"Toh, selama ini Hans yang menjaga Nirmala. Bagaimana, Hans? Tapi tunggu nanti sampai selesai masa nifas. Masa iddah wanita hamil sampai ia melahirkan nanti." Seorang wanita umur lima puluhan bertanya pada keponakannya. Membuat Hans saling pandang dengan Nirmala.
"Tante Yosi, ada-ada aja. Kasihan Mas Hans. Ganteng, masih bujangan. Masa iya suruh nikahin saya yang nggak jelas gini. Kami saudaraan, Te." Nirmala yang akhirnya menjawab.
"Boleh-boleh saja. Asal kalian mau. Yang saudaraan itu Papamu sama Mamanya Hans. Jadi halal kalian nikah."
Semua kerabat yang duduk di karpet ruangan itu saling bicara memberi pendapat. Percakapan mereka terkadang juga mengundang tawa. Membuat Pak Malik terlihat makin membaik. Beliau senang, kerabatnya rukun dan saling dukung.
Obrolan untuk menjodohkan Hans dan Nirmala masih berlanjut. Keluarga besar juga setuju. Nggak ada yang keliru jika itu terjadi. Tinggal bagaimana keduanya yang menjalani.
Nirmala yang jadi tidak enak pada Hans. Walaupun pria itu nampak tenang. Dan sesekali tersenyum menanggapi omongan para saudara.
Pukul sembilan malam mereka pada pulang. Tinggal keluarga inti Pak Malik ditambah dengan Hans.
"Papa, ini nggak usah mikir macam-macam, Nirmala juga baik-baik saja," kata Pandu yang duduk tepat di sebelah papanya.
"Papa mengkhawatirkan adikmu. Apalagi jika Papa harus pergi menghadap Illahi dalam waktu dekat. Bagaimana nasib Nirmala."
"Ada kami, kan, Pa."
"Kamu juga punya keluarga sendiri, Pandu."
"Sudahlah, Papa, tenangkan diri dulu. Biar, Papa, lekas sehat dan cepet bisa pulang."
Pak Malik terdiam. Pandangannya menerawang. Membayangkan nasib putrinya. Apalagi uang pensiunannya sebagai PNS sudah terkuras untuk pengobatannya. Beliau merasa tidak enak hati jika harus membebani Pandu. Karena putranya juga memiliki dua anak yang butuh biaya sekolah. Disamping itu, juga menanggung biaya kuliah adik iparnya. Istri Pandu ini anak yatim piatu. Jadi dia yang mengurus adik istrinya.
"Papa, nggak usah mikirin Nirmala. Percayalah, anak, Papa, ini pasti bisa melalui semuanya." Nirmala berkata lirih. Ada beban kesedihan dalam ucapkannya. Kalau ternyata keadaannya yang membuat papanya makin parah.
"Om, jangan khawatir. Saya akan bantu jaga Nirmala," ucap Hans yang duduk disebelah Pandu.
"Kamu pada akhirnya akan berkeluarga juga, Hans. Nggak enak selalu merepotkan kamu."
Hening. Semua yang ada di ruangan itu tenggelam dalam pikiran masing-masing. Bu Arni, Nirmala dan Mbak Nety duduk di sofa juga menunduk diam.
"Jika keluarga mengizinkan, saya akan menikahi Nirmala. Setelah bayinya lahir." Perkataan Hans baru saja sontak membuat yang ada di ruangan itu mengangkat wajah dan memandang pria berahang kokoh itu.
"Mas, jangan bercanda," protes Nirmala.
"Nggak. Mas nggak bercanda."
Nirmala terisak. Pandu menatap saudaranya.
"Mas, ini serius dengan apa yang, Mas, katakan ini?"
"Ya, jika keluarga setuju," jawab Hans pasti.
Pak Malik menyentuh tangan keponakannya. Membuat Hans memandang paman yang menatapnya sendu.
"Om, tahu kamu tidak pernah main-main kalau bicara, Hans. Tapi apa kamu sudah memikirkannya betul-betul. Kamu juga tahu Nirmala akan punya anak. Bebanmu akan dobel."
"Sudah, Om."
Pak Malik diam, dia memperhatikan Nirmala yang saat itu juga memandang Papanya dengan mata berkaca-kaca. Nampak kebingungan terlihat dari tatapannya.
"Bagaimana, Ma?" Pak Malik malah bertanya pada istrinya.
"Kalau Mama, terserah pada Hans dan Nirmala aja. Hans juga tahu gimana kondisi Nirmala."
"Bagaimana denganmu, Nduk?" Pak Malik bertanya pada putrinya.
"Nirmala akan bicara dulu sama Mas Hans, Pa. Lagipula, masa iddah begini nggak boleh Nirmala di lamar lelaki lain."
Waktu terus merangkak malam. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas. Setelah Pak Malik tertidur, Hans pamitan pulang sekalian mengantarkan Nirmala. Sedangkan Pandu dengan istrinya menemani sang Mama jaga di rumah sakit.
"Kenapa, Mas, memutuskan untuk menikahiku? Apa karena kasihan? Atau, Mas, udah merasa benar-benar patah hati setelah putus dari Mbak Yulia?" tanya Nirmala setelah mereka di perjalanan.
"Karena memang Mas pengen nikahi kamu."
"Alasannya apa? Cinta? Luculah, Mas. Terus cinta seperti apa. Cinta antar saudara, atau cinta seorang pria pada wanita seperti pada umumnya."
"Cinta seorang pria pada wanita seperti umumnya."
Nirmala tercekat. Dia memandang pria yang bersikap tenang di sampingnya. Kemudian tertawa lirih. "Mas, ini mengada-ngada."
"Nggak mengada-ngada. Mas serius."
"Berhentilah mempercandakan aku seperti ini. Mas, ini hanya kasihan sama aku. Sedangkan di luar sana, banyak perempuan siap, Mas, persunting. Kenapa, Mas, justru memilih perempuan hamil dan janda yang belum usai masa idahnya."
"Mas nggak maksa kamu. Kalau tidak bersedia, Mas bisa terima. Tapi niat Mas ikhlas. Untuk sekarang memang tak boleh kamu dipinang. Tunggu sama masa iddah kamu selesai."
Percakapan terhenti setelah mobil memasuki pekarangan.
"Kamu berani sendirian di rumah malam ini?" tanya Hans pada Nirmala.
Wanita itu nampak ragu, jujur saja sebenarnya dia takut tinggal di rumah sebesar itu. Apalagi beberapa malam kemarin, hampir semalaman nggak bisa tidur karena takut sendirian.
"Mas temeni. Ayo, turun."
Keduanya hampir bersamaan membuka pintu mobil. Kemudian Nirmala melangkah duluan untuk membuka pintu.
"Biar Mas tidur di sofa saja," kata Hans setelah keduanya masuk rumah dan Nirmala kembali mengunci pintu.
"Jangan. Mas tidur aja di kamar belakang. Bersih, kok. Nanti aku ambilin selimut."
Hans melangkah ke arah kamar paling belakang dekat dengan ruang makan. Rumah itu terdiri dari dua bangunan. Paling depan ada ruang tamu, ruang keluarga dan dua kamar. Sedangkan bangunan belakang ada ruang makan, dapur bersih, kamar mandi dan dua kamar tidur.