Bab 3

1515 Words
Dengan langkah ragu, perlahan Maureen memasuki rumah Mbok Janah. Sekilas tidak ada yang begitu menakutkan dari rumah dukun beranak itu, tidak seperti di film horor yang sering di tontonnya selama ini. Rumah Mbok Janah tampak normal dan sama seperti rumah pada umumnya. Maureen mengetuk pelan pintu yang terbuka, meski pintu itu tidak tertutup namun sebagai tamu tak di undang Maureen harus tetap bersikap ramah. "Permisi!" Teriak Maureen dengan suara cukup kencang karena ketukannya tidak membuat si tuan rumah menyadari kehadirannya. "Permisi!" Ulangnya lagi. "Kemana nih orang," Gumam Maureen pelan. "Halo! Ada orang di dalam?" Setelah sekian kali ia berteriak, akhirnya seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu dengan menggunakan baju cukup nyentrik untuk ukuran usianya. Wanita paruh baya itu menggunakan kaos ketat berwarna merah menyala dengan celana legging super ketat berwarna hitam. Sekilas penampilannya mirip ibu-ibu aerobik. Maureen mengerutkan kening, apakah ia salah alamat? Atau ibu-ibu itu anak dari Mbok Janah? Maureen tidak tau pasti, yang jelas wanita itu kini berjalan menghampirinya dengan senyum merekah lengkap dengan bibir bergincunya. "Ada perlu apa?" Tanya wanita itu dengan ramah. "Saya mau bertemu Mbok Janah. Beliau ada?" Jawab Maureen. "Saya Mbok Janah, ada perlu apa?" "Apa?!" Maureen terkejut, pasalnya Mbok Janah yang selama ini ada dalam bayangannya yaitu wanita tua berkebaya dengan kain lilit lengkap dengan penutup kepala khas nenek-nenek jaman dahulu. Tapi apa yang dilihatnya justru kebalikan dari semua bayangannya selama ini. "Mbok Janah?" Tanya Maureen lagi untuk memastikan. "Iya, saya Mbok Janah. Adek ini siapa ya?" Mbok Janah tidak mengenali sosok Maureen, sebab wanita itu masih mengenakan penutup wajah lengkap dengan kacamata hitam yang sempat dilepasnya tadi. "Perkenalkan saya Maureen." Maureen mengulurkan tangannya, "Yang kemarin malam sempat menghubungi Mbok Janah." Jelasnya. "Oh, iya saya ingat. Silahkan masuk." Mbok Janah pun akhirnya mempersilahkan Maureen masuk. Setelah Maureen masuk ke dalam rumah dan mengetahui tujuan kedatangan Maureen, barulah Mbok Janah menutup pintu dengan rapat yang membuat Maureen mulai merasakan aura aneh dan sedikit menegangkan. "Bisa dijelaskan secara singkat kondisi kehamilannya." Ucap Mbok Janah. Wanita paruh baya itu harus tau alasan setiap pasiennya melakukan aborsi, karena tidak setiap kasus ia bersedia membantu. "Begini," Maureen menggeser duduknya dan menegakan punggung untuk menutupi rasa gugup dan takut yang kini mulai menyerang. "Saya hamil," Ucapnya ragu. "Tentu saja hamil, karena tidak mungkin wanita biasa datang kesini." Tiba-tiba Mbok Janah memotong ucapan Maureen. Sikapnya yang semula ramah perlahan berubah menjadi dingin dengan tatapan tajam mengarah pada Maureen. Hal tersebut semakin membuat Maureen ketakutan, bagaimana bisa wanita itu berubah hanya dalam waktu beberapa menit saja. "Iya saya hamil dan saya berniat untuk menggugurkannya." "Wanita jaman sekarang memang pandai merias diri tapi tidak pandai menjaga diri." Mbok Janah kembali memotong ucapan Maureen. Merasa dirinya dianggap tidak bisa menjaga diri, membuat hati Maureen sedikit tersentil. Pasalnya bukan karena tidak bisa menjaga diri hingga ia berbadan dua seperti sekarang, tapi semua itu karena dirinya di jebak. "Seharusnya sebelum berbuat harus tau akibat dan resiko yang akan terjadi. Jangan mau enaknya saja, tapi setelah itu dengan mudahnya ingin membuang." "Apa?" "Untuk