Tengah malam, Shanum terjaga karna tenggorokannya terasa kering. Perlahan, dia coba membuka matanya yang masih terasa berat. Namun, dia merasakan hal yang aneh. Bukan hanya matanya saja yang berat, tapi juga badannya.
Sedikit memaksa membuka mata sambil menahan pusing, Shanum menegang melihat d**a bidang telanjang di depannya. Dan, lebih kaget lagi saat mendapati dirinya dan Ahsan hampir polos. Jantungnya berdegup kencang, karna mendapati posisinya yang tengah dipeluk Ahsan.
Ahsan yang merasakan pergerakan dari Shanum, terbangun karnanya. Saat netranya bertatapan dengan sang istri, barulah dia tersadar jika posisi mereka saat ini tidaklah bagus. Buru-buru Ahsan menggeser tubuhnya, dan meraih celana panjang yang sengaja ia letakkan di pinggir ranjang.
"Maaf," ucapnya sambil memakai celana.
Sedang Shanum, mengalihkan pandangannya. Merasa gugup melihat keadaan mereka berdua kini. Pipinya memerah. Bukan hanya karna demam yang dideritanya. Melainkan, juga karna rasa malu yang teramat. Ada desir halus yang tiba-tiba datang, saat ia mengingat posisi mereka tadi.
"Apa, terjadi sesuatu di antara kita?" tanyanya takut-takut. Bukan, bukan ia menolak disentuh oleh Ahsan. Ia, hanya ingin melakukan semuanya di saat yang tepat.
"Tenang saja. Tidak terjadi sesuatu apapun pada kita. Mas, hanya membantu agar panas tubuhmu cepat turun." Ahsan berbicara membelakangi Shanum.
Shanum mendesah lega, membuat Ahsan melirik tak suka padanya. Ahsan berpikir, Shanum tak mau disentuh olehnya. Maka dari itu, Shanum menjadi lega saat ia mengatakan hal tadi.
Menepis rasa kesalnya, Ahsan memilih untuk keluar sejenak. Sebelum kembali lagi untuk menjaga Shanum, yang masih sakit.
***
Shanum mengerjapkan matanya, saat mendengar suara alarm ponselnya. Jam menunjukkan pukul 04.15, hanya tinggal beberapa menit sebelum adzan terdengar. Menoleh ke samping, Shanum merasa heran karna melihat Ahsan yang masih tertidur pulas. Padahal, biasanya ia akan bangun lima belas menit sebelum adzan terdengar.
Shanum teringat, jika beberapa kali ia tersadar dalam tidurnya, dan mendapati Ahsan masih menatap layar laptopnya. Mungkin, karna alasan begadang itulah, Ahsan jadi terlambat bangun.
Setelah menggunakan kimono, Shanum mencoba membangunkan Ahsan.
"Mas." Shanum mengguncang tubuh Ahsan, pelan.
Beberapa menit tak kunjung bangun, Shanum merasakan pusing kembali. Keseimbangannya hilang, membuat ia oleng dan jatuh tepat di atas tubuh Ahsan yang tertidur di sofa.
"Awh ...." Ahsan mengaduh, merasakan sakit di dadanya karna tertimpa Shanum.
"Kamu ngapain, Sha?" tanya Ahsan sedikit kesal. Shanum hanya diam, merasakan pusing yang masih menguasainya.
Ahsan menghela napas berat, melihat gestur Shanum. Dia yakin, istrinya itu pasti sedang menahan pusing di kepalanya.
Ahsan menyelipkan tangannya, di tubuh Shanum, diangkatnya, istrinya itu menuju ranjang.
"Istirahatlah sebentar lagi. Mas, akan bantu kamu sholat sepulang dari masjid, nanti." Shanum menurut, lalu kembali memejamkan matanya saat Ahsan sudah keluar dari kamar.
Hanya sepuluh menit, Shanum terlelap. Setelahnya, ia terjaga sambil mengecek beberapa email yang masuk di ponselnya. Untuk berdiri, ia memang belum kuat. Maka dari itu, ia hanya duduk sambil menyandar di kepala ranjang. Lalu, lima menit kemudian Ahsan kembali masuk ke kamarnya. Membantu Shanum, untuk mengambil wudhu.
Setelah menyelesaikan sholatnya, Ahsan memaksa Shanum untuk memakan sarapannya. Bubur yang sudah ia buat semalam, akhirnya bisa dimakan Shanum pagi ini. Tak lupa, jus mangga kesukaan Shanum terhidang bersamaan. Dan, terakhir obat yang sudah diresepkan oleh Tania untuknya. Semua masuk ke perut Shanum, kurang dari setengah jam.
Ahsan meminta Shanum kembali beristirahat, untuk memulihkan kondisinya. Meski panasnya sudah turun, tapi rasa pusing masih mendera Shanum hingga Ahsan memutuskan untuk libur bekerja dan menemani Shanum di rumah.
***
Sudah tiga hari, Shanum sembuh dari sakitnya. Tiga hari itu pula, Shanum selalu teringat kejadian saat ia berada dalam pelukan Ahsan. Wajahnya, masih saja memerah jika teringat akan hal itu. Dan, entah kenapa tubuhnya selalu menjadi panas secara bersamaan.
Sebenarnya, bukan hanya Shanum saja yang merasakan hal itu. Ahsan pun, merasakan hal yang sama. Terlebih, dia adalah lelaki normal. Pertama kali dalam hidupnya, ia disuguhi pemandangan indah meski sang wanita dalam keadaan sakit. Mati-matian, Ahsan mencoba menahan hasratnya. Meski, begitu sulit karna kulit mereka saling menempel pada saat itu.
Hingga kini, Ahsan sudah beberapa kali sengaja mengguyur tubuhnya di bawah kucuran shower demi menurunkan suhu tubuhnya yang tiba-tiba panas karna mengingat kenangan malam itu. Ia pun, kerap menghindari Shanum demi bisa berdamai dengan hasratnya yang semakin mendesak.
Sejak pagi, Ahsan sudah sibuk dengan pekerjaannya. Ia, bahkan masih memandangi layar ponselnya saat sarapan. Membuatnya tak sadar, jika sejak tadi Shanum tengah memperhatikannya tanpa berkedip.
"Mas, hari ini akan pulang sangat terlambat. Jangan menunggu, makan lah duluan," ucap Ahsan, saat ia pamit hendak berangkat kerja.
Shanum mengangguk, lalu meraih tangan Ahsan dan menciumnya takzim.
Desir halus itu, datang lagi menyerang Ahsan. Sebisa mungkin, ia menguasai dirinya agar tak terbawa oleh suasana. Terlebih, pagi ini ia ada pertemuan dengan supplier sayuran yang mungkin, akan jadi pemasoknya yang baru.
***
Di butik, Shanum dibuat pusing oleh tingkah Wira yang tiba-tiba datang bersama dengan seorang gadis, yang merupakan calon istri yang sudah direstui oleh keluarga mereka.
"Jangan yang seperti ini, Kak. Ini terlalu terbuka buat Manda," protes Wira, saat sang kakak menyodorkan design gaun pertunangan pada Wira.
Shanum memijit pelipisnya pelan. "Ya, terus. Kamu mau bajunya tuh, yang seperti apa?"
Shanum mulai frustasi. Pasalnya, sudah lima design yang ia sodorkan pada Wira. Dan, semuanya berakhir dengan penolakan oleh Wira. Sedangkan Amanda sendiri, lebih memilih menanggapi dengan senyum karna merasa tak enak pada Shanum, calon kakak iparnya itu.
"Ini, yang terakhir Kakak kasih ke kamu. Kalau kamu tolak juga, mending kamu cari designer lain aja deh. Kakak, udah nyerah sama kamu." Shanum menaruh kepalanya di atas meja.
Wira, mengamati dengan seksama. Merasa lumayan cocok, akhirnya ia menerima design gaun terakhir. Namun, masih dengan sedikit permintaan untuk memperbaiki di beberapa bagiannya agar sesuai dengan keinginan Wira.
"Kapan, acara resmi pertunangan kalian?" tanya Shanum, saat mereka telah menyelesaikan semua urusan gaun tadi.
"Sekitar, tiga minggu lagi dari sekarang," jawab Wira.
"Oke. Seminggu lagi Manda datang, ya. Kita fitting bajunya. Semoga, ga terlalu banyak perbaikan supaya selesainya cepat," ucap shanum penuh harap, yang langsung di amini kedua sejoli di hadapannya.
"Berarti, kamu udah mulai harus diet, Dek." Wira menaik turunkan alisnya, menggoda Amanda.
Satu pukulan, sukses mendarat di bahu Wira dari kekasihnya itu. Membuat mereka semua tertawa.
"Oh iya, Kak. Wira dengar dari Risa, katanya waktu itu bang Miko datang ke sini dan membuat keributan, ya?"
Shanum menghela napas berat mendengar pertanyaan Wira, kepalanya berdenyut nyeri lagi mengingat peristiwa beberapa waktu lalu.
"Iya. Dia datang dan meminta Kakak, buat kembali bersama dia."
Suara gebrakan yang keras, terdengar.
Shanum dan Amanda berjingkat kaget, melihat Wira yang tiba-tiba memukul meja kerja Shanum.
"b******k! Berani-beraninya dia, datang ke sini dan meminta Kakak buat balik sama dia setelah apa yang dia perbuat kemarin." Wira terlihat mengepalkan tangan menahan emosi.
Sadar, jika sang kekasih tengah diliputi amarah, Amanda mengelus lengan Wira agar kekasihnya itu lebih tenang.
"Kakak, juga ga nyangka jika dia bisa seperti itu." Shanum menyenderkan punggungnya ke kursi.
"Aneh." Amanda memiringkan kepalanya seperti tengah berfikir.
"Apanya yang aneh, Dek?" tanya Wira.
"Ya, aneh aja menurutku bang Miko, tuh." Shanum dan Wira saling pandang, lalu beralih memandang Amanda bersamaan.
"Sekitar dua minggu yang lalu, waktu aku anter kak Aira checkup kandungan. Aku, liat bang Miko keluar dari poli kandungan bersama seorang wanita yang tengah hamil besar. Aku menebak, jika dia adalah kekasih gelap bang Miko yang sudah dia nikahi."
Penjelasan Amanda barusan, sukses membuat kedua kakak beradik itu geram. Amanda memang mengenal Miko. Karna, Shanum beberapa kali mengajak Miko saat ia tengah bersama Wira.
"Wah, kurang ajar. Beraninya, dia mengajak aku balikan lagi, sedangkan istrinya lagi hamil besar. Benar-benar ga punya otak." Shanum mengumpat, meluapkan amarahnya.
"Pokoknya, mulai sekarang Kakak jangan mau didekati dia lagi." Wira, memberikan peringatan keras pada kakaknya itu.
"Tanpa kamu suruh pun, Kakak juga ga akan mau didekati dia lagi."
"Iya, Kak. Harus hati-hati pokoknya. Salah-salah, nanti malah Kakak yang dikatain pelakor sama orang-orang." Shanum melongo mendengar ucapan Amanda barusan.
"Kok, kamu ngomongnya kaya gitu?" Shanum tak terima dengan ucapan Amanda.
"Kak, jaman sekarang itu, netizen ga akan peduli siapa yang salah dan yang benar. Mereka hanya tau, jika dia istri sah, maka dia yang tersakiti. Dan, Kakak sebagai pelakor. Meskipun kenyataannya, bang Miko lah yang mendekati Kakak."
Shanum setuju dengan ucapan Amanda barusan. Dia tau, jika jaman sekarang netizen sangatlah mengerikan.
"Iya, kamu benar, Dek." Wira beralih menatap kakaknya. "Kak, mulai sekarang usahain selalu ada yang nemenin ya, kalau kemana-mana. Hubungi aku, Manda, atau Risa buat nemenin Kakak kemana pun. Jangan sampai, Kakak kenapa-napa nantinya." pesan Wira yang langsung disetujui Shanum. Mengingat, Miko termasuk orang yang nekat, dia harus bisa lebih berhati-hati lagi mulai sekarang.
"Yaudah kalau begitu. Kami pamit ya, Kak." Wira dan Amanda berdiri. Setelah Wira salim pada Shanum, Amanda pun mengikuti dilanjut dengan cipika-cipiki khas perempuan.
Setelah keduanya pergi, Shanum mengatur panggilan cepat pada tombol ponselnya. Berjaga-jaga. Jika sesuatu terjadi padanya, dia tak perlu repot lagi mencari kontaknya.
Selesai. Shanum pun, memilih merebahkan tubuh lelahnya di sofa panjang yang ada di ruangannya itu. Setelah sebelumnya, dia memberi pesan pada karyawannya untuk tak mengganggunya selama beberapa jam ke depan.