Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi, saat sebuah pesan masuk ke ponsel Lio.
'Saya tunggu di depan gedung kantor ya, Pak.'
Lio mengerutkan keningnya, saat membaca pesan dari sekretarisnya itu.
Hari ini adalah hari Sabtu. Lio memiliki janji temu sore ini dengan salah satu koleganya, Hansen, di luar kota.
'Maksudnya?' tanya Lio, membalas pesan itu.
ponsel Lio berdenting kembali. Menandakan kembali masuknya sebuah pesan.
'Kita kan, ada janji temu dengan pak Hansen sore ini, kan?'
Malas mengetik pesan kembali, Lio memutuskan untuk melakukan panggilan telepon pada sekretarisnya itu.
"Bukannya kamu ga ikut?" tanya Lio langsung, begitu panggilannya diangkat oleh Shilla.
"Ga mungkin saya ga ikut, Pak. Ini kan, bagian dari tanggung jawab saya sebagai sekretaris Bapak." jawab Shilla di seberang panggilan.
"Kamu, yakin?" Lio hanya memastikan, Shilla tak merasa keberatan dengan tugas dinasnya kali ini.
Tanpa Lio dapat lihat, Shilla menganggukkan kepalanya di sana. "Yakin, Pak."
"Baik, kalau gitu. Saya berangkat ke kantor sekarang. Mungkin akan sampai di kantor sekitar tiga puluh menit."
"Baik, Pak. Saya tunggu."
Lio menatap ponselnya, yang layarnya sudah berubah menjadi gelap. Ia tak menyangka, Shilla memutuskan untuk ikut juga pada akhirnya. Padahal sebelumnya ia yakin, Shilla tak akan berangkat bersama dengan dirinya untuk alasan pribadi.
Tak ingin membuang banyak waktu, Lio memutuskan untuk langsung berangkat menuju kantornya, di mana Shilla akan menunggu di sana.
***
Dari jarak beberapa meter, Lio dapat melihat sekretaris, sekaligus mantan kekasihnya itu menunggu di salah satu halte bus, sambil menggendong sebuah ransel di punggungnya.
"Aneh," gumam Lio, melihat Shilla yang membawa ransel, alih-alih membawa koper seperti kebanyakan wanita lainnya.
Kebanyakan wanita yang Lio kenal, selalu membawa koper ke mana pun, mereka pergi menginap. Bahkan meski hanya satu malam saja.
Lio memberhentikan mobilnya, tepat di hadapan Shilla.
"Pak Lio nyetir sendiri?" tanya Shilla, saat kaca mobil Lio turunkan.
Shilla membuka pintu mobil, dan duduk di samping Lio, yang mengemudikan mobilnya.
"Pasang sabuk pengaman kamu!" perintah Lio, mengabaikan pertanyaan Shilla.
Menganggukkan kepalanya, Shilla langsung menarik sabuk pengamannya.
"Kamu tau, kan istri pak Yudha baru melahirkan. Saya ga mungkin tega, meminta pak Yudha meninggalkan istrinya selama dua hari, hanya untuk mengantar saya." Setelah beberapa saat mobil berjalan. Lio baru menjawab pertanyaan Shilla.
"Oh, begitu."
Hening. Tak ada yang bersuara setelahnya.
"Kamu bisa tidur, jika kamu merasa ngantuk," ucap Lio memecah keheningan yang tercipta selama beberapa saat.
"Ya?" Shilla yang sejak tadi memperhatikan jalanan melalui kaca jendela di sampingnya. Tak menyimak dengan baik ucapan Lio barusan.
"Saya bilang, kamu bisa tidur kalau kamu ngantuk." Lio mengulangi kalimatnya tadi.
"Mana mungkin saya berani ga sopan gitu, Pak. Udah disopirin sama Bapak. Masa saya juga berani ninggalin Bapak nyetir sendiri."
"Bukannya, dari dulu kamu juga selalu kaya gitu, ya kalau kita lagi pergi jauh?"
