terbuka dan berucap, “Jangan berisik, pacar gue bosen nunggu sampai ketiduran.” Kaluna terkekeh, lupa yang dihadapinya ini seekor buaya darat dan pria b******k yang pasti saja memiliki hal-hal b******n di setiap langkahnya. Dan sialnya lagi, wanita ini yang dulu juga pernah menjadi pembully di masa sekolahnya. **** Tentu saja Kaluna ingat siapa Rihana. Ratu sekolah. Kalau Dhika punya julukan pangeran sekolah, maka Rihana adalah queen bee yang selalu menjadi pusat perhatian. Wajah cantik, senyum licin, dan suara yang manja hanya untuk menarik simpati guru, sementara di balik itu, lidahnya setajam silet untuk merendahkan orang yang dianggapnya tidak pantas berjalan di lorong yang sama dengannya. Seingat Kaluna, Rihana memang sudah menempel pada Dhika sejak masa SMA. Entah mereka benar-benar pacaran atau hanya simbiosis dua penguasa sekolah, yang jelas hari ini keduanya duduk di ruang CEO milik Kaluna… dan dengan santainya menyatakan bahwa mereka pacaran. Bahkan lebih parah lagi, mereka datang membawa surat kontrak perjanjian untuk pernikahan yang akan berlangsung enam belas bulan ke depan. Kaluna menarik kursi, duduk dengan tubuh tegak, lalu membaca poin-poin yang Dhika sodorkan. Setiap kalimat terasa seperti permainan tawar-menawar harga diri. Hingga matanya berhenti pada satu poin yang membuat sudut bibirnya terangkat dalam senyum tajam. Kedua belah pihak bebas berhubungan dengan siapapun, tanpa menuntut. Kaluna mendengus pelan. “Lo serius nyelipin poin ini?” Dhika bersandar santai di kursinya, nada suaranya setengah malas. “Biar jelas dari awal. Gue nggak mau ada drama.” Kaluna mengangguk pelan, lalu menggeser kertas itu ke arahnya, menorehkan garis tebal dengan pulpen emasnya. “Oke, gue setuju bebas. Tapi… ada satu catatan.” “Apaan?” “Lo nggak bawa pasangan lo ke rumah gue nanti. Termasuk dia.” Kaluna mengangkat dagu sedikit ke arah Rihana. Rihana langsung mengangkat alis tinggi-tinggi. “Hah? Siapa lo ngatur-ngatur? Ini rumah lo juga bukan, Culun.” Nada bicaranya melesat seperti panah. “Gue rasa lo masih aja si culun dulu, cuma sekarang kebetulan punya duit aja. Nggak akan lama juga, percuma lo—” Tatapan Kaluna menghentikan kalimatnya. Dingin, hitam, dan menusuk, seperti pisau yang diselipkan di bawah tulang rusuk. Rihana terdiam sepersekian detik, lalu pura-pura batuk kecil, dan bersandar pada bahu Dhika. Dhika melirik Rihana sekilas. “Ri, keluar dulu. Aku mau ngomong sama Luna.” “Aku nggak mau—” “Keluar,” ulang Dhika, kali ini lebih datar. Dengan langkah malas, Rihana bangkit. Bukannya benar-benar pergi, ia justru berjalan-jalan memutari ruangan, jemarinya menyusuri permukaan rak buku dan lemari arsip. Kaluna memilih mengabaikannya. “Kita revisi yang poin ini,” ucapnya pada Dhika sambil mencoret beberapa kalimat. “Intinya, kita cuma akting di depan orang tua. Nggak ada tuntut-menuntut. Dan kalau salah satu dirugikan…” “…yang lain harus ngasih kompensasi setimpal,” Dhika menyambung. “Ya,” Kaluna mengangguk. “Misalnya gue harus ikut acara lo, lo bayar gue sesuai nilai waktu gue. Gue nggak jual murah.” “Gue juga,” Dhika membalas sambil membubuhkan paraf kecil di tepi kertas. Diskusi berlanjut, dua kepala yang dulu bertemu sebagai pembully dan korban, kini saling berhadapan sebagai negosiator yang sama-sama lihai. Kertas mereka penuh coretan, tanda kompromi di satu sisi dan pertarungan ego di sisi lain. Hingga tiba-tiba “Eh… ini apaan?” suara Rihana melengking dari sudut ruangan. “Confidential Agreement: Joint Acquisition & International Expansion Strategy… gila, judulnya aja udah berasa rahasia negara.” Kaluna menoleh. Rihana berdiri dengan satu map hitam di tangannya, matanya menari-nari membaca setiap baris di dalamnya. Map itu adalah dokumen rahasia, sesuatu yang bahkan karyawan tingkat tinggi pun tak boleh menyentuh tanpa izin. “Taruh itu,” suara Kaluna merendah, tapi mengandung ancaman. Rihana malah terkekeh, nada suaranya penuh olok-olok. “Wih, gede amat angkanya. Jadi gini ya cara lo main di belakang? Pantes…” Kaluna berdiri. Langkahnya tak terburu-buru, tapi penuh tekanan. Dalam sekejap, ia meraih map itu dari tangan Rihana, dan— PLAK! Suara tamparan menggema di ruang luas itu. Rihana terperanjat, pipinya memerah. “Kenapa lo tampar gue?! Gila lo?!” Kaluna menatapnya, sorot matanya setajam ujung belati. “Kalau gue mau, gue bisa bikin lo berurusan sama hukum hari ini juga. Lo sadar nggak apa yang lo baca tadi bisa jadi bahan perkara? Tamparan ini nggak ada apa-apanya dibanding tuntutan yang bisa bikin lo bangkrut.” Tidak ada lagi “si culun” yang bisa ditertawakan. Yang berdiri di hadapan mereka sekarang adalah CEO yang membangun kerajaan bisnisnya dari nol, yang tak akan membiarkan siapa pun menginjak harga dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD