Ibram Abraham

1282 Words
Jennifer dan Rama baru saja sampai di rumah mewah milik Nicholas Kielle. Sekitar tiga pria orang berbaju hitam langsung mengerubungi mobil yang Rama kendarai. Mereka melakukan tugas dengan baik, yaitu menyambut kedatangan sang tuan putri. “Terima kasih, tolong jangan ada yang menyentuh tanganku,” ujar Jennifer ketika kakinya mulai menuruni mobil. Kakinya yang jenjang dan mulus terekspos dengan sempurna karena gaun yang ia gunakan sangat minim. “Aku tahu kalian sangat ingin menyentuh tanganku, tapi saat ini tanganku baru saja mengalami perawatan, jadi aku tidak ingin ada yang berbagi kuman pada tanganku ataupun anggota tubuhku yang lain terutama bagian wajahku. Apa kalian mengerti?” tanya Jennifer dengan nada centil yang dibuat-buat. “Bukankah kau memang selalu melakukan perawatan setiap hari?” tanya salah seorang satpam, yang dengan lancangnya membalas perkataan Jennifer dengan lantang. Hal tersebut kontan saja membuat Jennifer memicingkan matanya untuk melihat siapakah orang yang berani-beraninya menimpali ucapannya. Setelah memicingkan mata indahnya, Jennifer tahu jika pria yang baru saja membalas ucapannya adalah sosok Ibram Abraham—salah satu satpam yang bekerja pada ayahnya dan sudah bekerja cukup lama. Pria yang usianya menginjak tiga puluh tahun itu memang sering kali melawan Jennifer, yang mana membuat Jennifer selalu merasa tak suka melihatnya. Sudah berulang kali ia meminta kepada Nicholas untuk memecat Ibram, tetapi ayahnya tersebut selalu saja menolaknya dan mengatakan jika Ibram adalah salah satu satpam sekaligus pengawal terbaiknya. Jennifer maju mendekati Ibram dengan langkah kaki yang anggun bak super model yang siap pentas di atas papan panjang, dagunya terangkat untuk menunjukkan citranya sebagai putri tanpa mahkota di rumah ini. “Ibram, kau berani tak sopan lagi padaku?” Gertakan yang Jennifer diberikan sama sekali tak berpengaruh pada Ibram, pria dengan badan yang super kokoh itu malah menatap Jennifer dengan wajah datarnya yang sangat kentara. “Aku hanya mengeluarkan sebuah fakta saja dari mulutku. Bukankah kau melakukan perawatan setiap hari?” “Yups, betul dan sangat betul. Aku melakukan perawatan setiap hari. Sebagai seorang pria, kau bisa melihat hasilnya bukan? Tubuhku sangat molek dan wajahku pun sangat cantik. Katakan jika apa yang aku katakan benar!” Jennifer berdiri, tatapannya ia fokuskan pada salah satu orang kepercayaan ayahnya yang sangat menyebalkan di matanya. “Katakan jika apa yang aku katakan benar! Kau mengakui jika aku sangat terlihat molek dari ujung rambut hingga ujung kaki bukan?” desak Jennifer yang sama sekali tak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. “Ya, kau sangat molek,” ujar Ibram tanpa mimik wajah berarti. Ekspresi yang ditunjukkannya sama sekali tak menunjukkan kekaguman, tidak seperti pria lainnya yang jika berhadapan dengan Jennifer maka akan menunjukkan kekaguman yang sangat besar. Kenyataan tersebut membuat Jennifer merasa kesal, ia mengentak-entakkan kakinya dengan gaya paling manja yang ia bisa. “Kau berkata tidak sopan lagi padaku! Seharusnya kau tersenyum saat memujiku, bukannya berekspresi datar seperti itu karena aku sama sekali tidak menyukainya. Kau pikir kau seperti Dave Damian yang akan terlihat sangat tampan ketika menunjukkan mimik wajah seperti itu?” Rama yang baru turun dari mobilnya menahan tawa melihat pertengkaran kecil yang terjadi antara Jennifer dan juga Ibram. Atau mungkin hanya Jennifer sendiri saja yang ricuh, karena sejak tadi Ibram hanya menanggapinya dengan santai. “Kenapa kau diam saja?” kesal Jennifer yang tak mendapatkan respons apa pun. Ibram menghela napas panjang, berusaha untuk sabar dalam menghadapi nona muda yang sering kali terlibat masalah dengannya. Ia mencoba untuk memasang senyum manis sebisanya, walau yang dilihat Jennifer adalah senyum masam yang dipaksakan. “Jadi, apa yang harus aku lakukan?” “Puji aku dan tersenyumlah, tunjukkan jika kau tulus memujiku sebagai seorang pria yang mengagumi lawan jenisnya!” “Nona Jennifer, kau sangat cantik.” Ibram melakukan apa yang diperintahkan oleh Jennifer dengan perasaan tidak ikhlas, ia sebenarnya malas untuk melakukan perintah dari wanita yang berusia delapan tahun lebih muda darinya tersebut. Hanya saja, Ibram ingin segera mengakhiri semuanya. Setelah mendengar apa yang diucapkan oleh Ibram, barulah Jennifer menunjukkan senyum terbaiknya. Tangannya yang tadi memegang tas kini terulur ke depan. “Bawakan tasku ke dalam, dan ikuti aku. Aku akan mengadukan perlakuan tak sopanmu pada ayahku. Aku yakin jika sekarang dia akan mau mendengarkan aku dan pada akhirnya kau akan dipecat.” Tanpa banyak kata, Ibram langsung membawa tas mahal berukuran kecil yang diberikan oleh Jennifer dan langsung mengikuti langkah kaki nona mudanya, meninggalkan rekan kerja sesama satpam yang ia yakini kini tengah menertawakan Ibram yang selalu saja berakhir dalam masalah bersama Jennifer, si boneka berbi yang bisa berjalan. Saat masuk ke dalam rumahnya, Jennifer yang terlihat sangat anggun langsung berteriak dengan nada yang sangat manja, “Daddy!!” Karena tak ada sahutan, akhirnya Jennifer pun mengulangi panggilannya. “Papi!! Where are you? You’re princess is coming!” Lama menunggu, masih tak ada sahutan yang Jennifer dapatkan. Ia bertolak pinggang seraya berhenti di ruangan yang sangat besar, ruangan utama yang mana banyak benda mahal yang ada di sana. Matanya berkeliling untuk mencari keberadaan ayahnya yang sering kali ia panggil dengan panggilan yang berbeda-beda setiap harinya, atau bahkan setiap detiknya. “Apa kau tahu di mana Papaku?” tanya Jennifer setelah memutar tubuhnya, melihat ke arah Ibram yang dengan setia mengikutinya dari jarak lima meter. “Tentu saja sedang bekerja,” balas Ibram. Fakta tersebut membuat Jennifer sontak menepuk keningnya sendiri. Ia baru ingat jika hari masih sangat siang, dan terlalu dini untuk ayahnya pulang. Bukannya merutuki kesalahannya, Jennifer justru menatap tajam ke arah satpam yang ia perintahkan untuk mengikutinya tadi dengan tajam. “Kalau kau tahu Papi sedang pergi bekerja kenapa kau sama sekali tidak memberitahu padaku?” sinisnya. “Seharusnya kau sudah mengetahuinya.” “Kau ‘kan tahu jika aku ini pelupa! Seharusnya kau ingatkan aku jika aku lupa seperti tadi. Untung saja ini rumahku sendiri, jadi aku tidak perlu merasa malu. Bagaimana jika kejadian lupa seperti ini aku lakukan di tempat lain? Itu akan sangat memalukan! Sepertinya aku harus memperkerjakan seseorang yang tugasnya khusus untuk mengingatkan aku akan banyak hal!” “Sebaiknya kau belajar untuk mengingat sesuatu dengan baik,” sela Ibram dengan cepat. Jennifer mengibaskan rambutnya seraya melemparkan tubuhnya ke atas sofa. “Tidak, aku sudah banyak mengingat , terutama soal Dave Damian. Aku sampai hafal apa warna kesukaannya, bagaimana kegiatannya sehari-hari, bahkan aku tahu jadwalnya mandi dalam sehari.” “Di mana aku harus meletakkan tas ini?” tanya Ibram, memilih untuk mengalihkan pertanyaan karena ia sama sekali tidak tertarik untuk membicarakan soal pria yang namanya sudah sangat sering keluar dari mulut Jennifer yang mana sosoknya sama sekali tak Ibram ketahui. “Kenapa kau terburu-buru? Sepertinya kau sangat tidak betah untuk berada di dekatku?” selidik Jennifer dengan mata memicing. Posisi duduknya kini sangat tidak sopan dengan kaki yang ia naikkan ke atas meja. Pemandangan tersebut mungkin akan membuat orang lain mengelus dada mereka, untung saja Ibram sudah terbiasa melihatnya sehingga ia tidak perlu melakukan hal tersebut. “Apa Nona senang untuk berada di dekatku?” balas Ibram, membuat Jennifer berpikir akan pertanyaannya. Seolah baru menyadari sesuatu, Jennifer pun menjentikkan jarinya seraya berkata, “Kau benar! Untuk apa aku berada di dekatmu? Sekarang kau simpan tas itu di meja dengan sangat hati-hati dan jangan sampai menimbulkan suara yang bisa membuat semut mendengarnya. Setelah itu kau boleh pergi dan tinggalkan aku. Kau tidak boleh tenang terlebih dulu, karena aku akan tetap melaporkan ketidaksopananmu terhadapku pada ayah agar dia segera memecatmu!” “Baiklah.” Hanya itu kalimat yang Ibram berikan sebagai jawaban. Setelah itu ia melakukan apa yang diperintahkan oleh Jennifer dengan cepat. Jennifer memicingkan mata ketika melihat Ibram menjauh darinya. Lalu, Jennifer berteriak, "Tunggu dulu!" Seruan itu membuat Ibram menarik napas panjang, lalu membalikkan tubuh dengan helaan napas panjang. "Ada apa lagi, Nona?" "Aku hanya ingin mengatakan, aku ... tidak menyukaimu berada di rumah ini. Semoga kau segera dipecat!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD