"Bang, Ghami nggak berhenti nangis dari tadi... aku takut dia kenapa-napa" suara tangis Ghami yang semakin menyayat hati membuatku semakin panik, ditambah Abi juga bingung mau melakukan apa melihat anak kami tidak berhenti menangis dari tadi. Aku mengendong Ghami dan mengayunnya agar dirinya bisa diam, aku tidak peduli dengan luka bekas operasi yang masih terasa ngilu di bagian bawah perutku, bagiku yang terpenting Ghami bisa diam dan tidak menangis lagi.
"Coba kamu susuin dulu... mungkin dia haus" Abi mendekatiku dan menyentuh lembut pipi Ghami, akupun langsung duduk di sofa dan mengeluarkan payudaraku, aku mengarahkan ke mulut kecilnya dan untungnya dia sedikit tenang, tapi itu hanya sebentar 2 menit kemudian Ghami kembali histeris dan aku melihat dia menjauhkan mulutnya dari Payudaraku.
"Kenapa lagi, ASI kamu nggak ada?" tanya Abi, aku menggeleng dan mencoba mengeluarkan ASI dengan cara memencetnya, bahkan setitik[un tidak keluar, aku semakin panik. Memang beberapa hari ini Ghami seakan enggan aku susuin, ternyata karena ASi ku sama sekali tidak keluar meski dia sudah berusaha untuk meminumnya.
"ASI aku nggak keluar bang, bagaimana ini... hikssssss pantesan Ghami rewel ternyata ASI aku nggak ada, aku gagal sebagai Ibu" suaraku semakin lirih, ditambah melihat Ghami semakin rewel. Untungnya Abi langsung mengambil Ghami dari gendonganku dan mengayunnya beberapa kali. Ghami sedikit tenang berada di pelukan ayahnya.
"Ya sudah, kamu jangan terlalu stress ingat kata dokter... pasti ada cara supaya ASI kamu ada lagi, untuk sementara Ghami kita beri s**u Formula dulu" aku semakin menyesal mendengar perkataan Abi, anak sekecil Ghami bukannya mendapat ASI secara eksklusif yang ada malah di cekoki s**u Formula.
"Iya..." balasku pelan, Abi terlihat bahagia menggendong Ghami... aku menyunggingkan senyum sedikit. Aku bahkan sama sekali tidak menyangka Abi bisa menyayangi Ghami, sedangkan ketika dulu dia mengetahui aku hamil padahal kami sudah berkomitment untuk menunda punya anak, sungguh sangat berbeda 180 derajat, memang dia tidak memberitahuku secara langsung kalo dia belum siap punya anak, memang aku mengetahui itu semua ketika aku tanpa sengaja mendengarnya berbincang dengan Heru, sahabatnya. Bahkan selama aku mengandung aku berharap Ghami tumbuh dengan dengan sehat di rahimku, kata-katanya yang tanpa sengaja aku dengar itu selalu terngiang di benakku.
'Andai Claudi tidak hamil saat ini, mungkin gue sudah memilih untuk menerima tawaran Papi menjalankan perusahaan cabang di Belanda, tapi kenapa dia malah mengandung sedangkan gue sudah menyuruhnya untuk menunda sampai kami siap memiliki anak'
Ya, Abi berniat menerima tawaran Papi mertuaku untuk menjalankan perusahaannya di Belanda, dan karena aku mengandung dia memutuskan menyerahkan perusahaan itu kepada sepupunya, dan memilih melanjutkan perusahaan Papi di Jakarta saja, ya semua karena aku hamil, jika tidak mungkin aku sudah di tinggalkannya, memang usia pernikahan kami masih terhitung bulan, tapi juga tidak terhitung berapa kali kami bertengkar baik masalah kecil sampai masalah besar, bahkan aku merasa dia sedikit menyesal menikahiku, entahlah. Untuk itu aku menganggap Ghami hadir di rahimku untuk membantuku mempertahankan Abi, ya aku mencintainya dan aku tidak sanggup dia meninggalkan aku.
"Sayang, aku pergi beli s**u formula dulu untuk Ghami sekalian beli makan malam untuk kita, kamu di rumah saja, aku akan bawa Ghami... jadi selama kami pergi kamu bisa istirahat" ujar Abi, aku menggeleng pelan.
"Nggak usah, Ghami tinggal saja... lagian dia masih kecil untuk kamu bawa keluar.. bahaya bagi kesehatannya" tolakku secara halus, Abi mendekatiku dan mencium puncak kepalaku.
"Nggak apa-apa sayang, aku ayah yang hebat kok perusahaan besar saja bisa aku kendalikan dan jaga, masa anak kandungku sendiri aku akan teledor, kamu tidur dan istirahat yang banyak, kata kamu luka bekas operasinya masih sakit" ujarnya bersikeras.
"Tapi bang... Ghami..."
"Stssss udah nggak apa-apa 1 jam lagi kami kembali, ayo sayang cium Bunda dulu.... Bunda Ghami jalan dulu ya sama ayah, Bunda tenang saja Ghami bakal jaga ayah dari godaan cewek-cewek nakal diluar" Abi menirukan suara bayi sambil mengarahkan Ghami ke mukaku, aku tertawa dan mencubit pelan perutnya.
"Awas ya... jaga Ghami bang..." kataku pelan, aku mencium pipi Ghami berulang-ulang seakan enggan untuk berpisah, huwaaaaa ternyata gini rasanya memiliki anak.
"Bye sayang, hati-hati ya bang... kalo sudah dirumah aku dibangunkan saja ya, biar aku yang buat susunya" Abi mengangguk dan meletakkan Ghami di strollernya. Aku melambaikan tanganku dan menghela nafas dalam-dalam, arghhh seandainya ASI ku cukup banyak, mungkin Abi nggak perlu susah-susah membelikan s**u Formula untuk Ghami.
Aku membaringkan tubuhku keatas kasur, aku memandang foto pernikahan aku dan Abi, pernikahan yang awalnya karena perjodohan, kenangan kami di masa lalu langsung menari di benakku begitupun kenangan ketika kami bertengkar hebat, pokoknya semua menyatu menjadi jalinan cerita baru, aku hanya tertawa, sekarang aku mempunyai Ghami untuk mengikat Abi, entah apa yang akan terjadi jika Ghami tidak ada, mungkin saat itu juga Abi memilih meninggalkan aku, padahal aku merasa hidupku akan hampa tanpa dia, ya aku mencintainya... sangat, meski sampai sekarang aku sama sekali belum pernah menyatakan langsung kepadanya. Mataku semakin sayu karena lelah, aku memilih untuk beristirahat sejenak sebelum ABi dan Ghami kembali.
****
Arghhhhhh aku terbangun ketika mimpi itu kembali datang, mimpi yang sangat aku benci, mimpi di mana aku melihat Ghami untuk terakhir kalinya, aku membuka laci yang berada di samping kasurku dan mengeluarkan sebuah foto yang sudah tidak berbentuk utuh lagi, foto dimana aku menggendong Ghami dan disampingku berdiri Abi, foto yang dulu aku robek dan kini hanya tersisa aku dan Ghami.
"Bunda selalu merindukan kamu nak, apakah kamu baik-baik di surga?, Bunda harap kamu selalu baik disana" aku mencium foto itu berulang kali, hanya foto ini satu-satunya yang kupunya, aku selalu melihat foto itu agar aku tidak melupakan wajah Ghami sedikitpun.
Aku kembali meletakkan foto itu ketempatnya semula, kemudian aku bangkit dan menuju kamar mandi, aku melihat wajahku di cermin yang ada di kamar mandi, sayu dan tidak bercahaya. Aku ingat hari ini ada pertemuan dengan Fania dan calon suaminya di gedung yang akan kami gunakan sebagai aula resepsi, awalnya hanya Fania yang akan pergi denganku, tapi kemudian rencana berubah. Calon suaminya ingin ikut dan melihat langsung aula yang akan menjadi tempat resepsi pernikahan mereka, aku hanya mengiyakan saja, toh aku hanya pemberi jasa sedangkan mereka orang yang telah membayar jasaku dan aku wajib melakukan apa saja sesuai keinginan mereka.
Setelah membersihkan diri, aku keluar dari kamar mandi dan membuka lemari, aku mencari setelan bagus untuk aku kenakan, aku mengambil sebuah kemeja dan blazer serta rok, baju yang dulu aku miliki ketika aku masih gadis, baju itu sudah sangat lama tidak aku kenakan, mudah-mudahan masih muat, dan untungnya baju itu masih muat ketika aku kenakan. Aku juga sedikit merias diri secara sederhana, aku seakan malu jika berada di samping Fania jika hanya berdandan ala kadarnya.
"Okeh.... Claudi, ayo semangat!!!!" ujarku memberi semangat kepada diriku sendiri, aku memasukkan semua peralatan make up kedalam tas kerjaku, lalu aku mengambil sepatu yang selalu aku kenakan meski hak nya sudah tidak berbentuk lagi akibat terlalu sering aku gunakan. Setelah yakin semua beres aku langsung menuju halte bus yang akan membawaku menuju tempat kami janjian, setelah krisis melanda kantor, aku dengan terpaksa menjual mobil satu-satunya dan sejak itu kemanapun aku pergi selalu menggunakan bus atau terkadang taksi.
Aku berlari mengejar Bus dan langsung duduk di ujung kursi yang kosong, aku mengambil ponselku yang ada di dalam tas dan memasang Headset ke telingaku, aku bukan mendengar lagu atau memainkan game, aku mendengarkan suara tangis Ghami yang dulu sempat aku rekam, berulang-ulang aku memutar suara itu hingga tanpa terasa aku kini sudah hampir tiba di tujuan.
Aku berlari dan sesekali melirik jam yang ada dilenganku, jarum jam masih menit lagi dari waktu janjian kami. Aku dengan tergopoh-gopoh mencari keberadaan mereka, meski mungkin mereka belum datang. Aku menunggu di lobby gedung dan menghubungi Fania untuk memberitahu jika aku sudah tiba.
Aku memijit betisku yang sedikit sakit akibat aku berlari seharian, arghhhh pegel bangettttttt.
"Mbak sudah lama ya datangnya..." aku mendengar suara lembut Fania, aku melihatnya dan tersenyum ramah.
"Baru kok, loh kok kamu sendirian... katanya mau datang dengan calon suaminya" tanyaku heran, dia tersenyum dan berjalan kearahku, dia memegang bahuku dan membawaku untuk masuk kedalam aula.
"Mungkin dia sudah didalam, tadi sih katanya dia sekalian ada urusan di sekitar daerah sini, ayo aku kenalkan dengan calon suami aku" aku mengangguk dan mengikuti Fania untuk masuk ke alu, aku melihat beberapa pria sedang berbincang, aku tidak terlalu tau yang mana calon suami Fania. Aku melihat ada pria tua sedang menunjukkan sebuah kertas, aku mengenal Bapak itu yang merupakan pengurus aula ini, sedangkan ada pria satu lagi yang sedang berdiri disamping Bapak itu, perasaan aku pernah lihat deh tapi dimana. Kemudian ada pria yang sedang duduk membelakangi kami, aku sama sekali tidak melihat wajahnya.
"Sayang..." panggil Fania, aku meihat pria yang duduk tadi berdiri, bulu kudukku tiba-tiba berdiri seakan melihat hantu, ya aku tau siapa pemilik punggung itu setelah melihat secara dekat!!!.
"Ayo mbak aku perkenalkan..." Fania menarik tanganku dan aku yang menunduk seakan takut melihat siapa yang akan aku lihat dihdapanku.
"Mbak perkenalkan ini Gilang, sepupunya calon aku..." aku tidak melihat wajahnya karena aku hanya menunduk, pria yang bernama Gilang menyodorkan tangannya, aku membalas salamannya dan kemudian aku memegang tanganku yang sudah dingin.
"Kalo ini calon suami aku mbak, Mas Abi kenalkan ini Mbak Claudia... pemilik WO yang akan mengurus semua acara pernikahan kita"
Ya!!!! Dia Abi... ya Tuhan takdir apalagi ini!!! Aku tidak membalas uluran tangannya. Aku merasakan Fania memberi kode kepadaku untuk membalas salaman pria itu.
"Mbak..." aku melihat Fania dan Abi kini berdiri berdampingan, aku melihat mereka dengan perasaan hancur, kenapa lagi aku harus bertemu dia dalam kondisi seperti ini, kenapa Tuhan belum juga puas mengujiku dengan mempertemukan aku dengannya lagi disini!!!.
"Mas Abi..." Fania memanggil namanya dengan manja, perutku langsung mual. Kepalaku pusing dan beberapa menit kemudian pandanganku berubah menjadi hitam. Ya Tuhan aku mohon jika aku bangun semua ini hanya mimpi saja ya, aku tidak kuat jika kau uji lagi dengan membuat aku sebagai orang yang bertanggung jawab mengurus pernikahan kedua dari mantan suamiku.
****
"Claudi bangun nak... Claudi...." Aku seakan mendengar suara kedua mertuaku, aku mengucek mata dan melihat kedua mertuku kini berdiri di sampingku.
"Loh sejak kapan Mami dan Papi datang, bang Abi ya yang bukakan pintu?" aku melihat box bayi Ghami dan Box itu terlihat kosong, aku berusaha untuk berdiri, tapi tangan Mami menahan langkahku.
"Sayang... kamu harus tabah ya nak" ujar Papi, Mami menangis dan aku terlihat bingung melihat mertuaku datang dengan tiba-tiba kemudian menangis, dan beberapa menit kemudian darahku langsung berdesir, apa jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan Abi dan Ghami.
"Mami, ada apa sebenarnya... kenapa Mami dan Papi terlihat aneh" balasku tak sabaran, Mami memelukku begitupun Papi.
"Kamu yang kuat ya nak, mungkin Tuhan sekarang menguji keluarga kita dengan musibah" ujar Mami, musibah? Musibah apa... kok semakin aneh ya ucapan Mami.
"Mi, ada apa... ayo jangan basa basi... beritahu Claudi apa yang terjadi... apa jangan-jangan bang Abi... bang Abi kecelakaan? Atau.. atau Ghami...?"
Mami semakin menangis ketika aku menyebut nama Ghami, instingku sebagai Ibu memberitahu jika benar telah terjadi sesuatu dengan Ghami.
"Ghami kenapa Mi... ayoooo beritahu Claudi!!!" bentakku dengan kasar, aku yang semakin tidak sabaran langsung berlari keluar walau sakit bekas operasi semakin terasa menyakitkan. Aku tidak peduli dengan teriakan Mami memanggil namaku, yang aku tau saat ini aku harus mencari Abi, dia harus memberitahu apa yang sedang terjadi, dengan berkaki telanjang aku menyusui jalanan komplek perumahan, setauku tadi Abi memberitahu akan membeli s**u di minimarket yang ada didalam komplek, aku langsung berlari kesana dan melihat suasa masih ramai, aku melihat sepasang ibu-ibu berjalan sambil berbisik pela,.
"Kasihan ya, bayi sekecil itu...." Dadaku langsung berdetak tak karuan. Aku langsung menghampiri ibu-ibu tadi.
"Ibu kenapa bayi itu, kenapa dengan anak saya" tanyaku dengan histeris, mereka saling berpandangan. Aku melihat mertuaku sedang berlari mengejarku.
"Ibu saya tanya, kenapa dengan bayi saya!!!!! Ayo katakan!!!!' ujarku semakin frustasi, ibu itu berusaha menenangkan aku.
"Setau saya dan dengar dari para saksi yang tau kejadian, tadi bayi itu ditinggal di mobil sendirian oleh ayahnya yang turun membeli sesuatu di minimarket, ayahnya lupa membuka kaca mobil dan ayahnya lumayan lama di dalam kira-kira 30-45 menit nah ketika akan kembali untuk pulang, bayi itu sudah nggak sadar, nadinya lemah dan ayahnya langsung membawanya ke rumah sakit" aku langsung luruh ke lantai, ya Tuhan Abi!!! tega sekali dia meninggalkan anak kami di mobil sendirian!!!!
"Ghamiiiiiiiiiiiiii" aku semakin histeris dan kesadaranku hilang seketika.
****
Tbc