"Benar. Seperti yang kamu pikirkan. Ini, adalah cincin pernikahanku."
Miko menarik kasar tangan Shanum, hingga Shanum terpekik karnanya. Lalu, dilepaskannya cincin itu secara paksa dari jari Shanum. Napasnya memburu kala melihat di dalam cincin itu terukir nama Shanum, juga Ahsan.
"Apa, maksudnya ini?" Matanya menggelap, kala melontarkan tanya itu.
Shanum menatap datar pada Miko. Meski, sebenarnya tubuhnya kini panas dingin menahan ketakutan. Takut, Miko akan berbuat nekat karna emosinya. Biar bagaimana pun, Shanum tau seperti apa Miko jika sudah emosi.
"Seperti yang kamu lihat. Itu, adalah cincin pernikahanku." Sebisa mungkin, Shanum mengontrol nada suaranya agar terdengar tenang.
Suara gebrakan di atas meja terdengar kencang.
Shanum berjingkat kaget, karna Miko memukul meja di depannya. Tanpa disadari, air mata Shanum luruh begitu saja saking takutnya.
Terdengar, suara ketukan. Mereka berdua, kompak menoleh ke arah pintu yang terbuka. Terlihat, Ahsan masuk dengan tenangnya.
Berjalan melewati Miko, yang reflek melepas tangan Shanum, Ahsan meraih kepala Shanum begitu saja. Dikecupnya kening Shanum lembut, lalu tangannya beralih merangkul Shanum.
Ekspresi kaget terlihat dari wajah Ahsan, kala ia melihat sang istri menangis.
"Kamu kenapa, Bun?" Kini, giliran Shanum yang kaget mendengar panggilan Ahsan untuknya.
"Bun? Apa barusan maksudnya, dia memanggilku bunda?" Bathin Shanum bertanya.
Ahsan cuek, meski dia melihat tatapan tak biasa Shanum padanya.
"Oh, maaf jika saya mengacuhkan anda. Apa, anda client istri saya? Perkenalkan, saya Ahsan. Suami Shanum." Miko menatap emosi pada wajah Ahsan yang tersenyum ramah. Bahkan, tangannya yang sedari tadi terkepal ketika melihat adegan manis di depannya enggan membalas uluran tangan Ahsan. Sungguh, dia terbakar cemburu saat ini.
Ahsan menarik kembali tangannya, karna Miko tak kunjung membalas uluran tangannya.
"Ehm ... jadi ... jika anda bukan client istri saya, boleh kami berpamitan sekarang?" Miko masih bergeming menatap Shanum yang berada dalam rangkulan Ahsan.
Ahsan menoleh pada Shanum. "Kamu, mau beresin tas kamu dulu, ga?" Ahsan melepas rangkulannya, lalu meraih tas Shanum yang berada di atas meja.
"Berhenti!" Miko mencekal lengan Ahsan yang masih memegang tas Shanum.
Ahsan menatap lengannya yang dicekal Miko, lalu beralih menatap mata Miko langsung.
"Apa, maksudnya ini?" tanyanya pada Miko.
"Siapa lu, berani merangkul dan mencium cewek gue?!" Hardik Miko.
Tanpa menjawab, Ahsan langsung menghentak lengannya hingga terlepas.
"Lu sendiri, siapa? Berani mengakui Shanum sebagai cewek lu?" tak kalah garang, Ahsan berjalan mendekati Miko.
"Asal lu tau, dia itu calon istri gue," ucap Miko tanpa tahu malu.
Ahsan tertawa mengejek, lalu menatap remeh pada Miko.
"Oh. Ternyata, lu lelaki baik hati itu." Miko mengernyitkan alisnya, tak mengerti kenapa bisa lelaki di depannya menyebut dia sebagai lelaki baik.
"Maksud lu, apa?" Miko mencengkram kerah kemeja Ahsan.
"Ga ada maksud apa-apa. Cuma, gue mau berterima kasih aja sama lu." Ahsan menanggapi dengan santai, meski cengkraman pada kerahnya makin kuat.
"Buat apa, lu berterima kasih sama gue?"
"Buat perbuatan lu dulu, yang ninggalin Shanum begitu aja saat pernikahan kalian. Jadi, dengan beruntungnya gue bisa nikahin dia gantiin lu. Makasih banyak, Bro." Ahsan menepuk lengan Miko.
Geram dengan jawaban Ahsan, Miko langsung men*njok Ahsan keras hingga Ahsan tersungkur. Shanum menjerit melihatnya.
"b******k ...." Lagi, Miko meraih kerah baju Ahsan dan hendak melayangkan pukulannya. Namun, tangannya sudah lebih dahulu ditahan oleh Budi dan Aji, satpam dan pegawai butik Shanum.
Risa yang masuk dan menyaksikan kakak iparnya hendak dipukul Miko, merasa geram dan balas memukul Miko yang tengah ditahan itu.
"Lu yang b******k! Berani-beraninya lu mukul kakak ipar gue." Shanum menahan adiknya itu, agar tak memukul Miko lagi.
Sambil meringis merasakan sakit di pipinya, Ahsan berdiri dibantu oleh Shanum.
"Gue pastiin, lu bakal menginap di penjara karna berani memukul suami gue," ancam Shanum pada Miko.
"Ga perlu, Bun. Ayah ga mau memperpanjang masalah ini." Ahsan membelai lembut kepala Shanum.
"Bawa dia keluar, Mas Budi!" perintah Ahsan, yang langsung diangguki Budi.
"Kita ke rumah sakit sekarang, ya?" pinta Shanum.
"Ga perlu. Kita, langsung pulang aja." Tolak Ahsan, yang langsung diangguki Shanum. Shanum pun, memapah Ahsan keluar.
Di parkiran, Shanum bingung harus pulang dengan menggunakan mobil siapa. Pasalnya, mereka berdua sama-sama berangkat bekerja dengan mobil masing-masing.
Mengerti jika Shanum tengah bingung, Ahsan menyuruh Shanum untuk menggunakan mobil Shanum saja. Biarlah nanti mobilnya dijemput bawahannya. Karna jujur saja, Ahsan merasa sedikit pusing pasca mendapat pukulan tadi. Ia, khawatir tak akan sanggup untuk fokus menyetir dan bisa menyebabkan kecelakaan.
***
"Shh ...." Ahsan meringis, saat Shanum menempelkan kompresan es batu di pipinya.
"Maaf," ucap Shanum menyesal. "Harusnya, Mas ga perlu meladeni Miko sejak awal."
Ahsan, mendesah lelah. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi, lalu menutup kedua matanya dengan lengan.
"Bisakah, kita ga membahas hal ini sekarang? Mas, lelah dan ingin istirahat dulu," ucap Ahsan ketus.
"Maaf." Hanya itu, yang bisa Shanum ucapkan. Sadar, jika kalimatnya barusan salah. Harusnya, dia berterima kasih pada suaminya itu, bukan justru melontarkan kalimat seperti tadi. Membuat kesan, jika dia tak memerlukan bantuan Ahsan tadi.
Ahsan mengintip Shanum yang berlalu meninggalkannya, lalu mengusap wajahnya kasar. Ia tak mengira akan mendapat panggilan telpon dari Budi, satpam di butik istrinya. Tepat, setelah dia menyelesaikan meeting dengan salah satu relasi ketringnya yang komplain dengan suplai masakannya beberapa hari lalu. Ia memang lumayan dekat dengan beberapa pegawai Shanum yang berjenis kelamin laki-laki. Dan, ia juga yang sengaja memberikan nomor ponselnya pada beberapa pegawai itu agar mereka bisa menghubunginya jika ada masalah di butik. Seperti, hari ini.
Emosinya meningkat, kala sang pegawai berkata jika mantan kekasih bosnya itu datang dan tak bisa dicegah. Beruntung, letak butik tak jauh dari tempat ia meeting bersama relasinya. Hingga, hanya butuh waktu tujuh menit saja, ia sudah sampai di butik.
Ahsan bangkit, dan berjalan menuju kamarnya. Langkahnya terhenti, karna ia tersentak kaget oleh kedatangan Shanum yang membawa secangkir minuman hangat.
"Mas, mau kemana?" tanyanya.
"Kamar." Singkat, jelas dan padat, Ahsan menjawab.
Shanum, menyodorkan cangkir yang ia bawa.
"Buat apa?" Ahsan menatap tak mengerti ke arah cangkir.
"Buat Mas. Sebagai, ucapan terima kasih karna udah nolongin aku tadi."
Ahsan menerima cangkir itu, dan membawanya ke kamar setelah ia mengucapan terima kasih. Sampai kamar, barulah minuman itu ia habiskan dalam sekali teguk. Suhu teh yang hangat, tak memerlukan waktu bagi Ahsan menunggu untuk meminumnya.
Ahsan teringat, jika tadi pergelangan tangan Shanum dicekal kuat oleh Miko. Oleh sebab itu, dia memilih bangkit untuk mengecek keadaan istrinya itu.
Benar saja, saat ia mengintip ke dalam kamar Shanum, istrinya itu tengah mengoleskan salep pada jarinya. Tanpa mengetuk atau mengucapkan salam, Ahsan masuk begitu saja menghampiri sang istri.
Diraihnya tangan Shanum tanpa permisi. Shanum terlonjak kaget, mendapati Ahsan di depannya.
"Dia, narik cincin kamu secara paksa?" tak ada suara, hanya anggukkan yang jadi jawabannya.
Ahsan mendesah.
"Sepertinya lecet. KitaM ke dokter sekarang." Itu perintah, bukan sebuah pertanyaan.
Shanum menahan tangan Ahsan yang sudah bangkit berdiri.
"Ga perlu, Mas. Aku baik-baik aja, kok." Shanum tak berbohong, lukanya memang baik-baik saja. Hanya, hatinya kini yang sedang tak baik. Pertemuannya tadi dengan Miko, cukup menyita pikirannya.
"Hari ini, ga usah masak. Kita akan makan di luar. Sekarang, istirahatlah. Jam 7 kita keluar." Sebaris perintah, yang tak boleh dibantah oleh Shanum.
***
Matahari sudah tenggelam ke peraduannya. Ahsan pun, telah siap dengan kaos lengan panjang yang dia gulung hingga ke siku. Celana chino berwarna coklat khas anak muda, melekat pas pada kakinya. Membuat penampilannya kini, bak anak kuliahan saja.
Diketuknya pintu kamar Shanum, namun tak jua ia mendapat jawaban. Beruntung, pintu tak terkunci saat ia coba membuka. Hingga, ia bisa masuk dengan mudah.
Gelap. Itu, yang pertama kali Ahsan dapati dari kamar Shanum. Tak terdengar suara Shanum, hingga membuat penasaran di mana keberadaan istrinya itu. Meraba dinding, ditekannya saklar ketika ia sudah menemukannya.
Ahsan terkejut, melihat Shanum yang bergulung di dalam selimut.
"Sha," panggilnya yang hanya direspon dengan gumaman saja.
Ahsan menyibak selimut Shanum, dan mendapati Shanum bersimbah peluh. Dirabanya dahi itu, dan panas terasa di sana.
"Sha, kamu kenapa?" tanya Ahsan sedikit panik.
"Hmm. Aku ga pa-pa ko, Mas." Meski pelan, namun masih bisa didengar jelas oleh Ahsan.
Dari suaranya, jelas Shanum tidak baik-baik saja. Segera Ahsan mengeluarkan ponselnya, dan menekan cepat nomor Tania, temannya yang merupakan seorang dokter.
"Assalamu'alaikum, Tan," ucap Ahsan saat panggilan tersambung.
"Wa'alaikumsalam, San. Ada apa?" Tania tau, Ahsan tak akan mungkin menghubunginya jika hanya untuk sekedar basa-basi.
"Bisa ga, lu ke rumah gue?" tanya Ahsan to the point.
Tania terkesiap di ujung sana mendengar permintaan Ahsan barusan. Hening, Tania bingung harus menjawab apa.
"Maaf. Maksud gue, bisa ga lu ke rumah gue dan ngecek kondisi istri gue. Badannya panas banget soalnya," jelas Ahsan yang mengerti, jika Tania bingung dengan permintaan ia yang tiba-tiba.
"Oh, ngomong dong, dari tadi. Bisa aja, sih. Kebetulan, gue lagi di jalan arah pulang. Nanti gue ke sana, ya." Tania menyetujui permintaan Ahsan.
"Ehm, tapi sorry, nih. Gue, udah ga tinggal di rumah nyokap lagi."
"Loh, terus tinggal di mana?"
"Gue kirim alamatnya lewat pesan." Setelah mengucapkan salam, Ahsan mematikan sambungan telponnya dan segera mengirimkan alamat rumahnya pada Tania.
Lima belas menit kemudian, akhirnya Tania datang bersama Rama, suaminya. Ahsan pun, langsung mempersilahkan Tania untuk langsung mengecek kondisi Shanum di kamarnya.
"Ga pa-pa kok, ini. Cuma imunnya aja yang lagi turun, kayanya. Makanya, bisa panas gini." Tania memasukkan kembali peralatannya ke dalam tas. "Apa, sebelumnya dia lagi tertekan?" pertanyaan Tania, mengingatkannya akan kejadian siang tadi di butik.
"Sepertinya." Hanya itu, jawaban yang dapat Ahsan berikan.
"Usahain, pikirannya tenang dulu, ya. Karna akan sulit meningkatkan imunnya, jika dia dalam keadaan tertekan gini," pesan Tania sambil menyerahkan resep yang harus ditebus Ahsan.
Ahsan mengucapkan banyak terima kasih pada Tania dan Rama, yang rela datang ke rumahnya malam-malam begini.
"Oh iya. Semisal nanti panasnya ga turun juga, gue saranin buat skin to skin supaya suhu tubuhnya cepat normal lagi," pesannya lagi, sebelum ia masuk ke mobil dan meninggalkan rumah Ahsan.
Ahsan mengangguk, lalu melambaikan tangan saat mobil itu mulai bergerak.
Kembali ke dalam, Ahsan mengecek keadaan Shanum. Dirasa Shanum masih terlelap, gegas Ahsan mengeluarkan motornya untuk membeli obat di apotek.
Beruntung, masih ada apotek yang buka hingga 24 jam di dekat rumahnya. Hingga, ia tak perlu memutari kota untuk mencari.
Jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam, kala ia sampai di rumah. Diceknya suhu tubuh Shanum, yang masih tinggi. Ia mengambil termometer yang sengaja Tania tinggalkan tadi untuknya, lalu diceknya suhu tubuh Shanum. Layar menunjukkan angka 40,3°C. Yang artinya, suhu tubuh Shanum masih tinggi sekali.
Ahsan bimbang, haruskah ia melakukan anjuran Tania tadi. Melakukan — skin to skin. Rasanya sulit untuk Ahsan.
"Hhmm ...." Shanum, bergumam. Mungkin, efek dari panas yang tinggi itu menyebabkan Shanum mengigau.
Pasrah, pada akhirnya Ahsan menanggalkan semua bajunya. Juga, baju Shanum meski dengan susah payah. Setelahnya, Ahsan masuk ke dalam selimut dan menarik Shanum ke dalam pelukannya.