pertama dan terakhir kalinya kamu datang ke tempat ini dan jangan pernah kembali lagi. Ingat, saya hanya membantu satu kali saja, jika kamu lalai dan hamil untuk kedua kalinya jangan pernah datangi saya lagi. Itu urusanmu jangan menambah banyak dosa saya." Tidak seperti pertemuan di awal, Mbok Janah kini mulai menunjukan sifat aslinya. Wanita tua itu beranjak dari kursi untuk mengambil beberapa benda dari dalam lemari yang letaknya tidak terlalu jauh hingga Maureen bisa melihat dengan jelas benda apa saja yang di ambil wanita itu. Sekilas Maureen melihat gunting, botol, dan benda-benda lainnya yang membuat bulu kuduk Maureen meremang seketika. Benda-benda aneh dan mengerikan itu nantinya akan membantu Mbok Janah dalam mengambil paksa sang janin. Tanpa sadar Maureen mengusap perutnya dan menutupinya dengan kedua tangan. "Kamu datang ke tempat ini artinya kamu sudah siap dengan segala resiko dan rasa sakit yang akan kamu rasakan. Kamu bisa pakai itu jika sakitnya terlalu berlebihan." Mbok Janah menunjuk sebuah gumpalan kain berwarna coklat tua, mungkin awalnya kain tersebut berwarna putih tapi karena sudah terlalu lama digunakan kain tersebut kini berubah warna menjadi coklat tua. Tiba-tiba Maureen diserang rasa mual begitu melihat kain tersebut. Bukan hanya karena jijik, tapi juga karena ada serangga kecil yang hinggap di atas kain hingga membuat Maureen mual. "Saya mau ke kamar mandi dulu, boleh?" "Di sebelah sana." Tunjuk Mbok Janah tepat ke arah pintu belakang. Tanpa ragu, Maureen pun segera menuju pintu dan mencari kamar mandi yang dimaksud. Di dalam kamar mandi Maureen memuntahkan isi perutnya yang hanya berisi cairan karena ia belum sempat memakan apapun sejak pagi. Beruntung ia masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya dengan baik karena jika tidak, Maureen yakin ia akan pingsan sebelum aborsi itu berlangsung. Dengan langkah gontai Maureen kembali ke ruangan dimana Mbok Janah berada. "Maaf, saya merasa sedikit mual." Ucap Maureen. Ia pun kembali duduk, kali ini Maureen membuka satu persatu penutup wajah dan juga jaket tebal yang menutupi tubuhnya. "Berapa usia kandunganmu?" "Mungkin baru tiga minggu, saya belum sempat memeriksanya." Terdengar gumaman pelan Mbok Janah, sebelum akhirnya wanita itu berteriak kencang. Mendengar Mbok Janah berteriak sontak membuat Maureen terkejut bukan main, sebab ia tidak tau alasan wanita itu tiba-tiba berteriak histeris. "Ada apa? Kenapa?" Tanya Maureen dengan sikap waspada, bahkan Maureen melihat ke sekeliling untuk memastikan tidak ada serangga yang mendekat padanya atau berada dekat dengannya. Bagi Maureen serangga adalah musuh terbesarnya selama ini. "Ada serangga atau apa?" Tanya Maureen lagi. Maureen mengerjap begitu melihat Mbok Janah menatapnya dengan tatapan aneh. Wanita itu tidak lagi bersikap ketus dan menatapnya tajam, tapi kini wanita itu justru menatapnya dengan tatapan kagum dengan senyum merekah di wajahnya. "Kamu Maureen?" Maureen artis?" Tanya mbok Janah. Maureen mengangguk, membenarkan. "Kenapa gak bilang dari tadi." Mbok Janah menepuk pelan pundak Maureen sambil tersenyum lebar. "Mbok gak nanya." Jawab Maureen. "Saya penggemar berat kamu. Saya tau semua iklan dan film yang kamu bintangi. Ya Tuhan, mimpi apa saya semalam bisa ketemu idola pagi ini." Maureen tidak pernah menyangka ia akan bertemu seorang penggemar di pelosok pedalaman yang sangat jauh dari keramaian. Bahkan hal yang semakin membuat Maureen takjub yaitu mbok Janah tau setiap iklan dan film yang pernah dibintanginya. Sementara mbok Janah tau kiprahnya di dunia hiburan, berbanding terbalik dengan supir taksi tadi yang justru tidak mengenali Maureen sama sekali. Perbedaan yang sangat signifikan, dan tidak masuk akal. Seperti tengah memenangkan sebuah undian lotre, Mbok Janah sangat senang mengetahui Maureen sang idola tiba-tiba muncul di kediamannya, bahkan saking senangnya ia sampai melupakan tujuan awal Maureen datang menemuinya. Sementara itu Maureen hanya bisa memaksakan senyum setiap kali Mbok Janah memperagakan iklan yang sempat dibintanginya dan menjadi trend di kalangan masyarakat. "Ngomong-ngomong Mbak Maureen ini beneran hamil?" Akhirnya mbok Janah berhenti dan kembali fokus pada Maureen. "Iya." "Bukannya Mbak janda?" "Iya." Maureen kembali menjawab pelan. "Tapi," Mbok Janah menjeda ucapannya sebelum ia kembali berbicara. "Ya sudahlah, saya tau dunia hiburan seperti apa. Mbak tidak perlu menjelaskan lebih rinci." Mbok Janah menggelengkan kepalanya, meski ia sangat penasaran siapa lelaki yang telah menghamili idolanya, namun Mbok Janah masih bisa menahan rasa ingin taunya. "Bisa kita mulai sekarang." Maureen tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi, sebab jika ia terlambat sedikit saja maka Ramli akan mencarinya dan mengetahui perbuatannya. "Boleh. Tapi sebelumnya mbak minum ini dulu." Mbok Janah menyodorkan gelas kecil berisi cairan berwarna kuning. "Ini apa?" Tanya Maureen, namun ia tetap meminumnya dengan perlahan. "Itu minuman pereda nyeri, terbuat dari kunyit dan sedikit bubuk jangkrik." "Apa?" Maureen memeriksa isi gelas yang hanya tinggal separuh dan ia bisa melihat sesuatu di dasar gelas yang membuatnya bergidik ngeri dan berteriak. Teriakan Maureen sangat kencang hingga membuat Mbok Janah panik. Bukan hanya panik, mereka berdua juga dikejutkan dengan kedatangan dua orang laki-laki secara tiba-tiba. "Sudah Mbak jangan nangis." Ucap supir taksi pada Maureen yang tengah menangis di dalam mobilnya. "Aborsi itu dosa dan termasuk kedalam tindakan pidana. Selain dosa Mbak juga bisa di penjara." Ucapnya lagi. Mobil yang dikendarainya berhenti di tepi jalan, karena Maureen tidak hentinya menangis histeris. Hal tersebut membuat si supir panik, hingga akhirnya ia pun menepikan mobil untuk membuat Maureen merasa lebih tenang. "Kalau tidak mau membesarkan anak itu, mbak bisa memberikannya pada saya. Kebetulan saya belum mempunyai anak setelah berumah tangga dua puluh lima tahun. Meski saya dan istri sudah berusaha, tapi kami belum juga diberikan kepercayaan." Sejenak Maureen menoleh ke arah supir, tapi detik berikutnya ia kembali menangis. Meski tujuan aborsinya gagal akibat kehadiran Barry, Maureen pun memutuskan untuk kembali pulang ke Jakarta setelah memberi sebuah tanda tangan pada baju Mbok Janah dan memberikan sejumlah uang agar tidak membocorkan rahasia kehamilan dan rencana aborsinya. "Saya sangat senang kalau Mbak mau memberikan anak itu," "Siapa yang mau ngasih anak ini!" Balas Maureen dengan sebelah tangan mengusap wajah dengan kasar. "Lah,, katanya Mbak gak mau punya anak bahkan sempat mau digugurkan. Artinya mbak ini gak mau punya anak." "Aku gak bilang gitu." "Buktinya mbak sampai nangis kan, gara-gara gak jadi aborsi?" "Aku nangis bukan karena itu!" Elak Maureen. "Aku nangis karena Barry ninggalin aku, dan aku mau pulang bareng dia!" Ucap Maureen dan ia pun kembali menangis bak anak kecil yang tidak dibelikan mainan oleh orang tuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD