Bab 4

1848 Words
"Ya aku hanya bermimpi, tidak mungkin Abi setega itu kepadaku, mana mungkin dia dengan sengaja menggunakan perusahaanku untuk mengurus pernikahannya dengan wanita lain" ujarku dalam hati. Mataku memang tertutup tapi tidak dengan hatiku, hatiku kembali bertanya-tanya benarkah Fania yang akan menggantikanku sebagai istrinya Abi, arghhhh kenapa aku bisa berpikir seperti itu, terserah siapapun yang akan menjadi istri Abi yang terpenting jangan bawa-bawa aku kedalam kehidupannya lagi.   Hubungan kami sudah berakhir ketika dia menyetujui permintaanku untuk berpisah, jadi mau dia menikah lagi atau mau apapun silahkan, tapi yang membuatku tak habis pikir kenapa bisa mereka menggunakan jasa perusahaanku, apa tidak ada perusahaan lain atau jangan-jangan ini usaha Abi untuk membalasku, membalas perlakuanku dulu ketika aku mengetahui dia membunuh Ghami.   "Mbak... mbak" suara lembut Fania terdengar di telingaku, aku masih enggan membuka mata meski aku sudah sadar, aku takut jika aku membuka mata aku akan melihat dia lagi.   "Mungkin sebaiknya kita membawa dia ke rumah sakit" suara pria asing terdengar di telingaku, itu bukan Abi... itu mungkin suara sepupu Abi. Sepupu? kenapa aku tidak pernah bertemu dia ya, tadi Fania memberitahu bahwa namanya Gilang, Gilang... Gilang, ahhhh iya aku baru ingat Abi pernah cerita dulu dia mempunyai sepupu yang menghabiskan waktu dengan tinggal di Belanda, sepupunya itu juga yang menggantikan posisinya di perusahaan cabang.   "Iya ya Mas, ayo bantu aku gendong mbak Claudi... Mas Abi nggak bisa di andalkan, sudah tau ada wanita pingsan eh dia malah memilih untuk pergi gitu aja, nyebelin" ujar Fania kesal, oh ternyata Abi sudah pergi. Lebih baik aku bangun daripada mereka membawaku ke rumah sakit. AKu membuka mataku pelan, aku melihat Fania sedang duduk disampingku, sedangkan Gilang duduk tak jauh dari Fania. Aku menegdarkan mataku keseluruh ruangan mencari sosok yang tidak ingin aku lihat, Fania sepertinya benar Abi tidak ada disini.   "Mbak kenapa bisa pingsan sih, mana yang sakit... atau mbak mau aku bawa ke rumah sakit? kita bisa chek up kesehatan mbak sekalian" tawar Fania, aku menggeleng pelan dan berusaha bangkit dari tidurku, disini masalahnya aku bukan menderita sakit yang ada aku syok bisa bertemu lagi dengan orang yang sangat ingin aku hindari.   "Maaf Fania, aku rasa sekarang bukan saat yang tepat untuk memeriksa aula ini, aku rasa sekarang aku butuh istirahat, aku permisi dulu..." aku langsung mengambil tas dan berlari meninggalkan Fania dan juga Gilang, aku harus menjauh dari mereka dan berpikir keras apa yang aku lakukan tentang Fania dan pernikahannya dengan mantan suamiku.   ****   Sudah 10 menit aku berdiri di halte, tapi bus yang akan membawaku kembali ke apartemen belum juga lewat, aku kemudian duduk di bagian tepi trotoar, aku meletakkan kepalaku diantara kedua kakiku kemudian menangis pilu, mengetahui Abi akan menikah lagi membuat hati sangat sedih sekali. Padahal aku sudah mencoba untuk melupakan dia tapi tetap saja benci dan cinta itu beda tipis, aku mendoktrin di dalam otakku bahwa aku membenci Abi karena dia Ghami meninggal, tapi sebagai seorang wanita tetap saja aku terluka.   Tin tin tin tin   Aku tidak memperdulikan bunyi klakson yang aku dengar. Aku masih menangis meratapi nasibku saat ini.   Tin tin tin tin   Lagi-lagi klakson itu berbunyi dan membuat emosiku semakin naik, aku mengangkat kepalaku untuk mendamprat pengemudi rese yang menganggu aku menumpahkan sakit hatiku. Aku melihat mobil sedan mewah berwarna hitam parkir disekitarku duduk, aku menatap dan berusaha melihat siapa pengemudinya, sayangnya kaca mobil yang gelap dan juga pengaruh air mata yang banyak di mataku membuat aku tidak melihat dengan jelas siapa pengemudi kurang ajar itu.   Aku melihat pintu mobil itu terbuka, dan mataku melihat sepasang kaki turun, dari kaki aku langsung melihat wajah pemilik mobil mewah itu, aku kaget melihat siapa yang turun, Abi!!!.   Aku langsung berdiri dan berniat untuk pergi menghindari Abi, tapi sayang karena kelamaan duduk kakiku merasakan kram mendadak, sehingga langkahku terhenti. Abi menggunakan kesempatan itu untuk menarik tanganku masuk kedalam mobilnya, aku berusaha melepaskan pegangannya. Sungguh aku belum siap untuk berbicara dengannya saat ini terlebih dengan wajahku yang seperti ini, maskara meleber kemana-mana dan juga mata bengkak, aku tidak mau dia menganggap aku masih memikirkan dia.   "Duduk yang baik Claudi, ada yang mesti kita bicarakan" ujarnya, aku tidak memperdulikan perkataannya dan memilih untuk membuka pintu mobil, tapi saat itu juga mobil langsung melaju dengan kencang, pintu yang telah aku buka dengan terpaksa aku tutup kembali.   "Kamu gila!!!! belum cukup kamu membunuh Ghami dan sekarang kamu ingin membunuhku?" teriakku kesal, Abi menatapku dengan tatapan entahlah seperti ada amarah di matanya itu.   "Diam Claudi, aku bukan pembunuh!!! Ghami bukan saja anak kamu, tapi anak aku juga dan nggak ada ayah yang mau anaknya meninggal!!!" balasnya, aku mengeluarkan senyum sinisku.   "Oh ya? terus kenapa kamu dengan teganya meninggalkan bayi yang baru berumur 7 hari di mobil? kenapa hah? dari dulu sampai sekarang aku tidak mendengar sedikitpun penjelasan dari kamu, aku hanya mendengar kamu mengucapkan kata maaf, aku tidak butuh itu yang aku butuhkan kenapa dulu... kenapa dulu kamu meninggalkan dia sendirian di mobil!!! jawabbbb!!!" dia kembali menatap jalanan dan menutup matanya, ini yang membuat aku muak melihatnya, tidak ada sedikitpun usahanya untuk menjelaskan apa yang terjadi malam itu, kenapa dia meninggalkan Ghami sendirian.   "Lihatkan? 5 tahun berlalu dan kamu masih tetap dengan kediaman kamu, jadi memang tidak ada yang perlu kita bicarakan, by the way selamat sudah menemukan pengganti aku, Fania baik dan cantik... mungkin kalian cocok sebagai pasangan, dan maaf sepertinya aku tidak bisa melanjutkan kerjasama diantara kita, kamu cari saja WO lain dan aku akan yang akan menjelaskan kepada Fania tentang kita dan kenapa aku membatalkan kerjasama kita, sekarang berhenti... aku mau turun" ujarku dengan dingin, aku menghapus diam-diam air mata yang masih mengalir.   Dia masih melajukan mobilnya dan tidak mengindahkan perkataanku, aku lupa jika Abi tetaplah Abi pria keras kepala yang jika sudah memutuskan sesuatu akan melakukan sampai selesai. Aku melihat kemana arah mobilnya dan aku kembali menegang ketika aku tau ini jalan menuju kuburan Ghami.   "Buat apa kita kesini, aku sudah bilang... aku tidak sudi kamu menginjak kaki kamu di rumah Ghami, berhenti!!!!!" teriakku berulang-ulang, Abi tidak memperdulikan perkataanku dan ketika sampai di komplek pemakaman, Abi baru mengeluarkan suaranya.   "Aku tau kesalahan aku terhadap Ghami tidak bisa kamu maafkan, tapi Ghami tetaplah anak aku... aku ayahnya dan 5 tahun kepergianku bayangan tentang Ghami selalu menari di otakku, andai aku bisa memilih... aku lebih memilih aku yang menggantikan dia tidur didalam sana bukan dia, jadi aku mohon biarkan aku melihat dia sekali ini, hanya sekali ini Claudi... setelah itu aku tidak akan pernah menginjak kaki disini lagi" aku mendengar getaran disuara Abi, aku diam membuang mukaku. Aku melihatnya turun dari mobil dan berjalan menuju kuburan Ghami, aku memilih menunggu di mobil, aku tidak mau larut dan memaafkan dia jika aku melihat Abi berada dimakan Ghami.   ****   Setengah jam berlalu, akhirnya aku melihat Abi kembali dengan menggenakan kacamata hitam, aku tau jika dia mengenakan itu tandanya dia habis menangis dan tidak mau ada yang tau jika dia menangis. Aku keluar dari mobil dan berniat untuk pulang sendiri tanpa dia.   "Aku harap ini terakhir kalinya kamu menginjak kaki disini, dan masalah kerjasama kita, semua biaya yang sudah diberikan Fania akan aku kembalikan tanpa kurang sepersenpun" kataku dingin, dia hanya diam. Aku memutar tubuhku dan meninggalkan dia yang masih berdiri didepan mobilnya, walau aku tau dengan membatalkan kerjasama antara kami, itu juga berarti aku harus pindah dari apartemen karena apartemen itu harus dijual untuk bisa mengembalikan uang yang sudah diberikan Fania.   Ya, ini jalan terbaik... meski aku harus memulai dari awal, ini lebih baik daripada membuat diriku semakin terluka dengan mengurus pernikahan Abi dengan wanita lain.   ****   Aku termenung sambil mengaduk kopi yang telah dingin, semenjak pertemuanku dengan Abi dan mengetahui dialah calon suami Fania beberapa hari yang lalu, entah kenapa semangat hidupku langsung luruh, yang aku lakukan hanya termenung dan menghela nafas.   "Mbak... Mbak Claudi..." suara Sarah yang memanggilku tidak aku hiraukan, aku masih sibuk mengaduk kopi di cangkir.   "Biar saja Sarah, aku masuk saja" ah itu suara Fania, aku mengangkat kepalaku dan melihat Fania kini sudah duduk didepanku, aku tau kedatangannya pasti berhubungan dengan rencana pernikahannya.   "Oh Fania, maaf Fania aku kira siapa" kataku pelan, Fania tersenyum dan meletakkan tasnya keatas meja, aku melihat jarinya sudah terpasang cincin, mungkin itu cincin pertunangan mereka, bahkan dulu dia tidak sekalipun memberi cincin kepadaku kecuali cincin kawin kami.   "Bagaimana keadaan Mbak?" tanyanya, aku berusaha tersenyum meski senyum dengan terpaksa.   "Baik kok, aku sangat baik" bohongku, Fania mengangguk dan kembali tersenyum padaku.   "Syukurlah jika mbak baik dan sehat, jadi kita bisa melanjutkan kerjasama kita...."   "Fania..." aku memotong perkataannya, aku ingin memberitahu tentang batalnya kerjasama kami, tapi aku bingung bagaimana memulainya. Memberitahunya jika aku mantan istri calon suaminya juga bukan hal gampang, aku tidak punya hak untuk memberitahunya, Abi lah yang berhak dan sepertinya Abi belum memberitahu Fania tentang hubungan kami.   "Ya mbak... sepertinya mbak mau bicara penting ya, soalnya muka mbak serius banget hahahaha jangan bilang mbak kenal Mas Abi atau jangan bilang Mbak ini mantan pacarnya Mas Abi..." aku mengurungkan niatku dan kembali mengaduk kopi tadi.   "Bukan, aku tidak kenal tunangan kamu apalagi pacarnya... jangan kuatir, hmmm, bagaimana ya memulainya... mungkin kamu akan menganggap Ghamilla WO ini bukan WO profesional dan seenaknya, tapi sepertinya aku terpaksa menghentikan kerjasama diantara kita, masalah biaya yang telah kamu berikan, tolong beri aku waktu 1 bulan... aku akan mengembalikan beserta bunganya" Fania masih menatapku tidak berkedip, mungkin dia kaget mendengar perkataanku.   "Kenapa dibatalkan?" tanyanya.   "Karena... karena aku ingin pindak keluar kota, aku ingin hidup didesa jauh dari hirup pikuk ibukota" jawabku asal, tapi sepertinya dia tidak percaya.   "Ada yang aneh.... mbak dulu terlihat antusias, kemudian setelah bertemu Mas Abi, mbak pingsan dan kini membatalkan kerjasama kita, jangan-jangan mbak bohong ya... jangan-jangan..."   "Nggak ada jangan-jangan Fania, aku sudah bilang aku tidak kenal dan aku tidak ada hubungan dengan Abi, puas!!!" bentakku, Fania kaget dan begitupun aku, kenapa aku melampiaskan kemarahanku kepadanya sedangkan dia tidak tau apa-apa.   "Hmmmmm baiklah aku percaya dengan mbak... tapi gimana ya, sepertinya mbak lupa dengan isi perjanjian yang telah mbak buat sendiri... bukannya di dalam perjanjian itu jika salah satu pihak membatalkan kerjasama, pihak yang membatalkan wajib mengganti rugi 10x lipat, 10x lipatttt... dan sesuai dengan yang telah aku berikan sebagai DP itu berarti mbak harus membayar dua milyar rupiah...." ujarnya mengeja, astaga aku kok sampai lupa bukannya itu perjanjian aku sendiri yang buat, 2 milyar sama saja menguburku hidup-hidup, harga apartemen saja jika laku hanya setengah dari denda. Arghhhhhhh bodohnya aku sampai lupa jika aku membuat ganti rugi itu karena dulu pernah ditipu calon klien yang seenaknya membatalkan kerjasama padahal aku sudah mempersiapkan semuanya.   "Gimana mbak, masih keukeh membatalkan kerjasama" tanyanya ketika aku masih diam menyalahkan kebodohan yang aku lakukan.   "Dua milyar atau kesedihan... ya Tuhan... apa aku sanggup mengurus pernikahan mereka sedangkan aku tau... pria yang akan menjadi suaminya adalan mantan suamiku..." ujarku dalam hati, Fania seperti masih menunggu jawaban dariku.   "Mau tidak mau... tapi ada syarat" balasku cepat, Fania tersenyum dan mempersilahkan aku menyatakan syarat yang aku minta.   "Aku akan mengurus sampai H-1 pernikahan kalian, sepertinya di hari pernikahan kalian aku harus pergi dan tidak bisa hadir" ujarku, dia mengangguk dan memberikan tangan lentiknya untuk menyalamiku.   "Nggak masalah... yang terpenting, semuanya selesai sebelum mbak pergi... wah aku jadi nggak sabar nunggu hari pernikahanku dengan Mas Abi" ya aku juga, aku juga nggak sabar pergi dari kalian.   Hufttttttt penderitaanku akan kembali dimulai dan selamat datang dikehidupanku lagi Abimanyu Hendrawan, sampai 3 bulan kedepan... kita akan sering bertemu dan aku harap rasa bencilah yang ada setiap kita bertemu.   ****   Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD