"Shilla. Tolong buatkan janji dengan pak Hansen di akhir pekan ini. Tanyakan pada sekretarisnya, hari apa pak Hansen bisa bertemu dengan saya?"
Alis Shilla sedikit berkerut, saat mendengar perintah dari CEO-nya itu.
Hari masih pagi. Bahkan, jadwal kegiatan Lio untuk hari ini saja, belum selesai Shilla infokan semuanya. Tetapi, atasannya itu sudah memberi perintah untuk membuat jadwal di akhir pekan. Yang sebenarnya, masih beberapa hari lagi.
Melihat Shilla yang hanya diam saja, tak menjawab. Lio pun, menegur sekretarisnya itu. "Kenapa? Ada masalah?" tanyanya, yang dijawab dengan gelengan oleh Shilla.
"Baik, Pak. Saya akan hubungi sekretaris beliau secepatnya."
Setelahnya, Shilla kembali menginfokan semua jadwal Lio hari ini. Dan setelah semua selesai, Shilla pun, pamit kembali ke mejanya.
Lio terus menatap punggung Shilla, yang berjalan membelakangi dirinya. Bahkan, sampai wanita itu duduk di depan mejanya pun, Lio masih betah menatapnya.
Tangan Lio terkepal, saat teringat pemandangan, yang tak sengaja ia lihat saat akhir pekan kemarin.
Dengan malas, Lio berjalan mendampingi sang mama mengitari pusat perbelanjaan, sambil menenteng beberapa paper bag berisi tas dan baju.Bertahun-tahun terpisah oleh jarak. Membuat Yeslin, sang mama tak bisa sering bertemu dengan Lio. Terlebih, putranya itu seperti enggan untuk kembali ke tanah air, setelah sang suami mengirimnya ke luar negeri, dulu. Jadi lah, mereka hanya bisa bertemu beberapa kali saja.Maka kini, seolah ingin menebus semua waktu yang terlewat, Yeslin meminta putra bungsunya itu, untuk sering menemani dirinya berjalan-jalan. Seperti sekarang ini, contohnya.Sudah beberapa toko, telah mereka datangi. Tapi sepertinya, Yeslin masih belum puas juga.Saat Lio sedang menunggu Yeslin, yang sedang memilih baju untuk papahnya. Secara tak sengaja, Lio melihat Shilla dan Pras, yang sedang berpelukan jauh di depan sana.Jika Lio tak ingat akan status mereka sekarang. Mungkin, ia bisa dengan gilanya, menarik kerah baju Pras, dan melayangkan tinjunya ke wajah pria itu.Sungguh, Lio kesal rasanya. Tak rela melihat Shilla dipeluk oleh pria lain. Bahkan ia tak sadar jika sekarang, wajahnya sudah berubah menjadi merah.Sampai tepukan Yeslin di bahunya, menyadarka dirinya. Dan membuat amarahnya berangsur reda.
Dengan kasar, Lio mengusap wajahnya. Demi menghilangkan bayang, yang sejak kemarin terus mengganggu dirinya.
"Rasanya, gue bisa gila kalau terus kaya gini." Lio menarik napas dalam, agar rasa kesal di hatinya bisa segera hilang.
Semakin lama melihat Shilla di depannya. Semakin besar hasrat Lio, untuk bisa kembali memiliki wanita itu.
***
Shilla mengetuk pintu ruangan, sebelum memasuki ruangan Lio. Setelah terdengar suara Lio, yang mempersilahkan Shilla masuk. Baru lah, wanita itu masuk.
"Maaf, Pak. Sekretaris pak Hansen bilang, kalau pekan ini jadwalnya cukup padat. Beliau hanya ada waktu kosong, Sabtu sore. Itu pun, di luar kota karna beliau sedang acara keluarga di sana. Bagaimana?" Shilla menjelaskan, dengan satu tarikan napas.
Sejenak Lio berpikir, kemudian melirik ke arah Shilla, yang sedang berdiri di depan mejanya.
"Kamu sendiri, gimana?"
Shilla mengerjap, mendengar pertanyaan balik Lio. "Hubungannya sama saya apa ya, Pak?"
"Menurut kamu, saya harus ke sana sendiri? Dan nyiapin semua berkas dan lain sebagainya sendiri juga, gitu?" ucap Lio dengan nada kesal.
Mulut Shilla membentuk huruf O, setelah ia paham maksud dari ucapan Lio.
"Lalu?" tanya Lio lagi, saat Shilla belum juga menjawab pertanyaannya.
Shilla masih belum menjawab, meski sudah beberapa menit berlalu. Membuat Lio mengembuskan napasnya berat. "Tanyakan lagi pada sekretarisnya. Apakah pekan depan, ada jadwal kosong?"
"Sampai tiga pekan ke depan, jadwal pak Hansen sudah padat, Pak."
Alis Lio terangkat. "Dari mana kamu tau?"
"Saya udah tanyain, tadi."
Lio memijit keningnya, yang kian terasa berdenyut. "Kalau kamu ga bisa pergi. Biar saya aja yang pergi sendiri. Ga masalah. Saya ga bisa kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan pak Hansen. Jadi, buatkan janjinya," putus Lio pada akhirnya.
Sejenak Shilla berpikir. Mengapa sejak tadi, ia tak juga menjawab pertanyaan Lio. Padahal dulu, ke luar kota untuk urusan bisnis bersama Agus, bukan lah, hal aneh. Bahkan kadang, Agus juga membawa keluarganya, untuk sekalian berlibur.
Tapi mengapa sekarang, Shilla merasa sulit untuk memenuhi tanggung jawab pekerjaannya itu. Sedangkan tadi, ia sudah tau jika tak ada waktu kosong lagi, yang bisa mereka gunakan untuk melakukan pertemuannya.
Shilla meyakinkan hatinya, bahwa semua hanya untuk pekerjaan. Tak ada maksud lain.
"Baik, Pak. Saya akan buat janjinya. Dan, saya juga akan bertanggung jawab dengan pekerjaan saya."
Lio yang sedang merasakan sakit di kepalanya. Tak lagi fokus pada ucapan Shilla. Bahkan, ia tak memperhatikan Shilla yang sudah keluar dari ruangannya sejak beberapa menit lalu.
Shilla, yang sebelum menutup pintu ruangan, menoleh ke arah Lio. Merasa curiga, jika atasannya itu sedang dalam kondisi yang tak baik. Terlihat dari beberapa kali Lio memijat kepalanya sendiri. Oleh karnanya, ia meminta salah satu office boy, untuk diambilkan obat pereda nyeri, juga segelas air putih hangat.
"Maaf, Bu. Pak Lio ga jawab panggilan saya," ucap Ruli, office boy yang Shilla mintai tolong, untuk mengantar obat tersebut ke Lio.
Di tangan Ruli, memegang obat dan air minum di atas nampan.
Shilla melongok, ke arah ruangan Lio. Memang, tak terlihat ada gerakan Lio di sana.
Shilla berdiri, dan mengambil alih nampan yang sedang Ruli pegang. "Sini. Biar saya aja yang anter."
"Baik, Bu." Setelah menyerahkan nampan itu pada Shilla. Ruli pun, pamit untuk mengerjakan tugas yang lain.
Shilla coba mengetuk. Namun, setelah beberapa kali mengetuk, tak juga ia dapati jawaban dari dalam sana. Akhirnya, tanpa mendapat izin terlebih dahulu, ia memasuki ruangan tersebut.
Dapat Shilla lihat, Lio saat ini tengah menumpukan kepalanya, di atas tangan yang ia lipat di atas meja. Sedang tubuhnya, masih duduk di kursi kebesarannya.
Ragu, Shilla mendekat. Kemudian, mengguncang bahu Lio pelan.
Lio sedikit terlonjak, saat sadar dari tidurnya karna kaget. Dan melihat Lio seperti itu. Mau tak mau, membuat Shilla meringis. Ia merasa sedikit bersalah, karna sudah mengganggu atasannya itu.
"Apa sekarang, udah waktunya rapat?" tanya Lio sedikit melantur. Lantaran, kesadarannya belum pulih sepenuhnya.
"Belum, Pak." Ucapan Shilla terjeda sejenak. karna ia tiba-tiba merasa ragu. "Saya ke sini, karna bawain obat dan air hangat buat Bapak." Shilla meletakkan obat dan air hangatnya di atas meja.
"Oh. Terima kasih."
Shilla mengangguk, kemudian pamit keluar.
Lio tak banyak bertanya, dari mana Shilla bisa tau bahwa sekarang kepalanya terasa sakit, hingga membawakan obat untuknya. Yang Lio pikirkan saat ini, ia harus meminum obat itu secepatnya.
Lio menghela napas, setelah obat tersebut masuk dengan sempurna ke pencernaannya.
"Padahal dulu, begadang berhari-hari juga, gue tetep ga pa-pa, deh. Kenapa sekarang, malah langsung sakit kepala gini, sih?" tanya Lio pada dirinya sendiri.
Efek obat yang Lio minum, tak langsung menghilangkan sakitnya. Maka dari itu, ia memutuskan untuk tidur sejenak, agar obatnya bisa bekerja secara maksimal.
"Saya mau istirahat sebentar. Tolong jangan ada yang ganggu," perintah Lio, melalui sambungan teleponnya dengan Shilla.
Setelah meletakkan gagang telepon pada tempatnya. Lio pun, beranjak menuju salah satu sofa panjang di ruangannya. Dan membaringkan tubuhnya di sana.
***