Aku, Menyukaimu

1204 Words
Ahsan menyenderkan tubuh lelahnya, di kursi. Baru saja, dia selesai berdebat dengan supplier cabai dan bawang. Ahsan, tak terima saat mereka meminta menaikkan harga cabai dan bawang terlalu tinggi. Bahkan, ia sampai harus mengancam tak akan membeli dari mereka lagi jika sampai mereka ngotot menaikkan harganya setinggi itu. Ahsan memijit keningnya yang pusing. Berharap, dengan sedikit pijitan itu rasa pusingnya bisa berkurang. Suara ketukan di pintu, masuk di gendang telinga Ahsan. "Masuk," ucapnya memberi izin. Ahsan tak melihat siapa yang datang, karna ia masih memijit keningnya sambil menutup matanya. "Maaf, Mas. Ini ada temannya yang ingin bertemu," ucap Radi, pegawai yang  bekerja sebagai pramusaji di restorannya. Ahsan membuka matanya, dan terkejut melihat Fairuz yang datang. "Hai," sapa Fairuz ceria. "Oh, hai. Duduk Fa," sapa Ahsan balik dan mempersilahkan Fairuz duduk. "Tumben, ke sini. Ada perlu apa?" tanya Ahsan sambil mengambil minuman kaleng di lemari pendingin yang ada di sudut ruangannya. "Cuma, pengen main aja kok. Udah lama kan, aku ga main ke sini?" jawab Fairuz santai. Ahsan mengangguk. Memang iya, sejak beberapa bulan yang lalu Fairuz mulai jarang ikut kumpul bersama. Ada saja alasannya menolak, kala ia diajak berkumpul oleh yang lainnya. Entah, apa yang membuatnya sibuk seperti itu sampai-sampai tak bisa lagi ikut berkumpul. "Oh, iya. Aku, bawain ini buat kamu." Fairuz menyodorkan satu paperbag pada Ahsan. "Apa ini?" tanya Ahsan heran saat menerimanya. "Buka aja," ucap Fairuz sambil sambil tersenyum. Ahsan membuka perlahan paperbagnya. Dan, merasa bingung saat melihat isinya. Ia, menatap Fairuz dengan tatapan penuh tanya. "Aku, kemarin habis ke Yogya. Dan, teringat kamu saat melewati toko bakpia ini. Kamu, suka banget kan sama bakpia ini?" jelas Fairuz. Ahsan, hanya menatap kosong pada bakpia di tangannya. Dan, tersadar saat Fairuz mengibaskan tangannya di depan wajahnya. "Sorry," ucap Ahsan menyesal. Khawatir jika sikapnya barusan menyinggung Fairuz yang sudah repot-repot membawakannya bakpia. Fairuz menggeleng, "It's oke." "By the way, thanks buat oleh-olehnya." Ahsan meletakkan kembali bakpianya ke dalam paperbag. "Sama-sama." Senyum, masih terus menghias di wajah Fairuz. "Eh, istri kamu apa kabarnya?" tanya Fairuz berusaha memecah kesunyian yang sempat terjadi selama beberapa menit. "Alhamdulillah, baik." Ahsan tersenyum saat menjawabnya. Tanpa Ahsan sadari, jawabannya itu berhasil menciptakan rasa nyeri, di hati Fairuz. "Syukurlah, kalau begitu." Fairuz memaksakan dirinya tersenyum. "San," panggil Fairuz ragu. "Hmm," sahut Ahsan dengan gumaman. "Kamu tau, kan?" pertanyaan yang ambigu menurut Ahsan. "Tau apa? Kan, lu belum ngasih tau gue. Jadi, mana mungkin gue tau."Ahsan tertawa menanggapi pertanyaan Shanum. "Gue kan, bukan Ki Joko pinter yang bisa baca pikiran lu," lanjutnya. Fairuz hanya menanggapi dengan senyum kikuk. "Maksud aku, kamu tau kan, kalau aku suka sama kamu?" Tubuh Ahsan menegang, mendengar penuturan Fairuz barusan. Ahsan terdiam, bingung harus menjawab apa. Jujur saja. Bukan ia tak tau, jika selama ini Fairuz memendam rasa padanya. Ia tau, bahkan sangat tau dari tingkah laku Fairuz yang berbeda saat dengannya. Hanya saja, Ahsan tak memiliki rasa yang sama untuk Fairuz. Hatinya, masih tertawan untuk satu wanita yang sama, sejak dulu. Pada akhirnya, Ahsan hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban untuk pertanyaan Fairuz barusan. "Lalu, kenapa selama ini kamu ga pernah menerima rasaku?" Air mata, mulai meluncur di pipi mulus Fairuz. "Maaf." Hanya itu yang bisa Ahsan sampaikan pada Fairuz. Hening menyelimuti mereka. Fairuz, yang masih setia dengan tangisnya. Dan, Ahsan yang bingung, harus bertindak seperti apa agar Fairuz bisa berhenti menangis. Dua puluh menit berlalu, tanpa ada satu pun dari mereka yang mengucapkan kata-kata. Ponsel Ahsan, bergetar di atas meja. Tertera, nama Shanum di layarnya. "Sebentar," pamitnya pada Fairuz untuk mengangkat panggilan telponnya. "Assalamu'alaikum, Mas," sapa Shanum saat panggilan telah diangkat Ahsan. "Wa'alaikumsalam, Sha." "Pulang jam berapa, nanti?" "Belum tau. Ini, masih ada meeting sama customer satu jam lagi." Fairuz menatap Ahsan lekat. Saat Ahsan melirik padanya, ia pun segera mengalihkan pandangannya. "Oh, gitu." Terdengar nada kecewa dari Shanum. "Iya. Kamu, makan duluan aja." "Yaudah, kalau gitu. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam warohmatullah." Ahsan kembali meletakkan ponselnya setelah panggilan itu terputus. "Ada apa?" tanya Fairuz sesaat setelah Ahsan meletakkan ponselnya. "Ga ada apa-apa. Cuma nanyain, gue pulang jam berapa." Lagi, ada yang berdenyut di hati Fairuz, mendapati orang yang selama ini dicintainya sudah menjadi milik orang lain. Meski kadang, sesekali angannya masih melayang jauh membawanya pada sebuah mimpi. Mimpi yang sama, sejak mereka mulai menjalin persahabatan. Mimpi membangun sebuah rumah tangga yang sakinnah, mawaddah, wa rohmah sampai syurga-Nya bersama Ahsan. Sayangnya, ketika ia tersadar dari mimpi itu, hanya rasa sakit yang ia rasakan. Karna, kenyataanya ia sudah  tak memiliki kesempatan sekecil apa pun untuk bersanding dengan Ahsan. Kini, Ahsan telah bersanding dengan Shanum. Ahsan telah menjadi milik orang lain. Bukan, miliknya. "Eh, sorry banget, nih. Bentar lagi, gue mau meeting. Lu, ga pa-pa gue tinggal?" sebenarnya, Ahsan merasa tak enak jika harus meminta Fairuz untuk pergi. Apalagi, setelah wanita itu menangis untuk waktu yang cukup lama, akibat ulahnya. Tapi, mau bagaimana lagi. Ia, memang ada meeting yang tak bisa ditunda. "Oh, aku pulang aja kalau begitu." Putus Fairuz. Tak mungkin juga, ia menganggu pekerjaan Ahsan terlalu lama. Ia, cukup sadar diri untuk tak melakukan hal itu. "Yaudah, aku pamit ya. Assalamu'alaikum." Fairuz bangkit dan mengambil tasnya, lalu keluar setelah menolak tawaran Ahsan untuk mengantarnya. Ahsan mendesah. Ia merasa kejam, sekarang. Tapi, ia pun tak ingin berbohong pada Fairuz lebih lama lagi. Ia tak ingin, Fairuz memiliki harapan lebih padanya. Ia hanya bisa berdoa, smoga Fairuz bisa menemukan kebahagiaannya sendiri. *** Suara denting pemberitahuan, terdengar. Satu pesan masuk, ke ponsel Shanum. Ahsan, yang mengiriminya pesan tersebut. "Sepertinya, Mas menginap di rumah mamah malam ini. Jarak tempat meeting dengan rumah Mamah, lebih dekat. Jadi, Mas akan menginap di sini malam ini." Entah kenapa, ada rasa sepi yang tiba-tiba terasa ketika Shanum selesai membaca pesan itu. Meski hubungan mereka tak seperti layaknya suami istri sungguhan, tapi Shanum sudah mulai terbiasa dengan keberadaan Ahsan di rumah bersamanya. "Oke." Hanya sebatas itu, pesan yang Shanum kirimkan. Menyiratkan sebuah kekecewaan. Sendiri di rumah, membuat ia malas untuk memasak makan malam. Shanum berpikir, lebih baik jika ia memakan mie instan saja malam nanti menjelang tidur. Bukankah, yang seperti itu sangat nikmat. Pikirnya. Shanum, memutuskan untuk berendam malam ini. Tubuhnya terasa sangat lelah sekali. Mumpung Ahsan tak ada di rumah, ia bisa bebas melakukan apapun malam ini. Jam menunjukkan pukul 21.15 saat Shanum tersadar dari tidurnya. Ia tak sadar, jika terlelap di dalam bathtub. Gegas, Shanum keluar karna merasakan badannya mulai menggigil kedinginan karna terlalu lama berendam. Menyalakan shower hangat untuk membasuh badannya, lalu segera keluar dari kamar mandi. Tubuh yang masih dingin, membuat Shanum buru-buru ke dapur untuk membuat minuman hangat. "Ahh ...."Shanum merasa lega, setelah minuman hangat itu mulai memberikan kehangatan pada tubuhnya. "Akkhhh!?" Shanum terlonjak kaget, saat tiba-tiba ada sepasang tangan yang melingkar di perutnya. Juga, tengkuk yang dicium secara bersamaan. Teringat, jika ia memang belum mengunci pintu saat masuk tadi. Betapa cerobohnya ia. Ia takut, jika ada orang asing yang masuk ke rumahnya secara leluasa, dan bertindak c***l padanya. Bahkan, tubuhnya pun bergetar saat ini. Namun, rasa kagetnya itu perlahan sirna, saat indra penciumannya mengirup aroma parfum yang familiar. "Mas," panggil Shanum memastikan. "Hmm." Meski hanya berupa gumaman, namun Shanum tau jika tebakannya memang tepat. Dan, itu berhasil membuatnya tenang. Sebelum akhirnya, satu pertanyaan yang keluar mampu membuat Shanum tegang kembali. "Aku menginginkanmu. Boleh, kah?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD