Part 3

1251 Words
Tatapan dingin yang sudah sangat dikenal semua orang itu kini mengarah pada si tuan rumah, Hanenda Bahuwirya dan juga istrinya Apsarini Ningrum. Keduanya balik memandang pria yang usianya baru menginjak awal tiga puluhan itu dengan muka menunduk malu. “Apa yang akan Anda lakukan sekarang?” tanya Alfatih Dzakir dengan suara rendahnya pada si tuan rumah. “Pernikahan akan berlangsung besok sementara mempelai wanitanya menghilang? Bukankah ini kedengarannya sangat konyol?” tanya pria itu dengan nada skeptisnya. “Kami akan menemukannya, segera.” Ucap Apsarini dengan sungguh-sungguh. “Jika kalian tidak bisa mencegahnya untuk pergi, mungkinkah kalian membawanya kembali?” tantang Alfatih lagi. “Te-tentu saja.” Ucap Nyonya Apsarini dengan terbata. Alfatih memandang wanita yang akan menjadi ibu mertuanya itu dengan tatapan tak percaya yang membuat nyali wanita itu semakin ciut. "Saya berjanji, saya akan membawanya kembali.” Janjinya lagi. “Talitha hanya merasa tertekan, dia butuh refreshing sejenak. Anda tahu sendiri. Semua gadis akan merasa seperti itu sebelum pernikahan. Saya yakin dia akan kembali sebelum pernikahan digelar." Alfatih masih memandang wanita itu dalam diam. “Kami akan membawanya kembali.” Suara itu keluar dari calon ayah mertua Alfatih. “Orangku sudah mencarinya dan aku pastikan tidak akan sulit untuk menemukan Talitha. Anda tenang saja, saya pastikan kalau Anda akan melihatnya duduk manis di pelaminan besok malam.” lanjutnya dengan sungguh-sungguh. Alfatih masih diam. Dia adalah sosok yang lebih suka melihat bukti daripada mempercayai janji. Pria itu berdiri dari duduknya, membuat asistennya yang sejak tadi berdiri diam di belakangnya bergerak mendekat. “Jika sampai mempelai wanita tidak juga hadir dan pernikahan batal, kalian tahu apa yang akan terjadi pada nama Bahuwirya.” Ucapnya dengan datar yang membuat pasangan sejoli itu menelan ludah karena gugup. Asisten Alfatih berjalan maju lebih dulu menuju pintu untuk membukanya, tepat disaat bersamaan suara ketukan terdengar dari luar. Melihat anggukkan dari majikannya, pria itu membuka pintu. Dan apa yang Alfatih lihat setelahnya membuat pria itu memandang sosok di hadapannya dalam diam, begitu juga sebaliknya. Selama sepersekian detik, Alfatih dan Aretha saling pandang sampai akhirnya Aretha memalingkan wajahnya terlebih dulu dan memandang sosok yang dicarinya, yang berdiri tepat di belakang Alfatih. “Maaf kalau datang di waktu yang tidak tepat.” Ucap gadis itu dengan nada menyindir. Aretha melangkah masuk ke dalam ruangan dan melewati Alfatih yang masih mematung di posisinya. “Anda menginginkan ini,” ujar gadis itu seraya menunjukkan amplop putih di tangan kanannya dan menyerahkannya pada Nyonya Apsarini. “Papa secara khusus meminta saya untuk menyampaikannya langsung ke tangan Anda. Dan saya sudah melakukannya. Jadi, semoga pesta pernikahannya berjalan dengan lancar.” Ucapnya seraya kembali berbalik dan melangkah meninggalkan ruangan. “Tunggu sebentar.” Ucap Nyonya Apsarini dengan sebelah tangan terulur dan memegang lengan Aretha. Gadis itu memandang Nyonya Apsarini dan tangan yang mencengkeram lengannya bergantian. “Lepas.” Perintahnya dengan dingin. “Retha, apa kamu tahu dimana Litha?” tanya Nyonya Apsarini dengan nada memelas dan mimik kebingungan. Aretha memandang ibunya dengan sebelah alis terangkat. “Anda menanyakan keberadaan tuan putri pada saya? Apa saya tidak salah dengar?” ucapnya dengan nada menyindir. “Aku tahu kalau kalian saling berkomunikasi. Dia mungkin memberitahukanmu kemana dia pergi?” tanya wanita itu lagi dengan wajah penuh harap yang membuat Aretha terkekeh karenanya. Aretha dengan pelan melepaskan tangan ibunya dari lengannya, ekspresi gadis itu tampak seolah sentuhan ibunya adalah hal yang menjijikkan. Hal itu tidak luput dari perhatian Alfatih yang masih berdiri dan memperhatikan di dekat pintu. Pemandangan yang menarik menurutnya, melihat wajah memelas seorang ibu dan ekspresi dingin seorang gadis memiliki wajah sama persis dengan tunangannya yang hilang. Bedanya, Talitha selalu menunjukkan senyum manis apapun yang terjadi dan apapun yang dirasakannya. Sementara gadis di hadapannya sangatlah ekspesif. “Maaf, Nyonya. Tapi sama halnya seperti hubungan saya dengan Anda, hubungan saya dengan Talitha pun tidak terlalu baik.” Ucap gadis itu dengan skeptis. “Lagipula siapa saya sampai Talitha harus pamit saat dia hendak pergi?” tanyanya dengan nada mengejek. “Kau saudara kembarnya.” Suara tak kalah dinginnya itu berasal dari sosok wanita berusia pertengahan enam puluhan yang masih berjalan dengan tegap dan masuk ke dalam ruangan dengan sorot dinginnya. “Iyakah?” tanya Aretha seraya mengangkat sudut mulutnya. “Ah iya, saya lupa. Kami memang saudara kembar karena wajah kami sangat mirip dan kami pernah berbagi rahim yang sama. Tapi fakta itu tidak mendukung seberapa dekat hubungan kami, Nyonya Mahiswara.” Ucap Aretha dengan senyum manis yang dibuat-buat di wajahnya. “Adik kembarmu hilang dan kau sama sekali tidak khawatir?” tanya wanita tua itu dengan dahi mengeryit dalam di wajahnya yang sudah berkeriput. “Haruskah?” tanya Aretha dengan ekspresi menantang. Gadis itu kemudian mengedikkan bahunya. “Apapun yang terjadi padanya, saya tidak peduli dan tidak punya kewajiban untuk peduli. Sama seperti kalian yang tidak akan peduli jika hal yang sama terjadi pada saya.” Ucapnya masih dengan senyum manisnya. “Urusan saya disini sudah selesai, jadi saya bisa pamit undur diri.” Ucapnya membungkukkan badan dengan gaya berlebihan dan mulai melangkah kembali menuju pintu. “Jika Talitha tidak kembali, kau harus menggantikkan posisinya di pelaminan.” Ucap Nyonya Mahiswara dengan nada yang tak bisa ditentang yang membuat Aretha menghentikkan langkahnya dan berdiri diam. Dia berbalik memandang wanita tua itu dengan tatapan tajam. “Kenapa?” tanyanya tanpa sedikitpun rasa ingin tahu. “Kenapa saya harus melakukan semua itu. Tidak ada untungnya sama sekali untuk saya?” ucapnya dengan senyum mengejek. “Ingat apa yang Anda katakan pada saya saat Anda membawa Talitha pergi?” tanya Aretha dengan wajah menyiratkan kebencian. “Anda mengatakan bahwa sejak saat itu, hubungan kami terputus. Yang menjadi cucu Anda satu-satunya hanyalah Talitha Davina dan tidak boleh ada nama Nasir di belakangnya. Dan saya masih memegang kalimat itu sampai sekarang.” “Itu tidak pantas dikatakan oleh seorang anak pada ibunya. Adikmu hilang saat pernikahan ada di depan mata. Kepergiannya akan membuat malu keluarga Bahuwirya dan keluarga Dzakir. Kau hanya perlu menggantikkan kehadirannya di pelaminan tanpa harus menjadi istri Alfatih yang sah, itu sudah cukup untuk menggantikan rasa terima kasihmu.” “Rasa terima kasih?” Tanya Aretha bingung. “Rasa terima kasih untuk apa?” “Karena telah terlahir ke dunia.” Jawab Nyonya Mahiswara lagi. “Sebagai seorang anak, seharusnya kau bisa menjadi sosok yang berbakti. Minimal kau berterima kasih pada orang yang melahirkanmu dengan menolongnya saat dia dalam kesusahan." Lanjut wanita itu dengan nada berapi-api yang membuat Aretha memandang wanita tua itu dengan kernyitan dahi yang semakin dalam. "Maksudnya? Berterimakasih dengan menikahi pria yang seharusnya menjadi suami adikku, menjadi mempelai penggantinya, begitu maksud Anda?" tanyanya dengan nada menantang. "Tapi kenapa aku harus melakukannya? Kenapa aku harus berbakti? Kenapa aku harus merasa berutang budi pada sosok wanita yang meskipun sudah melahirkanku tapi tak pernah menyusuiku, mengurusku dan mencintaiku? Kenapa aku harus merasa berutang budi sementara dia tidak pernah kesusahan karena aku? Dan kenapa aku harus berhutang budi sementara aku tidak pernah memintanya untuk melahirkanku?" tanya Aretha lagi dengan tatapan menantang ke arah dua wanita yang merupakan ibu dan anak itu. “Bukan menjadi urusanku apa yang kalian lakukan. Keuntungan kalian pun aku tidak pernah merasakan, kenapa aku harus menjadi orang yang kemudian mengganti kerugian?” ucapnya dengan amarah yang mulai meledak. Aretha mencoba menenangkan dirinya. Menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Tanpa banyak berkata, gadis itu berlalu pergi. Melewati Alfatih yang masih berdiri di tempatnya semula dan memperhatikan drama keluarga itu dalam diam. Sebuah senyum terbersit di wajahnya kala Aretha berjalan melaluinya. Satu ide mulai terbentuk di kepalanya. Ide yang Alfatih tahu akan menjungkirbalikkan hidupnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD