Sakitnya Lio

1161 Words
Beberapa kali Shilla mengetuk pintu ruangan Lio. Namun, tak terdengar suara apa pun, dari sana. Sejak siang tadi. Lio tak menunjukan batang hidungnya. Bahkan, atasannya itu juga melewatkan jam makan siangnya. Sedikit ragu, Shilla mendorong pintunya secara perlahan. "Pak," panggilnya, yang tak terjawab. Shilla menoleh ke arah sofa. Dan menemukan Lio, masih terbaring di sana. Perlahan, Shilla mendekat ke arah Lio. Dan tanpa sadar, memperhatikan Lio dengan seksama. Beberapa menit berlalu, dan Shilla masih betah memandang Lio yang saat ini tengah tertidur pulas. Hingga sebuah ketukan di pintu, membuat Shilla terperanjat dan sadar dari kegiatannya memandang Lio. Shilla berjalan ke arah pintu, dan mendapati Karen berdiri dengan membawa berkas di tangannya, saat ia membuka pintu tersebut. "Pak Lio ada, Mbak?" tanya Karen. "Ada. Tapi lagi tidur. Kayanya lagi ga enak badan," jelas Shilla, yang membuat Karen mengangguk. "Kalau gitu, saya titip berkas ini ya, Mbak." Karen menyerahkan berkas tersebut pada Shilla. "Urgent?" Karen menggaruk dahinya. "Sebenernya, iya, sih. Tapi kalau pak Lio sakit. Ya, mau diapain lagi." Shilla meringis. Mengerti posisi Karen. "Nanti saya coba bangunin. Saya usahain, sebelum jam pulang kantor berkas ini udah balik ke kamu." Karen mengangguk. "Makasih banyak ya, Mbak." Setelahnya, Karen berpamitan pada Shilla, untuk kembali ke meja kerjanya. Shilla menutup pintu perlahan. Kemudian berjalan menuju meja kerja Lio, dan meletakkan berkasnya di sana. Memutar tubuhnya menghadap Lio. Shilla sebenarnya tak tega, jika harus membangunkan Lio. Namun apa boleh buat. Pekerjaan memang sudah menantinya. Dengan perlahan, Shilla mengguncang bahu Lio. "Pak," panggil Shilla pelan. Panggilan pertama, tak terjawab. Hingga panggilan keempat, baru lah, Lio menjawab dengan sebuah gumaman. "Mau makan apa, Pak?" tanya Shilla, meski ia tak yakin, apakah Lio sudah sadar sepenuhnya atau belum. Mata Lio memicing. Dan ia tersenyum, kala menemukan Shilla di hadapannya. Tangan Lio terulur, memegang tangan Shilla. Dan Shilla, tak bisa untuk tak terkejut, kala dengan cepat Lio menarik tubuhnya. Hingga tubuhnya, menubruk tubuh Lio yang tengah berbaring. "Makan kamu aja. Boleh?" bisik Lio, tepat di samping telinga Shilla. Embusan napas Lio, yang sedikit panas. Sukses membuat bulu kuduk Shilla berdiri. Dan entah, karna napas Lio yang terasa panas. Atau karna hal lain yang panas. Seketika, pipi Shilla terasa panas. Sadar akan posisi tubuh mereka kini. Shilla dengan cepat melepaskan diri, dari pelukan Lio. Shilla kira, Lio sudah tersadar. Nyatanya, atasannya itu masih terlelap dalam tidurnya. Mungkin, tindakan Lio tadi hanya sebatas terbawa mimpi semata. Pikir Shilla. Tak ingin ada kejadian lain lagi. Shilla memilih untuk meninggalkan ruangan Lio. Dan membiarkannya tidur. Nanti, ia akan meminta tolong pada Ruli. Untuk mengantarkan makanan pada Lio. Shilla tak ingin, kondisi Lio semakin buruk, dan membuat banyak pekerjaan terbengkalai. *** Satu jam, setelah Ruli mengantarkan makanan untuk Lio. Shilla kembali ke ruangan Lio. "Masuk." Suara dari dalam, terdengar oleh telinga Shilla, setelah ia mengetuk pintu. "Maaf, Pak. Siang tadi Karen mengantar berkas, untuk Pak Lio cek." "Oh." Mata Lio menjelajah ke atas mejanya. Dan saat ia menemukan berkas tersebut, dengan segera ia memeriksanya. Sementara Lio sibuk memeriksa berkas. Shilla sibuk melirik ke arah meja di depan sofa. Di mana, di atas meja tersebut, terdapat mangkuk berisi bubur ayam, yang masih tersisa setengahnya. "Bapak udah baikan?" "Ya?" Pandangan Lio kini beralih pada Shilla, yang bertanya. "Tadi kayanya Pak Lio lagi ga enak badan. Sampai tidur pules banget." "Oh, itu. Iya. Tadi saya emang ga enak badan." Sesaat, Lio teringat bahwa tadi Shilla yang membawakan obat untuknya. "Ngomong-ngomong, makasih buat obatnya." "Iya, Pak. Sama-sama." Melihat reaksi Lio, yang biasa saja. Sepertinya, atasannya itu tak sadar dengan tingkah lakunya tadi, yang menarik Shilla ke dalam pelukannya. "Ini." Lio menyerahkan berkas tersebut pada SHilla. "Terima kasih, Pak." Sampai Shilla keluar dari ruangannya. Lio masih terus fokus pada layar di depannya. Sepertinya, atasannya itu memang benar-benar tak ingat dengan apa yang terjadi tadi. Termasuk, ucapannya yang membuat pipi Shilla terasa panas. "Bodoh. Ngapain masih dipikirin." Shilla merutuk dirinya, yang masih saja memikirkan kejadian tadi. Padahal, harusnya ia marah karna Lio telah berbuat seenaknya padanya. Shilla memilih untuk melupakan kejadian tadi. Ia tak ingin, kejadian tadi mempengaruhi kinerjanya nanti. "Mbak Karen. Ini berkasnya udah bisa diambil, ya." Shilla meletakkan gagang telponnya, setelah ia menghubungi Karen. Menarik napas panjang. Shilla masih sedikit terganggu dengan kejadian tadi. Ia berharap, benar-benar bisa melupakan kejadian tadi sepenuhnya.. *** "Katanya pak Lio tadi sakit?" Shilla menoleh, pada sang kekasih yang kini tetap fokus pada kemudinya. "Iya," jawab Shilla singkat. Entah mengapa, ia menjadi sedikit gugup, saat sang kekasih membahas CEO mereka tersebut. "Kamu pasti repot, ya. Karna pak Lio tetep bertahan di ruangannya." Pras membelai kepala Shilla, lembut. Dengan sebelah tangannya yang sedang bebas. "Ga juga, sih. Lagian, pak Lio juga lebih banyak tidur, tadi." Shilla menatap jalanan yang padat, di jam pulang kantor. Kendaraan roda dua, saling bergantian menyalip kendaraan roda empat, agar bisa lebih cepat terbebas dari jalanan yang macet. "Oh, iya. Kakakku bilang mau mampir ke rumah sekarang. Kamu mau, kan ketemu kakakku?" Ada nada harap, yang Shilla tangkap dari ucapan Pras. Dan karna hal itu, Shilla menjadi bimbang untuk menolaknya. Selama ini, Shilla kerap kali menolak ajakan Pras untuk menemui keluarganya. Ia merasa tak pantas, untuk menghadapi keluarga Pras yang semuanya adalah orang terpandang. Tak seperti dirinya, yang justru menjadi tulang punggung keluarganya. "Please, jangan nolak. Sebentar aja, kok," mohon Pras, yang yakin bahwa Shilla hendak menolak. Dengan berat hati, Shilla menganggukkan kepalanya. "Yes! Makasih banyak, Shil." Senyum di wajah Pras terkembang sempurna. Menandakan bahwa, dia memang benar-benar bahagia sekarang. Sebelum sampai di rumah Pras. Shilla meminta Pras untuk mampir ke toko kue, sejenak. Ia tak enak hati, jika datang hanya dengan tangan kosong saja. "Kakak kamu suka kue?" tanya Shilla, sambil memperhatikan deretan kue dari balik rak kaca pendingin. "Suka, kok." Shilla mengangguk. Kemudian memilih satu loyang cheese red velvet. Pras sendiri, mengambil beberapa butir coklat berwarna-warni. "Kakak kamu juga suka coklat?" Kembali Shilla bertanya. "Oh, bukan. Ini buat keponakan kembarku. Mereka suka banget sama coklat." Mata Shilla membulat, demi mendengar ucapan Pras. "Ada keponakan kamu juga?" Pras menoleh, kemudian mengangguk. "Ga pa-pa, kan?" Sedikit berat, Shilla menganggukkan kepalanya. Entah kenapa. Shilla merasa hari ini terasa sangat berat. Ada saja, hal yang membuat hati dan pikirannya tak nyaman. "Yuk!" Pras menggandeng tangan Shilla, keluar dari toko kue. "Loh, emang udah dibayar?" Shilla menatap goodie bag, yang Pras tenteng di tangan lainnya. "Udah, kok." "Kamu yang bayar?" pertanyaan bodoh, Shilla lontarkan. Dan hal itu, sukses membuat Pras tertawa. "Makanya, kamu jangan kebanyakan bengong, dong. Sampai ga sadar aku udah jalan ke kasir, tadi." Raut penyesalan, terlihat jelas di wajah Shilla. "Maaf." "Kaya sama siapa aja, sih. Pake minta maaf segala." Pras membuka pintu penumpang untuk Shilla. Kemudian, meletakkan kuenya di atas pangkuan Shilla, setelah wanita itu duduk sempurna di kursi. "Yuk, jalan!" ucapnya, saat ia sudah menggunakan sabuk pengamannya. Shilla merasa gugup. Apalagi, sebentar lagi mereka akan sampai di rumah Pras. Ia tak tau, akan seperti apa tanggapan kakak Pras terhadapnya. Akan kah, ia diterima dengan baik. Atau kah, ia akan dihina. Karna status sosial mereka yang berbeda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD