Tidak ada satu pun yang membuka suara terkait kenyataan bahwa keduanya pernah berada di sekolah yang sama. Tidak ada yang mengungkit sejarah kelam yang mereka tahu akan merusak suasana. Yang terdengar hanyalah suara sendok beradu lembut dengan piring porselen, dan denting gelas kristal berisi anggur.
Kakek mereka masing-masing yang berbicara, menceritakan cerita masa lalu bagaimana Kakek Suta, lelaki sederhana itu pernah menolong Lucien Montregard di masa lalu sebelum menjadi sopir pribadinya, pertolongan yang tidak pernah dilupakan oleh keluarga Montregard. Dan kini, perjodohan ini menjadi bentuk balas budi, sebuah ikatan yang dianggap terhormat oleh kedua keluarga.
“Kaluna luar biasa sekali. Di usiamu yang masih muda, sudah memiliki brand parfum sendiri,” puji Lucien. “Memang tidak salah Kakek tua ini memilih kamu sebagai pendamping Dhika.”
“Semua yang saya miliki adalah berkat keringat Kakek dan Nenek di perkebunan. Saya hanya meneruskan kerja keras mereka.”
Kakek Suta tertawa. “Kaluna memang selalu merendak, Pak. Terutama dalam keahliannya. Dia itu pandai sekali memasak, merawat rumah dan juga orang yang sangat suka belajar dan bekerja keras.”
Lucien tertawa ringan. “Nah, memang cocok dengan cucuku yang terlalu gila kerja ini. Tapi, Kaluna, mulai malam ini tidak perlu bekerja terlalu keras. Kamu, dan keturunanmu kelak, akan bergelimang harta sebagai bagian dari keluarga Montregard.”
Kaluna terkekeh tipis, meski dalam hatinya ada sesuatu yang mengeras. “Dengan hormat, ada baiknya saya dan calon suami saling mengenal terlebih dahulu sebelum masuk ke tahap yang lebih serius.”
Lucien malah tertawa lebih keras, mengibaskan tangannya seakan itu lelucon. “Kalian punya seumur hidup untuk saling mengenal. Setelah menikah. Lagipula masing-masing dari kalian selalu sibuk bekerja, ini waktu yang pas untuk merajut cinta.”
Kakek Suta mengangguk, matanya menatap Kaluna dengan harap yang nyaris memaku lidahnya. “Bukankah kita sudah sepakat, Na? Pertemuan malam ini hanya untuk menentukan tanggal. Semua bisa dibicarakan nanti setelah resmi menjadi suami-istri.”
Kaluna terdiam. Kata-kata seperti tersangkut di tenggorokannya. Ia meraih gelasnya dan minum cukup banyak. Menikah dengan orang yang pernah menindasmu… apa itu sebuah hukuman atau ujian?
Dengan senyum yang ia paksakan, Kaluna berkata pelan, “Permisi sebentar, saya ke kamar mandi.”
Ia bangkit, melangkah meninggalkan ruangan, namun punggungnya terasa berat seolah ada tatapan yang menempel di sana, tatapan dingin Mahardhika yang mungkin sedang menghitung langkahnya keluar.
“Apa yang kamu lihat, Dhika? Cobalah kejar dia dan ajak bicara. Buat dia kembali ke ruangan ini dengan senyuman,” perintah Lucien,.
Dhika mengangkat sebelah alis, terkekeh pendek, tawa yang lebih terdengar seperti ejekan. Namun, seperti bidak catur yang sudah dipegang oleh rajanya, ia berdiri, mengancingkan jas, lalu melangkah keluar ruangan. “Saya permisi dulu.”
Koridor restoran itu sepi, hanya dihiasi lampu-lampu dinding temaram. Dhika menunggu tepat di taman belakang dekat pintu kamar mandi. Begitu Kaluna keluar, ia meraih pergelangan tangannya dan menariknya mendekat.
Kaluna terperanjat. “Apasih, b******k?! Lepasin gue!” sentaknya sambil menghentak tangan Dhika.
Kening Dhika sedikit berkerut, terkejut tapi sekaligus terhibur. “Sejak kapan bisa mengumpat? Wow… banyak berubah juga, Lun. Sejak kapan lo ngomong ‘Lo-gue.’ kayak gini?”
Kaluna menarik napas dalam, matanya berkilat. “Minggir.”
“Ngomong yang bener sama calon suami,” Dhika sengaja melenturkan suaranya, nada meledek yang membuat darah Kaluna mendidih.
“Sejak kapan pernikahan ini akan berhasil? Gue gak akan biarin. Jadi menjauhlah.”
Dhika menunduk sedikit, sudut bibirnya terangkat sinis. “Silakan. Bicara sendiri pada para orangtua. Jadilah pembangkang. Sementara gue? Akan jadi cucu yang baik dan menerima pernikahan ini, dengan wanita yang dulunya culun, tidak populer, dan… menyedihkan.” Ia menepuk ringan tangan Kaluna. “Buat mata Kakek dan Nenek lo itu jadi sedih, Lun.”
Langkah terdiam. Bisakah ia menentang Kakek dan Neneknya sendiri?
“Emangnya lo bisa?”
Kaluna mendongak, tatapannya tajam seperti pisau. “Gue nggak mau nikah sama cowok playboy b******k kayak lo, dan…. Pria jahat.”
Sekilas, sorot mata Dhika karena harga dirinya disentil. Ia menyipitkan mata. “Dan gue juga nggak mau menikahi wanita jelek, culun, nggak populer, dan nggak bisa memanjakan mata kayak lo. Silahkan katakan apapun pada mereka.”
“Mereka gak tahu kalau lo jahat. Kalau mereka tahu, mereka akan menghentikannya.”
“Ya silahkan bilang. Lagipula udah jelas gue nggak suka sama lo. Bahkan… mungkin yang pernah naksir lo cuma kecoa di kaki lo.”
Kaluna terdiam, udara di antara mereka menjadi berat. Ia menunduk, dan “Aaaaa!” Jeritannya memecah hening.
Refleks, ia melompat memeluk Dhika, berusaha mendaki tubuh pria itu seperti mencari perlindungan. Ada sesuatu di bawah kakinya yang bergerak, kecoak yang tadi jadi bahan ejekan ternyata benar-benar muncul.
“Hey, hey, tenang! Lo berat!” Dhika mencoba menenangkan, tapi tubuh Kaluna gemetar hebat. Ia terus berusaha mengangkat kedua kakinya, membuat Dhika kehilangan keseimbangan.
BRUK!
Mereka terjatuh ke rerumputan dengan Kaluna menindih Dhika, masih memeluknya erat seperti hidupnya bergantung di sana.
“Oh, baguslah. Mereka bukan hanya dekat, tapi langsung melakukan serangan fisik,” suara Lucien terdengar dari arah teras. Pria tua itu berjalan mendekat, tatapannya penuh kemenangan. “Oke, ayo tentukan tanggalnya sekarang.”
****
Satu-satunya orang yang memahami Dhika hanyalah Kakaknya, Rania. Perempuan yang lima tahun lebih tua itu selalu menjadi tempat Dhika untuk membuka topeng, tempat Dhika menjadi dirinya sendiri sebelum 10 tahun yang penuh dengan aturan. Dan kini semua yang ada dalam pikirannya ditumpahkan, tentang perjodohan tersebut yang sangat mengganggunya.
Dan reaksi Rania? Ia tertawa terbahak-bahak sampai terjungkal ke kasur sang adik. “Udah Kakak bilang, Dek, jangan suka bully orang, kualat kan lo sekarang, jadinya nikah sama lo. Padahal dulu Kakak bilangin loh jangan suka gitu ke anak orang.”
“Ya mana tau bakalan berakhir kayak gini. Mana tanggal udah ditentuin. Lo gak mau bantu gitu, Kak?” tanya Dhika kesal sambil melemparkan bantalan sofa pada sang kakak.
Rania mengaduh. “Yaudah mau bantuin gimana? Batalin pernikahannya? Lo mau lawan kakek, Dek?” Kali ini Rania duduk menghadap sang adik. “Udah, anggap aja pernikahan ini tebusan dosa buat lo ke Kaluna, jadilah suami yang baik buat dia, lagian kata Kakek dia cantik banget, lo gak klepek-klepek?”
Dhika tersenyum miring dan terawa hambar. “Gak ada tuh catatan di hidup gue klepek-klepek sama si culun, mana dia sombong banget, omongannya juga udah beda, makin nyebelin.”
“Itumah lo kesel karena udah ditolak, lo kan dari dulu jadi Casanova yang selalu ditempelin cewek. Jadi, gimana rasanya ditolak?”
“Nggak ada ya, kak. Dia gak nolak gue, tapi gue yang gak mau sama dia,” ucap Dhika penuh penekanan.
Ponsel Dhika berbunyi sebelum Rania menanggapi, dari Anton. “Ya, Anton. Laporan,” ujarnya tegas begitu sambungan terangkat.
“Segera kirimkan breakdown margin untuk butik Ginza, pastikan forecast kuartal depan tidak menyentuh under 15%. Kalau vendor masih ngeyel, ganti. I don’t want excuses, I want results. Semua kontrak harus clear sebelum besok pagi.”
Ia berhenti sejenak, mendengarkan jawaban di seberang. Tatapannya menajam, rahangnya mengeras. “Baik. Kalau mereka tidak bisa ikut timeline kita, drop saja. Ingat, yang adapt akan bertahan, yang tidak… kita tinggal.”
Rania terdiam menatap adiknya yang…. Benar-benar berbeda ketika dia mode CEO. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar, Dhika tampak otomatis menjadi robot yang diinginkan Kakek ketika masuk ke ranah bisnis, tidak ada senyuman. Bahkan Rania mendengar kalau Dhika ini ditakuti bukan hanya oleh lawan bisnisnya, tapi juga oleh bawahannya, rekan kerjanya.
Membuat Rania terkekeh, mereka tidak tahu saja anak bungsu ini adalah anak yang pemalas, rewel dan juga cerewet.
“Kenapa, Dek?”
“Gak papa, ada situasi yang kayak anjing aja.”
“Heh, mulutnya dijaga ya.”
“Emang bener, bikin gue ke--” BRUK!
“Kenapa?” tanya Rania lagi saat ponsel Dhika jatuh. Bangkit dari ranjang dan memungut ponsel Dhika lalu membaca pesannya. Dari nomor baru yang isi pesannya adalah, “Gue Kaluna, ayok ketemu dan omongin beberapa hal.”
“Hahahha, Dek, lo kenapa? Takut jatuh cinta?”
Dhika merebut ponselnya seketika. “Gak ada takut jatuh cinta, gue males ketemu si culun itu.”