Dulu- 2

1543 Words
Shilla kira, pernyataan cintanya pada Lio, akan berakhir saat Lio telah menerima bunganya. Dan setelahnya, mereka akan kembali menjadi orang asing. Nyatanya, tidak demikian. Di hari Senin, setelah Shilla berlibur pasca kegiatan MOS yang melelahkan. Lio menunggunya, di depan gerbang sekolah dengan setangkai bunga mawar merah di tangannya. Sontak saja, Lio menjadi pusat perhatian banyak siswi yang baru datang pagi itu. Shilla, yang pada dasarnya memang tak tertarik pada Lio. Melewati lelaki itu begitu saja. "Hei!" panggil Lio, yang tetap Shilla acuhkan. "Ashi!" Kembali, Lio memanggil. Dan kini, panggilannya itu berhasil membuat langkah kaki Shilla berhenti, dan memutar tubuhnya ke arah sumber suara. Alis Shilla berkerut. "Ada apa ya, Kak?" tanyanya dengan tatapan bingung. Lio mengatur napasnya. Setelah napasnya mulai normal, ia menyodorkan bunga yang ia bawa pada Shilla. "Selamat pagi, Sayang," ucapnya ceria. Shilla makin mengerutkan alisnya. Lalu, menoleh ke belakangnya. Memastikan bahwa orang yang Lio panggil 'sayang', bukanlah dirinya. "Kok, kamu malah nengok ke belakang, sih. Ini buat kamu." Lio menarik tangan kanan Shilla. Dan memberikan bunga tersebut di tangan Shilla langsung. "Kenapa Kakak kasih ini ke saya?" Secara bergantian, Shilla menatap bunga dan Lio. "Ya, karna kamu kan, pacar aku." Buru-buru Shilla memberikan kembali bunga di tangannya pada Lio. Setelah itu, ia langsung membalikkan badannya. Dan berjalan cepat demi menjauhi Lio. Lio yang terkejut dengan reaksi Shilla. Hanya bisa terdiam bingung. "Kok, serasa ditolak, ya gue." Lio tertawa, sambil menggelengkan kepalanya. Selama ini, selalu ia yang menolak gadis yang mengajaknya berpacaran. Namun kini, justru ia yang ditolak. Padahal di luar sana, banyak gadis yang rela mengantri untuk bisa menjadi pacarnya. Meski hanya sehari saja. Asalkan, mereka bisa memamerkan statusnya, sebagai pacar Lio pada teman-temannya. Setelah kejadian di depan gerbang itu, Lio semakin gencar mendekati Shilla. Gadis satu itu, sangat sulit ditaklukan. Namun karnanya, Lio semakin tergila-gila dan bertekad untuk bisa mendapatkan Shilla. Tiga bulan, perjuangan Lio untuk melakukan pendekatan pada Shilla. Pada akhirnya, gadis itu setuju untuk menjadi kekasih Lio. Bukan main bahagia Lio rasa. Ia bahkan menggendong Shilla, saat gadis itu menyatakan kesetujuannya. *** Kini, Lio memasuki masa akhir SMA-nya. Lio sudah dinyatakan lulus dengan nilai terbaik dari seluruh siswa yang ada. Bahkan, ia sudah pasti akan masuk ke salah satu kampus negeri terfavorit dengan jurusan kedokteran. Acara pelepasan para siswa pun, sudah dilaksanakan kemarin. Jadi sekarang, ia sedang berada di masa bebasnya, sebelum nanti akan memasuki dunia kuliahnya. Seperti biasa, di akhir pekan ia akan mengajak Shilla berjalan-jalan. Tapi hari ini, jalan-jalan mereka sedikit spesial. Jika biasanya mereka hanya akan menghabiskan akhir pekan di dalam kota. Namun tidak hari ini. Dengan mengendarai motornya, Lio mengajak Shilla untuk berwisata di kota Bandung. "Kamu dingin ga, Yang?" tanya Lio dengan suara yang samar didengar oleh Shilla. "Lumayan, Yang," jawab Shilla, dengan suara yang sedikit bergetar karna kedinginan. Saat ini keduanya tengah melaju di jalanan Bandung, dalam kondisi hujan di sore hari. Sedang jaket yang Shilla gunakan, tak cukup tebal untuk menahan dinginnya udara. Seharian tadi mereka asyik berkeliling di beberapa lokasi wisata, yang memang jaraknya tak terlalu jauh. Saking asyiknya, mereka tak sadar bahwa waktu telah menunjukkan pukul setengah lima sore. Bahkan langit pun, sudah mulai menghitam dengan cepat. Gegas, mereka bersiap untuk kembali pulang ke rumah. Sialnya, jalanan di akhir pekan sangat padat saat itu. Bis-bis besar mendominasi jalanan. Membuat Lio sedikit kesulitan untuk menyalip kendaraan roda empat tersebut. Jadilah, mereka terjebak hujan saat mereka masih berada di jalanan. "Kita neduh dulu, ya," teriak Lio, yang diangguki Shilla sebagai jawabannya. Tubuh Shilla bergetar. Tak sanggup menahan dinginnya cuaca. Bahkan dapat Lio lihat, bibir gadis itu mulai membiru. Lio menatap sekeliling, memastikan mereka tengah berada di mana. Kepintarannya, sangat membantu dirinya pada saat seperti ini. Ia cukup hapal, daerah tempat mereka berada kini. "Yang. Di sekitar sini ga ada hotel. Adanya motel yang kondisinya ga sebagus hotel. Kamu mau neduh di sana dulu? Sampe ujan reda. Mau?" Shilla mengangguk cepat. Saat ini, ia tak dapat berpikir jernih karna rasa dingin yang mulai menusuk tulangnya. Tanpa banyak protes, ia kembali naik ke atas motor saat Lio memintanya. Hanya butuh waktu sepuluh menit, akhirnya mereka sampai di motel terdekat. Saat memasuki parkiran. Lio ragu, jika masih ada kamar kosong di sana. Melihat banyaknya motor yang terparkir. Pastilah, banyak pengunjung saat ini. "Pesen kamarnya dua, Mbak," pinta Lio pada petugas resepsionis. "Maaf, Mas. Kamar kami sedang penuh semua saat ini," ucap resepsionis itu sedikit menyesal. Lio menatap Shilla, yang tengah berdiri di luar lobby. Rasanya tak tega, melihat kekasih hatinya itu menggigil kedinginan. "Beneran ga ada sama sekali, Mbak? Satu pun?" Gelengan kepala diberikan pada Lio. "Paling adanya satu kamar dengan satu kasur single, Mas. Kalau Mas mau, kami bisa menambah kasur lantai. Tapi ada biaya tambahan untuk itu. Mau?" Lagi, Lio menatap Shilla. Tak ingin gadis itu kedinginan lebih lama. Ia pun, memutuskan untuk menyewa kamar yang ada. Tak butuh waktu lama bagi Lio untuk mengurus administrasinya. Saat kunci sudah di tangan. Ia langsung mengajak Shilla untuk beristirahat di kamar. "Kamu tunggu sini. Aku keluar dulu cari baju ganti buat kita. Barusan aku masak air di teko listrik atas meja itu. Kamu bikin teh anget aja dulu buat angetin badan kamu. Oke?" Shilla menurut. Pikirannya sudah tak jernih sekarang. Ia butuh kehangatan sesegera mungkin. Meski sudah menggunakan jas hujan. Nyatanya baju Shilla masih tetap kebasahan. Daripada semakin menggigil. Shilla memutuskan untuk melepas pakaiannya, dan menutup tubuhnya dengan selimut tebal yang tersedia. Setelah meminum teh hangat tadi. Badan Shilla sedikit lebih hangat. Ia tak semenggigil tadi. Dan tanpa disadari. Shilla terlelap dalam mimpinya. *** Shilla bergumam dalam tidurnya. Entah kenapa, mimpinya terasa nyata. Dalam mimpinya, ia sedang duduk di tepi pantai. Dengan Lio, yang kini tengah asyik menciumi lehernya. Bahkan, saat Lio meninggalkan jejak di sekitar dadanya. Entah kenapa terasa sakitnya. Susah payah Shilla membuka matanya. Dan ia tak bisa untuk tidak terkejut, kala mendapati posisi Lio, yang sama persis seperti di mimpinya. "Yang? Kamu ngapain?" Shilla langsung mendudukan tubuhnya cepat. Dan tanpa sadar, ia tak memegang ujung selimutnya. Jadilah, bagian atas tubuhnya terlihat sempurna. "Sorry. Aku khilaf." Lio memijat pelipisnya. Kepalanya semakin berdenyut, melihat tubuh bagian atas Shilla. Terlebih, di bawah sana juga ikut berdenyut. Shilla yang baru menyadari kondisinya. Segera menarik selimut untuk menutup tubuhnya. Lio sendiri, memutuskan untuk berdiri demi menghilangkan denyutnya. Beberapa saat berlalu, hanya hening di antara keduanya. Dan tanpa aba-aba, Lio mencium bibir Shilla dengan ganas. "Yang, sekali ini aja," ucapnya memohon, saat keningnya ia tempelkan di kening Shilla. "Maksud kamu?" Meski Shilla mengerti maksudnya. Namun ia hanya ingin memastikan. Berharap, jawaban yang Lio berikan tak sesuai dengan dugaannya. "Aku bakal tanggung jawab. Aku bakal nikahin kamu setelah aku lulus kuliah nanti. Aku janji ga bakal ninggalin kamu. Kamu bakal jadi satu-satunya." Shilla mendorong tubuh Lio menjauh darinya. Ia tak menyangka, Lio akan meminta hal seperti ini padanya. Hampir dua tahun mereka berpacara. Tak pernah Lio meminta lebih dari pelukan dan kecup bibir. "Aku ga mau," tolak Shilla. "Please. Kali ini aja. Aku ga akan minta lagi, sampai kita udah nikah nanti." Lio memohon, berharap denyut yang ia rasakan bisa segera hilang. "Tapi. Yang. Aku ga yakin." Shilla menunduk. Ia merasa takut sekarang. "Janji. Aku ga bakal ninggalin kamu." Pada akhirnya, Shilla luluh pada permintaan Lio. Malam dingin itu, mereka habiskan dengan napas hangat yang saling berkejaran. "Aku janji, ga akan pernah ninggalin kamu. Makasih karna udah ngijinin aku jadi yang pertama." Lembut, Lio mengecup bibir Shilla, yang kini berada di pelukannya. Keduanya sudah memakai kembali pakaian lengkap mereka. Sengaja. Lio tak ingin kembali khilaf, jika melihat tubuh polos Shilla, lagi. Baginya, sudah cukup sekali ini saja mereka melakukannya. Selanjutnya, biar mereka lakukan lagi dengan puas nanti, saat mereka sudah menjadi sepasang suami istri. Pagi menjelang. Mereka memutuskan untuk langsung pulang karna tak ingin membuat keluarga mereka khawatir. Sepanjang jalan, keduanya tersenyum demi mengingat kenangan semalam yang mereka lalui bersama. *** Sudah tiga hari, nomor ponsel Lio tak bisa dihubungi. Entah apa yang terjadi dengan kekasih hatinya itu. Mencoba bertanya pada beberapa teman Lio yang Shilla kenal pun, sia-sia saja. Mereka juga tak tau, di mana Lio kini berada. Saat ini, Shilla merasa bodoh. Karna ia tak pernah meminta Lio untuk mengajaknya ke rumah. Pun, Lio juga tak pernah menawarkan Shilla untuk berkunjung ke rumahnya. Hampir semua temannya juga tak pernah ada yang diajak bermain ke rumah lelaki tersebut. Andai saja Shilla tau alamat rumahnya. Maka saat ini, ia akan langsung mendatangi rumah Lio. Waktu terus berlalu. Masih belum ada juga kabar dari Lio. Hari-hari di mana Shilla selalu menangisi Lio. Sudah terlewati sejak lama. Kini, giliran Shilla yang lulus SMA, dan mulai melanjutkan hidupnya. "Kamu keterlaluan, Lio. Meninggalkan aku, setelah kamu hancurkan mahkota berhargaku." Entah sudah berapa kali Shilla mengucapkan kalimat tersebut. Yang pasti, rasa cinta yang ia miliki untuk Lio, kini telah berubah menjadi benci. *** Lio berjalan mendekati Shilla. Lalu berdiri tepat di samping Shilla duduk. "Mohon kerjasamanya. Nona Shilla." Lio mengulurkan tangan di hadapan Shilla, yang kini tengah menatap Lio dengan tatapan penuh kebencian. Sedang yang ditatap, seolah tak merasakan pancaran kebencian yang tengah Shilla keluarkan dengan sepenuh hati. Meski enggan. Pada akhirnya, Shilla menyambut juga uluran tangan Lio. "Mohon kerjasamanya juga, Pak." Lio tersenyum manis. Senyum yang masih sama, seperti dua belas tahun yang lalu. Jika dulu Shilla akan selalu terbuai saat melihat senyumnya. Maka kini, ia merasa sangat muak. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD