“Daddy, aku sama sekali tidak bisa makan,” adu Jennifer dengan manja. Ia mengangkat tangan kanannya yang terbalut perban, mimik wajahnya terlihat sangat menderita, seolah apa yang terjadi pada tangannya adalah hal terburuk yang pernah dialami seorang manusia di bumi ini.
“Aku rasa, aku tidak bisa pergi bekerja hari ini,” lanjut Jennifer dengan nada yang semakin lirih. Tangannya yang masih terasa sakit ia turunkan. Dadanya bergerak pelan guna menarik napas dengan cara yang sangat perlahan.
Jennifer yang bekerja di perusahaan ayahnya sendiri itu memang mempunyai tanggung jawab untuk datang ke kantor setiap harinya. Walaupun dirinya bukan merupakan pribadi yang independen, Jennifer selalu berusaha untuk melakukan tanggung jawabnya walau tak maksimal. Dan menurutnya, keadaan tangan kanannya yang tengah sakit merupakan alasan yang pas agar dirinya bisa menghindari komputer dan segala macam dokumen yang ada di dalamnya.
Nicholas yang sudah memulai makan pun menghentikan kegiatannya dan memilih untuk menatap putri semata wayangnya terebut dengan tatapan yang sangat sedih. Ia terluka melihat putri kesayangannya terluka. Dalam hidupnya, Jennifer jarang sekali mendapatkan luka.
Bahkan ketika wanita itu masih balita, Jennifer tidak pernah terjatuh sekalipun karena Nicholas memperkerjakan tiga orang perawat bayi sekaligus. Dan melihat tangan Jennifer yang terluka cukup parah saat ini, Nicholas merasa jika ia telah gagal menjaga titipan mendiang istrinya tersebut.
“Kau tidak perlu bekerja sampai tanganmu sembuh total, Sayang. Kau harus beristirahat di rumah dan jangan melakukan banyak kegiatan yang akan membuatmu lelah dan memperlambat penyembuhan tanganmu,” tutur Nicholas dengan mimik wajah yang sangat khawatir.
Beberapa kali ia menarik napas dan membuangnya secara perlahan guna menetralisir perasaan tak menyenangkan yang hadir di dalam hatinya.
“Biar Daddy yang akan menyuapimu,” lanjut Nicholas seraya berpindah tempat duduk ke samping Jennifer. Tangannya dengan segera mengambil roti yang sudah dibaluri selai kacang ke arah mulut Jennifer.
Gigitan pertama yang Jennifer berikan untuk rotinya terhitung cukup besar. Wanita muda itu tersenyum ke arah ayahnya yang terlihat sangat menyayanginya. Jennifer yakin jika dirinya adalah sesuatu yang paling penting bagi Nicholas dan Jennifer sangat bersyukur untuk hal tersebut.
“Terima kasih, Ayah. Kau memang ayah terbaik yang ada di duniaku.” Jennifer menyandarkan tubuhnya pada tubuh Nicholas dengan gerakan yang sangat manja. Tidak peduli berapa usianya kini, karena bagi Jennifer dirinya tetaplah anak yang harus disayangi dan juga dimanja oleh ayahnya.
“Apa pun untukmu, Jen. Apa kau sama sekali tidak berniat untuk memanggilku dengan panggilan yang tetap?” Nicholas bertanya, anaknya tersebut memang selalu memanggilnya dengan sebutan yang berbeda-beda meski memiliki makna yang sama. Dan Nicholas sama sekali tak mempermasalahkan hal tersebut, hanya saja ia merasa akan lebih baik jika anaknya memiliki panggilan yang tepat.
Sambil mengunyah roti di mulutnya, Jennifer pun menggelengkan kepalanya dengan tegas. Ia sudah nyaman dengan semua panggilan yang ia berikan untuk Nicholas. Dan Jennifer berpikir jika ia harus menggunakan kata yang cocok untuk digunakan kepada seorang ayah, karena ia tidak ingin bosan memanggil Nicholas dengan panggilan yang sama setiap detiknya.
“Aku juga ingin bertanya sesuatu padamu.”
“Apa itu? Katakanlah” Nicholas menjawab dengan santai kalimat yang baru saja dilontarkan oleh putrinya.
Setelah mendengar kalimat yang disampaikan oleh ayahnya, Jennifer pun dengan segera menelan sisa roti yang ada di mulutnya. Tangan kirinya yang sama sekali tak terluka ia gunakan untuk mengambil sebuah gelas berisi s**u dan langsung meminumnya. Jennifer pun menolehkan tubhnya dan menatap sepenuhnya ke arah Nicholas yang kini mengernyit ke arahnya.
Jennifer pun akhirnya berkata, “Apa kau sudah membuat keputusan untuk membatalkan rencanamu menjadikan Ibram menantu?”
Jennifer tak akan berhenti untuk membicarakan hal itu, kecuali Nicholas berubah pikiran dan memutuskan untuk membatalkan ide gilanya. Jennifer tentu saja tak akan mau menerima rencana pernikahannya dengan satpam menyebalkan di rumahnya dengan begitu saja. Bukan tanpa alasan, tentu saja Jennifer melakukan hal tersebut karena ia merasa jika ia harus memperjuangkan cintanya terhadap Dave Damian, suami masa depannya yang mungkin saja juga tengah menjaga hati untuk Jennifer.
Setelah santer dikabarkan dekat dengan seorang aktris yang menjadi lawan mainnya yakni Kiranina, Dave tidak pernah diabarkan dekat dengan wanita mana pun lagi dan Jennifer sangat merasa bersyukur akan fakta tersebut. Dengan begitu, ia bisa berpeluang menjadi wanita spesial bagi sang aktor.
“Tidak, Jen. Aku sudah membuat sebuah keputusan yang tepat, kau harus menikah dengan Ibram karena Daddy tahu dia pria yang sangat tepat untukmu.”
“Apa yang membuatmu berpikir jika Ibram adalah pria yang tepat untukku, Papi? Kau tahu bukan jika dia hanya seorang satpam yang mendapatkan gaji darimu? Itu sama saja dia bergantung padamu! Aku sudah memiliki seorang calon bernama Dave Damian, dia seorang aktor terkenal dan juga kaya, bayarannya sangat mahal di setiap film yang dimainkannya. Ia adalah menantu idaman bagi semua orang tua di zaman ini!” pekik Jennifer dengan nada bersungut-sungut.
Nicholas mengangkat bahunya singkat. “Aku sama sekali tidak mengenal pria yang kau sebutkan, dan juga aku memiliki kriteria yang berbeda untuk menantu. Aku membutuhkan seorang pria yang bisa melindungimu. Ibram adalah orang yang aku lihat paling bisa menjagamu, kau jangan menyepelekan dirinya karena bekerja sebagai satpam di rumah kita. Kau tahu bukan, jika aku tidak memilih sembarang orang? Semua orang yang bekerja padaku adalah orang-orang terlatih dan juga berasal dari keluarga yang terhormat.”
“Bisa menjagaku? Dave Damian juga pasti bisa menjagaku! Kau tahu? Dia pernah berperan sebagai mafia di filmnya!” seru Jennifer, masih kukuh mempertahankan pendapatnya mengenai Dave.
Nicholas menghela napas panjang, jelas saja Jennifer tidak mengerti dengan kata ‘menjaga’ yang ia maksud. Mungkin yang Jennifer bayangkan hanya bentuk penjagaan biasa seperti yang dilakukan oleh seorang suami pada majikannya.
Jelas saja Jennifer membutuhkan penjagaan yang berbeda, akan ada banyak bahaya yang mungkin saja menimpa Jennifer dan Nicholas tak mau mengambil risiko dengan salah memilihkan suami bagi putrinya tersebut.
“Kau tak mengerti, Jen. Kejadian yang menimpa kemarin menunjukkan jika kau membutuhkan penjagaan yang lebih. Dave Damian mungkin hebat di film yang ia bintangi, tetapi aku ragu jika dia bisa melindungimu sebagaimana Ibram. Apa Dave yang kau sebutkan bisa bela diri? Mengusai ilmu teknologi? Mempunyai izin untuk menggunakan senjata?”
Pertanyaan beruntun yang dilontarkan oleh Nicholas membuat Jennifer mendengus. Ia merasa jika ayahnya tersebut terlalu berlebihan membuat standar menantu. “Ayah, untuk apa suamiku pandai bela diri, mempunyai izin menggunakan senjata, dan atau menguasai IT? Aku bisa menggunakan jasa orang lain.”
“Untuk menjagamu, Jen.”
***
Hari sudah menjelang siang ketika Jennifer berjalan ke luar dari rumahnya. Hari ini ia sama sekali tak mandi, karena takut jika tangan kanannya terkena air, maka hal tersebut akan meninggalkan rasa sakit yang luar biasa. Namun, jangan anggap jika penampilan Jennifer masih sama seperti bangun tidur. Nyatanya, ia sudah memakai baju yang sangat indah dengan sepatu yang panjangnya sampai ke lutut, juga tas mentereng yang tergantung di tangan kirinya.
Kaca mata hitam berukur besar juga ada di wajahnya dan menghalau sinar yang mencoba untuk menerobos iris matanya. Langkah kakinya yang anggun membuat semua pengawal yang awalnya berdiri dengan santai, kini menegakkan tubuh mereka masing-masing.
Terlebih Rama—sopir pribadi Jennifer yang langsung bangkit dan menghampiri Nona Muda tersebut.
“Apa kau akan pergi ke kantor, Nona? Bukankah Kau sedang sakit dan Tuan Nicholas sudah mengizinkanmu untuk tidak bekerja?” tanya Rama dengan kening yang berkerut.
Tadi Rama sudah merasa senang karena dirinya bisa beristirahat hari ini, karena Jennifer yang ternyata tidak bekerja. Namun ternyata, rencananya untuk istirahat tak berjalan mulus karena Jennifer yang tampaknya akan pergi ke luar.
Jennifer melemparkan senyum ke arah sopirnya tersebut. Ia menganggukkan kepalanya dengan anggun. “Kau benar, aku memang tidak akan pergi bekerja, tetapi aku akan pergi ke salon. Kau ingat, aku belum menghabiskan waktu dua jamku untuk berada di salon. Kau lihat? Rambutku sudah kusut, wajah juga sangat tak terurus, dan kakiku juga butuh pemijatan! Aku tidak mau tampak buruk, aku harus selalu cantik!”
Saat Jennifer mengatakan kalimatnya, ama merasa jika ia tengah mendengar seorang bidadari merendahkan diirinya. Rama pun berkata, “Kau jangan merendah untuk meroket! Kau bilang rambutmu kusut? Bahkan aku merasa jika sutra saja kalah lembut oleh rambutmu. Dan wajahmu, kau tampak sangat cantik!”
Pujian yang dilontarkan oleh Rama kontan saja membuat Jennifer tersenyum bangga. Lantas ia menolehkan kepalanya pada seseorang yang menatapnya intens sejak kedatangannya. Seseorang itu adalah Ibram, pria itu tampak tak malu padahal Jennifer sudah memergokinya yang sedang memandang.
Jennifer kembali mengalihkan pandangannya pada sosok Rama yang tengah berdiri tepat di hadapannya. “Aku sangat tersanjung dengan apa yang baru saja kau katakan. Dan aku yakin jika apa yang kau katakan adalah sebuah kebenaran yang tidak perlu lagi diperdebatkan. Rambutku indah dan wajahku juga cantik. Bahkan seseorang tak bisa mengalihkan pandangannya dariku!”
Jennifer sengaja menyindir Ibram dengan terang-terangan. Saat mengatakan kalimat terakhirnya, ia melirik pria pilihan ayahnya tersebut dengan tatapan yang sangat sinis. Giginya juga bergesekan dengan keras untuk menyalurkan rasa kesal yang tiba-tiba saja memuncak saat melihat keberadaan Ibram.
Sepertinya Ibram memang mengeluarkan aura yang tidak menyenangkan. Bagaimana bisa Jennifer menikah dengan pria yang tak disukainya nanti?
Sekarang Jennifer semakin yakin, jika dirinya harus benar-benar melakukan banyak hal untuk membatalkan ide tak masuk akal yang secara tiba-tiba memasuki kepala ayahnya. Mungkin saja Nicholas sedang khilaf dan membutuhkan seseorang untuk menyadarkannya.
“Apa seseorang yang kau maksud adalah Ibram?” tanya Rama dengan tawa kecil yang hadir di bibirnya. Cara Jennifer menatap Ibram sudah menjelaskan semuanya. Dan hal tersebut jelas saja disadari oleh Rama, mungkin bukan hanya Rama karena semua pengawal yang ada di sini tampaknya menyadari itu semua.
Dan dengan percaya dirinya Jennifer menganggukkan kepalanya. “Ya, kau benar Rama! Apa kau tahu, sepertinya dia memandangku karena Daddy sudah memilihnya untuk menjadi suamiku! Dan aku sangat tidak mau menikah dengannya. Kau tahu bukan jika aku sangat mencintai Dave Damian?”
Kalimat yang diungkapkan oleh Jennifer membuat Ibram langsung melotot. Wajahnya berubah menjadi merah karena merasa malu dengan apa yang baru saja diungkap oleh majikannya tersebut. Apalagi ketika Alex dan Rama menyemburkan tawa mereka, tampak sangat puas dengan keadaan yang menimpanya.
Ibram berdehem untuk mengurangi rasa malu yang menderanya. “Maafkan aku, Nona Jennifer. Aku juga tidak berniat menikahimu, hanya saja Tuan Nicholas yang telah memberikan perintah tersebut padaku. Jika kau tak ingin menikah denganku, maka sebaiknya kau membicarakan hal tersebut kepada Tuan Nic agar membatalkan rencananya.”
Kini Jennifer berjalan melewati beberapa pengawal dan berhenti tepat di hadapan Ibram yang langsung menatap matanya. Setelah merasa jika mereka sudah cukup dekat, Jennifer menyilangkan tangannya di d**a. Ia berkata, “Kau sendiri mengapa tidak berbicara pada ayahku untuk menolak keputusannya? Aku jadi curiga, apa kau senang karena akan menikah dengan aku?”
“Tidak. Hanya saja aku tidak bisa menolak perintah yang diberikan oleh tuanku. Kau memiliki posisi yang berbeda di hadapan Tuan Nicholas. Jika aku adalah pekerjanya, maka kau adalah putrinya. Dan status tersebut jelas saja membuatmu memiliki kesempatan untuk mengelak dan menolak apa yang telah diperintahkan olehnya.”
Mimik wajah Jennifer berubah menjadi sedih. Ia menghentak kakinya beberapa kali seraya memutar tubuh membelakangi Ibram yang masih tidak bisa bernapas dengan santai.
“Aku sudah mencoba untuk mengatakan kepada Papi bahwa kita tidak cocok. Bagaimana mungkin aku menikah dengan seorang satpam sepertimu? Yang benar saja!” Jennifer melangkahkan kakinya ke tengah, posisinya kini sangat strategis untuk membuat semua pelayan yang ada menatap ke arahnya.
“Tapi Papa berkata padaku jika kau adalah orang yang tepat untukku. Aku tidak peduli siapa orang yang tepat untukku, karena aku hanya ingin menginginkan Dave! Kalian bisa membayangkan bukan bagaimana perasaan Dave Damian jika ia tahu bahwa istri masa depannya akan menikah dengan pria lain?” ujar Jennifer, mendramatisi kalimatnya.
Tangan kirinya melepas kacamata yang bertengger di hidungnya dengan tangan kiri yang juga memegang tas. Tangan kirinya memang bekerja lebih banyak karena tangan kanan yang masih berbalut perban.
“Dave Damian tidak akan—“
“DIAM KAU!” bentak Jennifer ke arah Rama, yang sudah Jennifer tahu akan mengatakan apa. Jennifer tidak suka jika ia diingatkan akan fakta bahwa Dave sama selali tidak mengenalnya dan juga tidak peduli padanya.
“Sebaiknya kau memikirkannya lagi, Ibram bukan pria yang buruk untukmu,” timpal Alex, melirik ke arah Ibram yang langsung mengeram marah.
Joe dan Rama kompak terkikik melihat raksi yang ditunjukkan oleh Ibram, sepertinya di antara semua pengawal, Ibram adalah seseorang yang paling sering menjadi olok-olokan.
Dalam balutan kalimat yang diungkapkan dengan cepat, Joe berujar, “Alex benar, Nona. Ibram adalah pria yang baik dan partner debat yang sangat pas. Pernikahan kalian akan terasa sangat menyenangkan.”
Jennifer mendelik, tak setuju dengan apa yang diungkapkan oleh keduanya. “Kalian mengatakan hal tersebut karena Ibram adalah teman kalian!”
Setelah mengelap setetes keringat yang menetes dari dahinya, Jennifer menoleh ke arah Rama. “Sudahlah, sebaiknya kita segera pergi ke salon karena aku butuh perawatan untuk menjernihkan pemikiran yang sedang ruwet.”