Bab 2

1119 Words
Maureen menatap hampa pantulan tubuhnya di depan cermin besar. Perlahan ia mulai menggerakan tubuhnya ke kanan dan kiri, serta mengusap pelan perutnya yang masih terlihat rata. Usia kandungannya kini baru menginjak tiga minggu, usia yang masih sangat kecil dan rentan. Sekilas pikiran-pikiran buruk itu kembali muncul dalam benaknya.  Haruskah ia menyingkirkan bayi tidak berdosa ini?  Dan kembali hidup seperti semula tanpa merasa terbebani sama sekali?  Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya sejak semalam, setelah ia menonton sebuah drama akibat insomnia yang dideritanya akhir-akhir ini.  Tanpa sengaja Maureen menonton sebuah drama yang menceritakan kisah sepasang anak muda yang masih berstatus pelajar dengan si wanita tengah mengandung hasil hubungan gelap mereka berdua.  Sepasang remaja itu akhirnya merencanakan sebuah kejahatan dengan mengunjungi seorang dukun beranak dan akhirnya mereka membunuh bayi tidak berdosa itu dan keduanya bisa kembali hidup normal seperti sebelumnya. Karena hal itu juga Maureen pun memiliki niatan untuk menyingkirkan bayi yang tidak diinginkannya.  "Haruskah aku melakukan itu?" Gumam Maureen pelan, meskipun keraguan dan takut terus menyelimuti hatinya namun hamil di waktu tidak tepat seperti ini pun bukan keputusan tepat. Apa jadinya jika ia harus membesarkan seorang anak seorang diri, bagaimana nasib anaknya jika suatu hari sosok ayahnya justru dipertanyakan?  Maureen tidak ingin anaknya menjadi bahan bully an teman-temannya. Sebelum semuanya terlambat dan semakin sulit, ia harus mengambil keputusan untuk masa depannya dan juga masa depan anaknya kelak.  "Maafin Mamih sayang, Mamih harus melakukan ini demi kebaikan kita."  Menghela nafas lemah dan tubuh gemetar, Maureen pun meraih ponsel yang terletak di atas nakas dan segera menghubungi nomor seorang dukun bayi yang sudah di dapatnya sejak semalam. Entah kebetulan atau bukan, dengan sangat mudah Maureen mendapatkan kontak si dukun bayi hanya dengan berbekal informasi dari beberapa akun facebook. Awalnya Maureen tidak langsung percaya begitu saja, namun setelah mencari informasi lebih lanjut lagi akhirnya ia pun berhasil mendapatkan nomor si dukun bayi.  Dengan mengenakan jaket panjang sampai selutut, dan juga menggunakan penutup wajah, dan topi besar untuk menutupi identitasnya, Maureen pun dengan perlahan keluar dari apartemen Ramly setelah ia memesan taksi online.  "Kita ke alamat ini Pak."  Maureen menyerahkan secarik kertas pada si pengemudi, yaitu alamat dukun bayi yang hendak ditujunya.  Maureen melakukan semuanya sendiri tanpa sepengetahuan Ramly, karena jika lelaki itu tau tentu sudah pasti Ramly akan melarangnya. Oleh karena Ramly sedang tidak dirumah, Maureen benar-benar memanfaatkan waktu tersebut dengan sebaik mungkin.  Perjalanan menuju rumah dukun bayi cukup jauh, bahkan memerlukan waktu hampir dua jam lamanya. Selain lokasi cukup terpencil juga medan jalan yang harus ditempuh cukup terjal. Bukan hanya terjal tapi mobil yang ditumpangi Mureen pun harus melewati semak belukar yang membuat bulu kuduk berdiri.  "Beneran jalannya kesini, Mbak?" Tanya si supir. Sebenarnya bukan hanya pak supir, Maureen pun mulai merasa tidak yakin dengan alamat yang didapatnya itu.  "Sebentar lagi sampai Pak." Jawab Maureen meyakinkan supir dan juga meyakinkan dirinya sendiri.  Sekilas Maureen melihat jam dari layar ponsel dan ia kembali dikejutkan dengan tidak adanya sinyal, lalu bagaimana ia bisa menghubungi seseorang jika terjadi hal buruk pada dirinya.  "Perjalanan kita sudah hampir dua jam, tapi rumah yang dimaksud belum juga terlihat." Ucap si sopir.  "Saya pasti bayar lebih, Pak."  "Bukan begitu, hanya saja akhir-akhir ini banyak sekali pencurian dengan modus penumpang."  "Apa?! Bapak nuduh saya begal?!"  "Bukan begitu, saya cuman bilang akhir-akhir ini banyak kasus seperti itu."  "Apa tampang saya seperti tukang tipu?!"  Merasa kesal karena dicurigai, Maureen pun akhirnya melepas topi dan penutup wajahnya.  "Apa tampang seperti ini bisa disebut pencuri?!" Ulangnya dengan menunjuk wajahnya sendiri. "Penjahat jaman sekarang kan gak selalu berpenampilan jelek, Mbak."  Ucapan si sopir semakin membuat Maureen kesal, "Dengar ya pak, saya ini kaya dan saya gak mungkin berniat jahat."  "Kaya tapi ko mau naik taksi online?"  Maureen menggertakan giginya dan meremas kuat tas selempang sebagai pelampiasan emosi.  "Bapak benar-benar gak kenal saya?" Maureen membuka seluruh penutup wajah agar ia bisa dikenali dengan jelas. "Saya rasa seluruh indonesia tau siapa saya." Ulangnya dengan penuh percaya diri. Dari kaca spion yang ada di depannya sopir tersebut melirik ke arah Maureen untuk memperhatikan wajahnya dengan jelas. Maureen tersenyum samar tatkala si sopir mulai menganggukan kepala, pertanda ia mulai mengenali dirinya.  "Sekarang bapak tau kan siapa saya? Dan gak mungkin banget saya nipu atau berbuat jahat seperti tuduhan bapak tadi."  "Mbaknya memang gak ada tampang pencuri, tapi jujur saja saya tidak kenal siapa mbaknya ini."  "Apa?!"  Maureen benar-benar tidak menyangka jika masih ada orang yang tidak mengenal dirinya. Bagaimana bisa seorang artis papan atas tidak dikenali oleh seorang supir taksi online.  Obrolan mereka terhenti begitu keduanya sampai di sebuah perkampungan atau lebih tepatnya kampung kecil yang hanya dihuni oleh beberapa rumah saja.  "Ini pasti rumahnya." Ucap si supir, begitu mobil yang dikendarainya berhenti tepat di depan sebuah rumah dengan tulisan Mbok Janah.  "Ngomong-ngomong Mbaknya mau ngapain kesini? Bukannya ini dukun beranak?" Si sopir berbalik ke arah belakang untuk bertanya langsung pada Maureen, namun wanita itu justru sudah terlebih dulu turun dengan tergesa.  "Tunggu disini sampai aku selesai, kalau bapak kabur saya gak akan bayar!" Ancam Maureen agar supir tersebut mau menunggunya. Maureen tidak bisa membayangkan jika ia harus berada di tempat terpencil seorang diri dengan minimnya alat komunikasi dan alat transportasi.  Merasa tidak ada pilihan lain, sopir tersebut pun akhirnya menunggu Maureen sampai wanita itu selesai dengan urusan pribadinya. Samar-samar dari kejauhan si sopir melihat sebuah mobil perlahan menuju kearahnya. Dan benar saja mobil yang terlihat mewah itu berhenti tepat di hadapannya.  "Mana Maureen?" Tanya seseorang yang keluar dengan tergesa dari dalam mobil.  "Maureen?" Si sopir mengerjap, karena tiba-tiba saja lelaki muda itu bertanya padanya.  "Wanita yang tadi bawa."  "Oh, mbak tadi. Dia ada di dalam." Tunjuk si sopir ke arah rumah Mbok Janah. "Kenapa gak dilarang? Bapak bisa kena ancaman pidana karena membantu seseorang membunuh!" "Hah? Membunuh? Saya tidak, itu. Saya tidak tau, sumpah!" Merasa dirinya akan terlibat dalam masalah besar, si sopir segera membela diri, karena ia tidak tau maksud membunuh yang dituduhkan padanya. Baru saja ia hendak kembali membuka mulut untuk menjelaskan asal muasal ia mengantar Maureen hingga ke tempat terpencil, suara jeritan seorang wanita sudah mendahuluinya hingga membuat kedua lelaki itu bergegas dengan bersamaan menuju rumah Mbok Janah.  "Maureen!"  Maureen dan Mbok Janah menoleh ke arah sumber suara dimana Barry tengah berdiri dengan tatapan cemas.  "Barry?"  Maureen tidak kalah terkejutnya dengan kehadiran Barry, terlebih di tempat tak terduga seperti ini.  "Apa yang kamu lakukan?" Tanya Maureen.  "Harusnya aku yang tanya, sedang apa kamu di tempat seperti ini? Apa kamu sudah gila?!"  Maureen mengerjap, jangan-jangan Barry sudah mengetahui kabar kehamilannya.  "Memangnya kenapa? Bukan urusanmu aku ada disini, lagi pula." "Kamu tega membunuhnya?" Pertanyaan Barry menohok hati Mauren. "Membunuh? Siapa yang kamu maksud membunuh?"  "Kamu berniat menyingkirkan bayi itu, artinya kamu berniat membunuhnya. Menghilangkan nyawa seseorang dengan sengaja itu membunuh!" Ucap Barry hanya dengan satu tarikan nafas. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD