Bab 1

1529 Words
Claudia Pov "Klien kantor ini semakin lama semakin menurun hufttttt, yang biasanya 10 - 15 acara pernikahan... menurut laporan bulan lalu hanya 1 dan itupun kita merugi," aku meletakkan map berisi lembaran putih bertuliskan laporan bulanan. Ini sudah  bulan kelima Wedding Organizer yang aku dirikan dengan susah payah mengalami penurunan omset. Pening di kepala membuat mood ku semakin memburuk semenjak tadi pagi kembali naik turun, entah sudah berapa banyak gelas kopi terletak di atas meja kerjaku. Aku melirik Sarah, asisten yang kini tinggal satu-satunya di kantor ini, semenjak sepinya kunjungan klien mau tidak mau aku harus merampingkan para pegawai, bukan karena perhitungan tapi aku merasa bersalah jika anak buahku telat menerima gaji. Untungnya Sarah mengerti jika aku selalu telat memberinya gaji dan bonus bulanan yang dulu sering aku beri, kini sudah sangat jarang aku berikan. "Apa sebaiknya... sebaiknya kita tutup kantor ini mbak, daripada mbak selalu merugi," ujar Sarah sedikit takut, ia menunduk setelah mengatakan itu. Sebenarnya ada benarnya perkataan Sarah. Aku selalu merugi tiap bulan semenjak klienku satu persatu pindah haluan ke Wedding Organizer lain yang memberi harga murah tapi kualitas tidak terjaga. "Tapi... kantor ini satu-satunya peninggalan...." aku menghentikan ucapanku, lalu aku berdiri dan berjalan kearah jendela. Aku melihat awan di langit. Awan yang selama 5 tahun ini selalu menjadi tempat aku berkeluh kesah. "Awan... apa yang harus aku lakukan? Apakah Sarah benar? Aku harus menutup perusahaan ini? Tapi... perusahaan ini satu-satunya penyemangat hidupku,"  aku berulang kali menghela nafas, berat memang terasa. Aku memutar tubuhku dan melihat Sarah kembali menatapku meski di wajahnya selalu tersirat ribuan pertanyaan yang mungkin iapun takut untuk bertanya kepadaku. "Saya akan pikirkan apa yang kamu sampaikan tadi Sarah... beri saya waktu hingga akhir bulan ini, jika tak ada lagi klien baru memberi pekerjaan kepada kita, mau tidak mau Ghamilla Wedding Organizer terpaksa kita tutup," ujarku pelan. Sarah mengangguk dan meninggalkan ruangan kerjaku. Aku kembali memijit keningku yang terasa berat. Ya, lagi-lagi kopi yang bisa menyelesaikan masalah yang tiada berhenti semenjak dulu.... **** Aku membuang tas dan juga sepatu ke sembarangan tempat sesampainya di rumah. Lelah, penat dan juga muak semakin menyatu menjadi satu dan sepertinya aku butuh air dingin untuk mendinginkan aura panas yang ada di otak dan juga hatiku. Aku membuka kulkas dan mengambil sebotol air mineral yang untungnya masih tersisa satu botol. Aku membuka tutupnya dan langsung meneguk air itu, ada yang aneh dengan rasanya. Aku menyemburkan air yang ada di mulutku ke dalam bak cuci piring. "Sial!Air ini kok aneh sih rasanya," ujarku kesal, aku mencari tanggal kadaluarsanya, dan kembali aku tersedak membaca tanggal yang ternyata sudah 5 bulan jatuh kadaluarsanya. Aku membuang botol itu ke lantai sedikit mengumpat, botol itu aku injak berulang kali dan mencaci maki dengan kata-kata yang tidak selayaknya aku keluarkan, aku berhenti ketika melihat botol itu sudah tidak berbentuk utuh akibat amukanku tadi. Aku mengambil botol itu dan membuangnya ke tong sampah, kesal dan juga amarah sedikit berkurang meski ganjalan di hati selama 5 tahun ini entah kapan bisa aku singkirkan. Aku membuka kancing kemeja danhendak mengganti baju kerjaku dengan daster buluk yang selalu aku kenakan jika aku hanya berada di rumah, lagian aku hanya tinggal sendiri dan tidak bakal ada satu orangpun yang akan bawel melihat gaya berpakaianku ini. Aku menatap garis halus yang berada di perut bagian bawah melalui cermin lemari, aku hendak menyentuhnya tapi otakku melarang, aku menggelengkan kepala dan menatap wajahku melalui cermin. "Claudi! sudah berulang kali aku ingatkan, jangan pernah sentuh garis itu dengan tangan jahatmu!" ujarku memberi peringatan kepada diriku sendiri. Aku mengangguk tanda mengerti dan aku langsung mengenakan daster yang sudah compang camping itu kedalam tubuhku. Entah sejak kapan aku hidup dalam duniaku sendiri, menjauhi kehidupan luar dan lebih memilih mengurung diri di apartemen. Aku tidak peduli dengan kehidupan sosial di luar sana, bagiku hidupku hanya di kantor dan apartemen, jika aku tidak ada di kantor aku pasti ada di apartemen begitupun sebaliknya. Aku mengambil remote TV kemudian memutar DVD yang wajib aku hidupkan 3 x sehari, pagi sebelum pergi kerja, sore setelah pulang kerja dan malam menjelang tidur, karena hanya DVD ini yang bisa membuatku menutup mata. Aku tertawa terbahak-bahak ketika melihat tayangan seorang wanita berperut besar mengeram kesakitan, sedangkan tangannya dan juga mulutnya tidak berhenti mencaci maki. Tawa tadi sedikit demi sedikit berubah menjadi isak tangis ketika menit berikutnya aku melihat tangan seorang pria mengelus perut besarnya. "Anak ayah buruan keluar dong... nggak kasihan apa lihat Bundanya kesakitan," ujar suara pria itu. Aku semakin meneteskan airmata. "Aku lebih memilih untuk kesakitan daripada aku harus merelakan kamu mencabut nyawa putriku!" teriakku histeris, video itu masih memutar bagaimana dulu ada sepasang suami istri yang sempat bahagia dan saling menjaga kini berubah menjadi orang asing. **** Aku terbangun dan melihat layar TV tadi sudah berubah menjadi biru, aku tau semua inilah yang membuatku susah untuk sembuh dari luka hati, bagaimana mau sembuh sedangkan setiap hari aku harus mendengar suara pria itu, suara orang yang paling aku benci di dunia ini!!!. Aku mengikat rambut ikalku yang berantakan, aku melihat ke arah jam di dinding, masih setengan 7 malam. Perutku berbunyi tidak karuan minta di isi dengan makanan, sedangkan di rumah ini bahan makanan sangat jarang bisa aku temukan. Aku memilih makan di luar sebelum aku kembali ke apartemen, tetapi karena hari ini nafsu makanku sedang jelek, aku membatalkan niatku untuk membeli makanan tadi. "Melewatkan makan malam sehari tidak akan membuat orang meninggal," ujarku santai, meski perut lapar tapi malas yang menyerang membuat aku membatalkan niat untuk pergi membeli makanan meski kini jaket sudah berada di tanganku. Bunyi dering ponsel, membuyarkan kebengonganku. Aku berlari mencari ponsel yang entah berada di mana, sampah dan juga pakaian kotor yang menyerak di lantai membuatku sedikit kesulitan mencari di mana ponselku berada. Setelah berhasil menemukan ponsel, aku melihat nama Sarah di layar ponselku. "Halo Sarah, tumben kamu menghubungi saya malam-malam begini? jangan bilang kamu mau ajak saya bertemu teman kamu itu lagi?" tebakku asal, Sarah memang tidak tau masa laluku, akupun tidak mau ada yang tau jika aku adalah seorang janda, Sarah menganggap aku wanita dewasa yang kesepian karena tidak memiliki pria, makanya ia sangat rajin mencarikan pria untuk di jodohkan denganku, sayangnya untuk saat ini aku merasa pria hanyalah makhluk paling menjijikkan makanya aku selalu menolak secara halus setiap ajakannya. "Hahahaha kok tau mbak kalo aku mau ajak mbak keluar makan malam" "Ya taulah, seorang Sarah akan menghubungi saya malam-malam jika bukan untuk mengajak keacara perjodohan kalo nggak ya menyangkut pekerjaan, berhubungan pekerjaan nggak mungkin ada bagi perusahaan yang dalam hitungan hari ini bakalan pailit" "Stssss mbak ini... saya menghubungi mbak masalah pekerjaan kok, tadi ketika saya hendak menutup kantor, tiba-tiba ada sepasang pria dan wanita datang menanyakan jasa kita, lah aku saking senangnya langsung menjelaskan satu persatu paket acara pernikahan yang selama ini kita jalankan, dan mereka seperti tertarik... tapi aku belum sempat beri harga mbak, takut salah-salah... makanya aku minta mereka datang lagi besoj untuk bertemu mbak..." "Serius kamu!!!" "Darius mbak!!!! ngapain bohong... gini aja, aku ada di dekat apartemen mbak lagi beli makanan sama pacar aku, kalo mbak nggak percaya aku ada bawa kartu nama klien itu, siapa tau mbak butuh..." "Oke oke... saya kesana, awas jangan pergi sebelum saya datang" Saking gembiranya mendengar berita baik dari Sarah, dengan tergesa-gesa aku mengenakan jaket yang ada di tangan dan lupa jika aku masih mengenakan daster buluk yang seperti kain pel itu. **** Aku melihat Sarah duduk di pojok restoran dengan Bima, pacarnya. Aku melambaikan tangan, tapi wanita yang sedang di mabuk cinta itu tak sedikitpun melirikku, matanya masih mengeluarkan kilatan cinta. Huhh dia tidak tau saja cinta itu bullshit!!!. "Maaf mbak restoran kami tidak bisa mengizinkan pengemis masuk" pelayan menahan langkahku yang hendak masuk, aku hendak melabraknya ketika aku sadar penampilanku kini memang seperti pengemis dan wajar dia melarangku untuk masuk, aku mencari ponselku dan ternnyata aku baru ingat tadi aku lupa membawanya. "Maaf Pak, saya bukan pengemis dan saya kesini untuk bertemu teman saya, itu orangnya" aku menunjuk kearah Sarah, pelayan itu melirik ke arah Sarah tapi berhubung Sarah sibuk dengan pacarnya, lagi-lagi pelayan itu seolah meledekku yang mengaku-ngaku punya teman secantik Sarah. "Maaf mbak, lebih baik mbak tunggu diluar saja, kasihan para tamu sudah mau masuk tapi enggan ketika mbak masih ada disini" et dah semakin lancang ini pelayan, dikiranya aku wabah penyakit apa!!! aku hendak mendampratnya ketika aku merasakan tanganku ada yang menggenggam. "Aduhhhhhhh" teriakku, dia masih menarik tanganku, aku tidak terlalu jelas melihat wajahnya karena gelap. "Kamu bikin malu keluar dengan pakaian seperti ini" suara itu!!! suara yang paling aku benci!!!! aku menegang dan tanganku bergetar. Aku mundur beberapa langkah dan menggeleng pelan kepalaku, ya ini hanya mimpi tidak mungkin aku bertemu lagi dengan dia. Ya, dia!!! dia yang dengan teganya memembuat Ghami pergi!!! dia yang seharusnya menjadi pelindung putriku malah menjadi pencabut nyawa putri yang baru 1 minggu hadir di dunia ini. "A..Abi!!!" teriakku seakan jijik memanggil namanya. "Ya aku!!! siapa lagi yang bisa mengenali kamu dari jauh" ujarnya santai, aku tertawa lirih, dia tidak berubah meski waktu sudah lama berlalu, ketidak acuhannya akan perasaanku sejak dulu tidak pernah berubah. Aku enggan melihat dan berbicara dengannya, dengan cepat aku menghentakkan tangannya yang berada di lenganku. "Jangan pernah sentuh aku lagi... PEMBUNUH!!!" ujarku kasar, wajahnya menegang dan ia melepaskan pegangannya, setelah yakin aku terbebas darinya dengan cepat aku berlari meninggalkan penyebab luka hati dan juga kesedihan yang selama 5 tahun ini ada di hidupku. "Ya Tuhan!!! kenapa kau pertemukan aku lagi dengannya, kenapa!!!!" ujarku dalam hati. **** Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD