"Ghami hikssss maafin Bunda nak...." aku tidak tau apa yang terjadi, setelah aku sadar dari pingsan, aku mendapati diriku kini berada di kamar sebuah rumah sakit, aku hanya melihat Papi dan Mami berdiri di samping tanpa adanya Abi.
"Sabar Nak... ikhlaskan Ghami sayang..." ucap Mami menenangkanku.
"Nggak!!!! aku nggak ikhlas Mi... aku nggak ikhlas sebelum bang Abi cerita kenapa dia dengan teganya ninggalin Ghami sendirian dimobil, bang Abi mana... mana dia!!! aku ingin dia jelasin!!" aku semakin histeris bahkan aku berniat menanggalkan selang infus yang terpasang di tanganku, Papi dan Mami berusaha menahan keinginanku. Tarik menarik antara aku dan Mami berhenti ketika pintu kamar terbuka, aku melihat Abi berjalan kearahku... aku melihat wajahnya kini tanpa ekspresi.
"Bang... bang Ghami mana?" tanyaku mulai sedikit tenang, Abi kemudian berdiri disamping ranjangku.
"Maafin aku" nggak bukan itu yang mau aku dengar, bukan kata maaf tapi keadaan Ghami itu yang terpenting.
"Bukan itu yang mau aku dengar bang, bukan kata maaf tapi Ghami... dimana Ghami" tanyaku sekali lagi, airmata masih turun tak mau berhenti.
Abi masih diam tanpa kata, Mami masih terisak menahan tangis sedangkan Papi memilih menatap keluar melalu jendela, kenapa tak ada satupun yang memberitahuku keadaan putriku, aku berhak tau karena aku ibunya, ibunya!!!.
"Aku tanya sekali lagi bang, anak aku mana.... dimana dia" kali ini suaraku sudah semakin serak.
"Maafin aku" lagi-lagi dia hanya mengatakan itu, aku kemudian habis kesabaran dan dengan emosi aku mencabut selang infus dan menghampirinya, aku menatapnya dengan tatapan penuh amarah dan juga benci.
"Ghami sudah nggak ada ya bang?" tanyaku dengan pilu, dia menunduk dan beberapa saat kemudian dia mengangguk pelan, melihat anggukannya aku langsung mundur beberapa langkah dan menutup mataku, tawa lirih kemudian keluar dari mulutku.
"Semua gara-gara aku, aku yang membunuh Ghami... aku ibu bodoh dan juga nggak pantas jadi Ibu, ini semua gara-gara aku hhahahhahha arghhhhhhh" aku berteriak histeris dan memukul-mukul dadaku yang menjadi sumber masalah, aku menyalahkan diriku karena tidak becus dan tidak berusaha agar ASI ku keluar, Mami mendekatiku dan memelukku erat.
"Claudi, sabar nak...." aku menggeleng pelan, hidupku nggak ada arti lagi, setelah kedua orangtuaku meninggal kini Ghami juga meninggal dan sebentar lagi Abi juga pasti ninggalin aku, hanya Ghami yang membuatnya ada disisiku dan kini Ghami nggak ada dan nggak ada alasan lagi buat Abi untuk terus bersamaku, ya Tuhan kenapa kau coba aku separah ini.
Aku menatap Abi yang sama sekali tidak berusaha menenangkan aku, apa ini yang dia mau... apa dia sengaja membuat Ghami meninggal agar niatnya ninggalin aku jadi gampang?, apa dia sama sekali tidak mencintai aku... kenapa dia tidak terlihat sedih, kenapa dia tidak menjelaskan apa yang terjadi, aku butuh dia untuk saling menguatkan, aku butuh dia saat ini... tapi... tapi kenapa dia hanya diam membisu, kenapa dia seakan jauh dariku.... aku nggak akan bisa hidup jika diapun pergi ninggalin aku, ya aku harus menolong diriku sendiri, dia nggak boleh ninggalin aku tapi aku yang akan ninggalin dia.
"Pembunuh!!! kamu pembunuh!!!! balikin nyawa Ghami!!!, pembunuhhhhhhhhhhhhhhhhh" aku mendorong Mami menjauh dariku dan aku menerjang Abi dan memukulnya berulang kali, dia hanya diam bahkan dia tidak berusaha menenangkan aku, bahkan sampai akhirnya aku kembali tidak sadarkan diri hanya Mami dan Papi yang mengurusku, Abi entah berada dimana bahkan ketika aku meminta cerai dengan santainya dia mengabulkan tanpa ada usaha sedikitpun untuk memperbaiki hubungan kami.
Sebulan setelah meninggalnya Ghami, pengadilan memutuskan tali pernikahan aku dan Abi, kami resmi bercerai tanpa ada sedikitpun penjelasan apa yang terjadi malam itu, 1 minggu setelah perceraian aku mendengar dari Mami jika Abi memutuskan untuk menjalankan perusahaan keluarga di Belanda.
Ya, akhirnya dia pergi dan aku kemudian hidup sendiri meratapi nasibku, entah berapa hari aku mengurung diri dikamar, menangisi kehilangan Ghami dan juga Abi, aku tetaplah seorang wanita yang butuh dia untuk kuat, sayangnya dia memilih menjadi pengecut dan lari begitu saja.
****
Aku membaca daftar kegiatan apa saja yang akan aku urus untuk pernikahan Abi, berat memang tapi mau tidak mau aku harus profesional, aku mencoret kegiatan yang akan aku lakukan hari ini, fiuh fitting baju pengantin dan sialnya hari ini Fania memberitahu jika Abi akan ikut bersamanya, dan dia mau aku ikut bersama mereka, jahat banget ya mereka. Kejam dan tidak punya perasaan, bahagia diatas penderitaanku,eh kok malah aku yang sewot toh Fania belum tau hubungan antara aku dan Abi, tapikan Abi tau aku mantan istrinya, arghhhhhh rempongggggg.
"Mbak, sarapan dulu... dari tadi aku lihat ngeluh mulu, lihat tuh kertasnya udah nggak berbentuk" aku melihat Sarah membawa sebuah baki berisi Mie Goreng dan juga s**u panas, aku melihat kertas tadi kini sudah tak berbentuk kertas.
"Nggak lapar, kamu saja yang makan, oh iya Sarah... hari ini saya mau ke butik desainer terus mau milih undangan, kamu sudah hubungi pihak butik dan memberitahu kalo kami akan kesana?" tanyaku, Sarah meletakkan baki tadi keatas mejaku, dia mengangguk dan memberi tanda oke.
"Semua sudah beres, mbak dan mbak Fania tinggal datang dan mencoba beberapa jenis kebaya dan kalo cocok tinggal jahit, aku sudah makan mbak... ayo dimakan, ini enak lohhhh aku beli tadi disimpang jalan"
"Oh baru ya, kayaknya enak... padahal tadi aku nggak selera tapi kok Mie ini menggugah selera ya" aku mengambil garpu dan langsung menyicipi Mie Goreng yang dibeli Sarah. Kunyahan pertama entah kenapa airmataku langsung turun, Mie ini enak sekali dan rasanya... rasanya sama persis dengan Mie yang dulu selalu dibuatkan Abi ketika aku mengalami ngidam. Ya Tuhan kapan aku bisa move on jika apapun yang aku lakukan selalu berhubungan dengan Abi... Abi dan Abi.
"Gimana mbak, enak nggak Mie nya? kalo enak aku akan belikan setiap hari" tanya Sarah, aku mengangguk dan menghabiskan Mie itu langsung.
"Enak banget, coba deh kamu pasti ketagihan..." Sarah tertawa lalu pergi keluar dari ruanganku, sungguh Mie ini rasanya sama persis dengan yang dibuat Abi dulu, meski sudah bertahun-tahun lamanya tapi rasanya masih terasa jelas dilidahku.
Jika seperti ini terus, ujung-ujungnya aku lagi yang akan terluka... ini tidak bisa dibiarkan, aku harus membuka hatiku untuk pria lain, aku tidak mau nanti aku menjadi wanita yang merusak pernikahan orang, Fania tidak pantas disakiti.
****
Siallllll lagi-lagi aku kena sial. Fania rese dan Abi kurang ajar, apa maksudnya coba mereka datang berdua ke kantor dan memberitahu jika kedatangan mereka untuk menjemputku... ya JEMPUT dan itu berarti aku harus satu mobil dengan mereka. SATU MOBIL permirsa dan tau nggak artinya, aku bakal jadi kambing congek dan juga obat nyamuk, andai membunuh itu dilegalkan mungkin kedua orang ini sudah aku mutilasi saat ini juga.
"Ayo mbak masuk" dan ini apalagi, kok bisa-bisanya dia memintaku duduk di bangku depan dan duduk disamping Abi, sekarang ini yang tunangannya Abi aku atau dia sih, aneh itu orang...
"Nggak usah Fania, aku duduk di belakang saja" tolakku secara halus, aku melirik kearah Abi, dia hanya dia dan kemudian memasang kacamata hitamnya, ih sok kegantengan itu cowok, makin illfeel deh.
"Hahahaha mbak jangan salah paham, aku memang nggak biasa duduk dimuka, yakan Mas" ujarnya dengan manja, Abi masih diam dan kemudian masuk kedalam mobil, Fania kemudian mendorongku masuk untuk duduk disamping Abi, dan daripada ribet mendengar mereka bicara, aku memilih untuk mengalah dan kemudian masuk lalu diam seribu bahasa.
"Mas Gilang, aku numpang duduk disamping Mas ya" loh ada orang lain toh, aku memutar kepalaku dan menemukan Gilang sepupu Abi sudah duduk dengan tenang dibelakang, fiuhhhh syukur banget ternyata bukan aku saja makhluk asing di mobil.
"Mas" sapaku ramah, Gilang tersenyum membalas sapaanku, kemudian aku kembali memutar kepalaku, aku melihat Abi menatapku kemudian dia membuang wajahnya, huh kamu pikir kamu saja yang bisa dapat pengganti aku secepat ini, akupun bisa!!! dan Gilang sepertinya calon yang tepat.
"Mbak boleh nanya nggak"
"Boleh, nanya apa Fania... selagi bisa mbak akan jawab" balasku pelan.
"Hmmm mbak punya suami?" Jleb!!! maksudnya apa coba, kok bisa-bisanya dia bertanya tentang kehidupanku, helooooo suami memang nggak ada tapi mantan suami ada noh disebelah, yang bakal lo nikahin itu mantan laki gue, puas lo!!! rese deh ah.
"Nggak punya" balasku singkat, aku kembali melirik Abi... dia masih diam dan terlihat fokus mengemudikan mobil.
"Oh... bagus dong, tau nggak Mbak... Mas Gilang juga single loh... eh duda deh, ya kan Mas" nah ini apalagi jangan bilang dia mau jodohin aku dengan Gilang, lagi-lagi aku melirik kearah Abi, aku melihat dia mencengkram kemudi mobil dengan keras terlihat dari urat tangannya yang terlihat jelas, aku tau sepertinya dia marah. Oke kali ini aku yang akan membalas kalian.
"Hahahaha kamu bisa aja sih, mana mau Mas Gilang dengan aku, lah aku aja jelek gini... ya bedalah dengan kamu Fania, kamu masih muda, cantik, sexy lagi... siapapun pria akan kecantol dengan kecantikan kamu" aduh ini mulut kenapa muji Fania sebaik itu sih, eh tapi Fania memang cantik kok. Aku mendengar Fania tertawa begitupun Gilang, hanya manusia aneh disampingku ini yang diam seribu bahasa.
"Mungkin karena itu kali ya Mas Abi cinta aku... ya Mas?" Abi terlihat semakin risih dan makin melajukan mobilnya dengan kencang.
"Mas Abi kok diam aja sih dari tadi" tanya Fania.
"Aku lagi nyetir Fan, lagian ngapain aku ikut ngobrol hal nggak penting" balasnya, huh nggak penting!! situ tau nggak gue juga males ngeladenin pacar lo, tapi mau nggak mau gue terpaksa ngikutin arus.
****