Bianca terduduk di tepi ranjang, kedua tangannya menekan perutnya yang kian membesar. Napasnya tercekat, dan air mata yang tadi sempat berhenti, akhirnya jatuh lagi. “Aku cuma ingin keluarga kecil yang utuh,” bisiknya pilu. Ia memejamkan mata, mencoba mengusir bayang-bayang Mariana yang terus menari di pelupuknya. Mariana dengan tatapan lembut, Mariana yang selalu terlihat tenang bahkan saat disakiti. Mariana yang ... selalu dicintai. Sementara dirinya? Bianca tak lebih dari bayangan. Ia merasa seperti selingan di hidup Bara—wanita yang dinikahi karena keterpaksaan, bukan karena pilihan. “Aku istrinya sekarang. Kenapa dia nggak bisa lihat itu?” Ia membuka mata, menatap lantai dengan pandangan kosong. Ada denyut di pelipisnya, tapi yang lebih menyakitkan adalah denyut di dadanya. Peras