Shilla mengerjap, demi mendengar ucapan Lio barusan.
Lio sendiri, yang menyadari kesalahannya karna kelepasan membicarakan masa lalu mereka, segera meminta maaf pada Shilla. "Sorry."
Shilla tak menjawab. Namun memilih untuk membuang muka.
Ingatan Shilla terlempar ke masa lalu. Di mana, mereka berdua masih berstatus menjadi sepasang kekasih.
Dulu, jika Lio mengajak Shilla pergi berjalan-jalan ke luar kota. Shilla selalu tertidur di balik punggung Lio. Karena saat itu, mereka memang selalu bepergian menggunakan sepeda motor. Shilla selalu merasa mengantuk, jika berada di atas kendaraan, entah mengapa. Apalagi, jika jarak yang mereka tempuh lumayan jauh. Maka, melingkarkan lengan Shilla di perut Lio adalah, hal ternyaman yang bisa Shilla lakukan.
Kembali, kata 'andai' terlintas di pikiran Shilla. Dibarengi dengan kata 'mengapa'.
Andai Lio tak meninggalkan Shilla begitu saja. Akan seperti apakah, hubungan mereka kini?
Mengapa dulu, Lio pergi meninggalkan dirinya begitu saja?
Ah.
Shilla tak ingin membahas itu lagi. Karna itu artinya, ia mengorek lukanya sendiri, kembali.
Lio sendiri, karna tak ingin kembali melakukan kesalahan. Pada akhirnya memilih untuk terus diam selama perjalanan. Meski waktu yang harus mereka tempuh, masih dua jam lagi.
***
"Maaf, Pak. Apa Bapak udah pesan kamar?" tanya Shilla, saat mobil yang Lio kendarai keluar dari jalan bebas hambatan.
Lio mengangguk.
"Kalau begitu, saya akan membatalkan pesanan kamar yang udah saya pesan sebelumnya." Shilla mengambil ponselnya. Kemudian membuka aplikasi pemesanan hotel.
"Saya hanya pesan satu kamar aja. Karna saya pikir, kamu ga akan ikut dengan saya."
Shilla menatap Lio sesaat. Kemudian kembali menatap ponselnya.
"Bapak pesen kamar di hotel mana? Biar saya pesen di hotel yang sama juga, supaya memudahkan pekerjaan kita."
Lio menyebutkan nama hotelnya. Kemudian Shilla langsung mengecek ketersediaan kamar di hotel tersebut.
Untungnya, masih ada beberapa kamar yang kosong, meski tak berada di lantai yang sama dengan Lio. Namun bagi Shilla itu tak masalah. Hingga tak butuh waktu lama, Shilla berhasil melakukan pemesanan kamar di sana.
***
Jam satu siang, Shilla dan Lio sudah berada di kamar hotel mereka masing-masing. Lio memberikan waktu dua jam pada Shilla, untuk makan dan beristirahat. Dan di jam tiga nanti, Lio meminta Shilla untuk ke kamarnya. Guna membahas bahan untuk rapat jam enam nanti.
Sebelumnya, sekretaris Hansen menghubungi Shilla. Meminta maaf, karna harus mengundur waktu pertemuan mereka. Yang awalnya dijanjikan jam empat sore. Harus mundur hingga jam enam sore.
Lio sendiri merasa tak keberatan. Karena yang terpenting, ia bisa bertemu dengan Hansen.
Jadi lah, kini Shilla merebahkan tubuhnya di atas kasur. Sambil menunggu makanan yang ia pesan diantar ke kamar.
Getaran yang berasal dari ponsel Shilla, terasa. Gegas, wanita itu melihat layar ponselnya.
Sebuah senyum, terbit di bibir Shilla. Kala melihat nama sang kekasih terpampang di layar. Tanpa menunggu lama, Shilla langsung menerima panggilan itu.
"Kamu udah sampe?" tanya Pras, begitu panggilan mereka tersambung.
"Udah. Baru aja, sih."
"Aku ganggu berarti, ya?"
Shilla menggelengkan kepalanya, meski ia tau Pras tak akan melihatnya. "Engga, kok. Aku juga baru niat mau nelpon kamu tadi. Eh, ternyata malah kamu duluan yang nelpo aku," jawab Shilla panjang lebar.
Pras tertawa di seberang sana. "Berarti kita sehati, Shil."
"Setuju."
Keduanya tertawa bersamaan.
Setelahnya, mereka berdua asyik mengobrol membahas banyak hal. Hingga bunyi bel di pintu kamar Shilla, menjeda obrolan mereka.
"Kayanya, makanan yang aku pesen udah dateng, deh." Shilla bangkit dan berjalan menuju pintu. Kemudian, mengintip dari lubang kecil yang terdapat di pintu.
"Tuh, kan bener udah dateng. Bentar." Shilla menjeda obrolannya, untuk membuka pintu dan mengambil makanan pesanannya.
Setelah mengucapkan terima kasih pada petugas yang membawakan makanannya. Shilla pun, kembali ke atas kasur setelah menutup pintunya rapat.
"Yaudah. Kamu makan aja, dulu. Kita lanjutin ngobrolnya nanti malem kalau kamu ga cape selesai rapat nanti."
"Iya."
Sungguh, Shilla merasa sangat beruntung, karna memiliki Pras yang sangat pengertian padanya.
Setelah keduanya saling mengucap kata cinta, dan melakukan ciuman jarak jauh. Sambungan telepon mereka pun, terputus.
Shilla langsung menyantap makanannya. Karna perutnya memang sudah terasa lapar sejak tadi. Meski Shilla merasa kurang puas, karna porsi yang disajikan tak mampu membuat perutnya terasa kenyang. Yang terpenting kini, perutnya sedikit terganjal.
"Kayanya, aku mau cari makanan yang lain di luar hotel, deh. Porsi makanan di sini, kurang nampol buat perutku." Shilla tertawa, mengingat porsi makannya yang banyak, saat ia sedang merasa benar-benar lapar. Seperti sekarang ini, contohnya.
Shilla mengganti pakaiannya, dengan yang lebih nyaman. Kemudian, menggunakan tas kecil, yang hanya muat untuk meletakan uang dan beberapa kartu saja. Sedang ponselnya, Shilla pilih untuk ia tinggalkan di kamar.
Soto daging, adalah makanan yang Shilla cari.
Menurut petugas hotel yang Shilla tanya tadi, ada satu penjual soto daging yang sangat terkenal di sana. Shilla hanya butuh berjalan kaki selama sepuluh menit untuk sampai di sana.
Dan benar saja. Sebuah papan nama, sudah bisa Shilla lihat dari jarak kurang dari sepuluh meter.
Suasana pengunjung cukup ramai. Bahkan, beberapa dari mereka harus berdiri untuk mengantri.
Dan salah satu pengunjung yang sedang berdiri itu, sangat Shilla kenal, meski hanya punggungnya saja yang Shilla lihat.
Shilla memilih untuk tak memanggil. Jadi dalam diam, ia mengantri di barisan belakang agar CEO-nya itu tak menyadari kehadirannya.
Sayangnya, ternyata Lio langsung menyadari keberadaannya tak lama kemudian. Lio bahkan memanggil Shilla, untuk ikut mengantri di sisinya. Mau tak mau, Shilla mendekati CEO-nya itu.
"Bapak mau beli soto juga?" tanya Shilla basa-basi.
"Engga. Saya mau beli gado-gado."
Alis Shilla berkerut. "Emang di sini jual gado-gado juga, Pak?"
Lio tak menjawab. Namun dari ekspresinya yang memutar bola mata, Shilla tau bahwa, jawaban Lio tadi hanya lah gurauan semata.
Shilla merapatkan kedua bibirnya. Merasa malu pada kekonyolannya, yang tak paham dengan maksud ucapan Lio.