Bab 2

1684 Words
Hujan deras yang turun tidak menghalangi niatku untuk pergi ke tempat yang ingin sekali aku kunjungi malam ini juga, pertemuan kembali dengan dia setelah bertahun-tahun membuka kembali luka hati yang belum pernah mengering ini. Aku tidak peduli dengan hujan dan juga kesunyian jalan setapak yang aku lewati di malam ini, hanya suara tetesan hujan yang terdengar mengiringi setiap langkah kakiku. Langkahku terhenti di depan sebuah nisan mungil bertuliskan nama putri kesayanganku. Ghamilla Hendrawan Binti Abimanyu H Andai aku bisa memilih, aku akan menghapus nama pembunuh itu dari nisan anakku, tapi mau tidak mau nama itu harus dan wajib tertulis di sana, karena dia ayah kandungnya. Meski untuk menjadi seorang ayah dia sungguh tidak pantas. Aku terduduk di samping nisan Ghami dan kembali airmata tumpah ruah di pipiku, sudah berbulan-bulan aku tidak mengunjungi rumah baru putriku, bukan karena aku melupakannya tapi karena aku tak sanggup membaca nama pria itu, darahku mendidih dan amarah langsung memenuhi segenap relung sanubariku setiap mengingat masa laluku bersamanya. Aku bisa memaafkan dia ketika ia berbuat banyak kesalahan di waktu kami masih menikah tapi aku tidak bisa memaafkan dia ketika dia dengan kebodohan dan kecerobohannya membuat nyawa putriku melayang. "Apa kabar Ghami sayang... maaf Bunda baru datang mengunjungi kamu hari ini" suaraku bergetar menahan tangis yang masih keluar dari mulutku, tanganku menyentuh setiap huruf namanya yang tercantum di nisan itu. Hanya 7 hari Tuhan mengizinkan aku memeluknya, hanya 7 hari Tuhan membuat aku bisa merasakan hangatnya tubuh mungilnya dan hanya 7 hari aku bisa memberinya ASI meski aku harus sedikit kesakitan karena ASI yang keluar tidak sesuai dengan kebutuhannya. Aku memegang dadaku yang semakin sesak, andai saat itu aku tidak memintanya membelikan s**u formula, andai saat itu luka bekas operasi yang masih belum kering tidak meradang, mungkin kini putriku masih ada di sisiku, mungkin aku masih bisa bersamanya. "Arggggghhh penyesalan memang selalu datang belakangan.... maafin Bunda nak, andai Bunda melarangnya membawamu... Andai Bunda bersikeras menahan dia yang bersikeras membawamu pergi malam itu, mungkin kini kamu masih ada di sisi Bunda" ujarku semakin lemah, tubuhku semakin menggigil akibat siraman air hujan. "Ghami... Ghami..." suaraku semakin sayup terdengar, aku membaringkan tubuhku di samping makamnya dan aku menutup mataku yang semakin berat. **** "Kasihan ya wanita ini... apa nggak punya rumah ya Pa kok bisa-bisanya tidur di kuburan" suara anak kecil terdengar pelan di telingaku, sinar matahari membuat mataku silau, aku membuka pelan dan terlihat seorang anak kecil berdiri di samping pria yang aku tebak pasti ayahnya. "Ayo Mila kita pulang" ujar pria itu, aku berusaha berdiri tapi karena pusing yang tiba-tiba menyerang keseimbangan tubuhku menghilang, rasanya sebentar lagi aku akan kembali jatuh ke tanah, tapi sebuah tangan terasa menyentuh pinggangku, aku melihat pria itu kini sudah berada di sampingku. "Ma...makasih" aku berusaha menjauhi pria itu, aku sadar kini diriku sungguh seperti pengemis dengan baju kotor dan aku tidak mau baju kotorku merusak baju bersihnya. "Rumah Ibu di mana, saya dan anak saya akan mengantar Ibu pulang" katanya dengan sopan, aku menggeleng menolak tawarannya. "Terima kasih, tapi saya masih ingin di sini..."balasku, dia hanya diam. Aku melihat anak kecil yang ada di sampingnya, aku memberinya senyum. Anak itu membalas senyumanku, ah sungguh sangat cantik anak pria ini, aku tebak pasti usianya 5 tahun. Andai Ghami masih hidup mungkin kini dia juga sebesar anak ini. "Ayo Mila kita pulang, Papi mau ke kantor" ujarnya, oh anak itu bernama Mila. Namapun hampir sama, Ghamila dan Mila. Aku menyukai anak ini, semoga dia tumbuj menjadi anak yang pintar dan juga cantik. "Permisi Tante, Mila pulang dulu ya... sampai bertemu lagi" ujarnya sambil melambaikan tangan mungilnya, aku membalas dengan anggukan dan juga lambaian tangannya. Setelah kepergian mereka, aku kembali menatap makam Ghami, aku menyimpan setiap kenangan singkatku bersamanya di hati dan benakku, mungkin benar kata psikiater yang dulu sempat merawatku, mungkin dengan merelakan kepergiannya hidupku bisa kembali seperti dulu. "Ghami, Bunda janji tadi malam terakhir kalinya Bunda menangisi kamu, Bunda akan kuat... kamu selalu beri Bunda kekuatan ya nak, Bunda akan kembali menjadi Bunda yang bisa kamu andalkan, bukan Bunda yang cengeng dan menye menye... Bunda nggak tau apa yang akan terjadi kedepannya, sekali Bunda bertemu dengan dia, pasti kedepannya Bunda akan bertemu lagi, dan Bunda harap kamu mau menguatkan Bunda ya" aku mencium pelan nisan Ghami sebelum aku pulang. **** Aku menerima kartu nama klien baru yang katanya kemarin datang untuk menggunakan jasa Wedding Organizer milikku. Fania Gunawan Hmm nama yang cantik, pasti orangnya secantik namanya. Sarah memberikan catatan yang di inginkan pasangan itu untuk pernikahannya. Aku mulai membaca satu persatu, pasangan yang lucu mereka menginginkan pernikahan bertemakan unik. Tiba-tiba bayangan pernikahanku dulu cocok dengan keinginan klien ku ini, dengan tema yang sama, mereka ingin membuat pernikahan sama seperti pernikahanku dulu. "Bagaimana mbak, kita sih belum pernah menerima klien dengan permintaan sebanyak ini, tapi dari arah pembicaraan mereka berapapun biayanya mereka tidak peduli" ujar Sarah, tema ini memang tidak murah, membeli perlengkapannya saja sudah menghabiskan setengah Budjet pernikahan biasa. "Kamu yakin mereka menginginkan pernikahan seperti ini?" tanyaku sekali lagi, Sarah mengangguk yakin. Aku menghela nafas, mau tidak mau jika klien menginginkan pernikahan seperti itu, aku harus siap meski bayangan masa lalu kembali akan aku temukan. Bunyi ketukan di pintu membuatku dan Sarah melihat siapa yang datang, aku melihat seorang wanita yang aku tebak masih berusia 25 tahun berdiri dengan anggunnya, dia hanya mengenakan dress sederhanan berwarna hitam dan rambutnya di biarkan tergerai di bahu indahnya. Sungguh wanita anggun sangat terbanding terbalik denganku kini yang sudah sangat jarang merawat diri semenjak melahirkan Ghami. "Mbak ini klien yang kemarin datang" ujar Sarah, aku langsung berdiri dan dengan tergesa-gesa aku menghampirinya, aku menyalaminya dan mempersilahkan untuk duduk. "Maaf Ibu, kemarin saya sedang tidak ada di tempat ketika Ibu datang" kataku dengan ramah, wanita itu tersenyum dan aku semakin memberinya nilai 100 setelah melihat wajah ramahnya. "Panggil saja saya Fania atau Fani, jangan Ibu... saya masih muda kok" ujarnya lembut, suarapun sangat halus dan merdu pokoknya makhluk yang ada di depanku ini bernilai perfect!!! "Oke Fani, Sarah sudah memberitahu saya jika Fani menginginkan konsep pernikahan lain dari yang lain, saya rasa pasangan muda sekarang sudah sangat jarang menginginkan pernikahan ribet seperti ini" ujarku, dia tersenyum dan membuka tasnya. "Aku yakin mbak bisa mempersiapkan pernikahan yang aku impikan itu, dan untuk itu saya datang menyerahkan ini" dia menyerahkan sebuah amplop kepadaku, aku bingung apa isi amplop itu, dengan pelan aku mengeluarkan isinya. Sebuah cek bertuliskan nominal yang tidak sedikit. "Ya ampun ini terlalu banyak Fani, lagipula saya belum menghitung berapa biaya yang dibutuhkan" aku kembali menyerahkan amplop itu, itu sangat sangat banyak untuk tanda jadinya. "Pegang saja, mungkin nanti mbak membutuhkannya... sisanya akan saya bayar ketika acara sudah selesai" ujarnya, aku hanya mengangguk dan melihatnya berdiri. "Ah iya mbak, seharusnya saya datang dengan calon suami saya, tapi sepertinya hari ini dia sangat sibuk, nanti saya kami kembali datang membicarakan persiapan apa saja sebelum pernikahan kami, by the way saya belum memberitahu ya jika pernikahan kami tanggal 8 Mai, kurang lebih 3 bulan lagi" aku kembali kaget mendengar dia menyebutkan tanggal pernikahannya, 8 Mai tanggal yang sama dengan ulang tahunku dan juga tanggal pernikahanku dulu. Siapa wanita ini!!! kenapa dia selalu mengingatkan aku akan masa lalu. "Baiklah saya permisi dulu" ucapannya membuyarkan lamunanku, Aku tersenyum terpaksa dan membiarkan dia pergi begitu saja. Sarah mendekatiku dan melambaikan tangannya di depan wajahku. "Gimana mbak, oke kan klien kita... gila kasih DP sebesar itu, ini sama saja kita menerima klie 5 orang mbak" ujar Sarah antusias, ya memang cek yang diberikannya bisa menutupi kerugian perusahaan, tapi tetap saja aku sedikit tidak nyaman melihatnya, entah karena apa. **** Aku membuka pintu apartemen dengan gontai, mempersiapkan acara pernikahan bertema aneh sungguh sangat melelahkan, langkahku terhenti ketika melihat sepucuk suruh berada di lantai, aku langsung memungutnya dan membaca surat yang ternyata dari pihak bank. Surat yang memberitahu jika tunggakan cicilan apartemenku sudah jatuh tempo, ini bulan kelima aku menunggak dan jika sampai lusa aku tidak melunasinya, maka pihak bank akan menyegel apartemen ini dan itu berarti aku harus pindah, sedangkan hanya ini satu-satunya tempat aku berteduh. "Seratus Dua Puluh Enam Juta" aku mengeja jumlah uang yang harus aku bayar, arghhhh dari mana uang sebanyak itu, aku masih menatap surat itu... menjual apartemen ini dan pindah ke tempat yang lebih kecil bukan masalah gampang apalagi keadaan ekonomi negara memang sedang jatuh. "Apa aku gunakan saja uang dari klien tadi, memang banyak sisanya setelah aku hitung-hitung... untungnya supplier mau berbaik hati memberi diskob gede, jadi keuntungangan untuk perusahaan bisa aku pergunakan dulu" ujarku pelan, aku menarik nafas dan membuangnya, satu masalah akhirnya selesai aku pecahkan dan aku bersyukur tadi wanita itu memberikan uang muka sebanyak itu. "Akhirnya masalahku satu persatu terselesaikan" aku berteriak senang dan memutari setiap ruangan apartemen dengan bahagia sambil melepaskan bajuku satu persatu. Aku mengambil daster buluk ku lagi yang tergelatak di lantai. Masa bodoh daster itu bau karena belum sempat aku cuci, yang terpenting daster itu kini terpasang dengan indah di tubuhku. Aku kemudian duduk di depan TV dengan banyak cemilan di tanganku, aku menghidupkan kembali DVD yang biasa aku putar, kali ini aku melihat diriku dalam video mengenakan gaun pernikahan, aku melihat senyum tidak pernah hilang dari wajahku, mungkin saat itu hari paling membahagiakan di hidupku selain ketika Ghami lahir. "CLAUDI!!!!" aku mendengar suara pria itu memanggilku, aku menggigit bibirku dengan keras, hingga rasa asin bisa aku rasakan. "ABI, ADUHHHHHHH SUDAH AKU BILANG KAMU BELUM BOLEH MASUK!!!! PAMALIIIIII" ujarku saat itu, aku mendengarnya tertawa. "Aku kangen Claudi, sudah 1 minggu kita tidak bertemu, stttsss makanya jangan berisik nanti saudara-saudara ada yang dengar" balasnya, aku sedikit tertawa mendengar ucapannya. "Makanya jangan masuk, keluar nggak atau aku teriak nih!!! Aku bilang aja kamu mau mesumin aku" "Teriak aja, nggak takut" aku melihat kamera semakin mendekatiku, aku melihat dia meletakkan kamera itu diatas kasur dan mengarah ke dinding, aku mendengar suara tawa kami berdua, aku ingat dia mendekatiku dan memeluk pinggangku, bahkan dia sempat menciumku. Tayangan kemudian berhenti. "Saat itu aku mengira kita akan bahagia, saat itu aku mengira meski kita menikah karena perjodohan, kita akan bahagia Abimanyu... ternyata tidak, penderitaanku kini semua karena kamu!!! Hidupku tidak pernah bisa bahagia lagi dan semuanya karena kamu" ujarku sinis. Aku mengambil DVD itu dan hendak mematahkannya, tapi aku mengurungkan niatku dan kembali meletakkan DVD itu di tempatnya lagi. "Tolong jangan pernah tunjukkan wajahmu lagi di depanku, jangan biarkan aku kembali terluka" aku meninggalkan album DVD berisi puluhan videoku dengannya, entah kenapa aku masih menyimpannya. Karena aku membencinya atau mungkin karena ini satu-satunya cara aku untuk melihat wajahnya. Entahlah.... **** Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD