Catatan 36

1311 Words
Sial, sial, sial, sial! Hanya kata itu yang dapat menggambarkan kebingunganku hari ini. Aku mondar mandir di dalam apartemenku, mengutuk kebodohanku sendiri. Bagaimana bisa aku secara spontan membocorkan identitas Max sebagai agen The Barista kepada Zayn? Ah, aku benar-benar bodoh! Apanya yang agen The Barista legendaris? Apanya veteran agen intelijen? Satu blunder bodoh yang aku lakukan berpotensi merusak segalanya. Dua hari ke depan, aku harus membawa Zayn dan beberapa anggota Hook untuk datang menemui Max, dan aku masih belum memiliki strategi apapun. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku menghubungi Max secara langsung? Apa yang akan ia katakan kepadaku nanti? 'Seorang agen sepertimu dapat berlaku ceroboh seperti ini? Bagaimana jika agen lain mencontoh perilakumu, Madame?' mungkin itu yang akan ia katakan kepadaku!" Kalimat itu terus berputar di dalam kepalaku sembari aku terus menggigit kuku tanganku. Ketika panik, aku benar-benar ceroboh. Dalam pengaruh adrenalin dan kegilaan yang ada di kepalaku, tanpa sengaja aku mengorbankan agen lain yang tengah bertugas. Aku berpikir, jika aku memberitahu Max sekarang jika ia sedang diburu oleh seseorang, maka Bounti Bar akan berpotensi ditutup. Namun jika aku tidak memberitahunya, maka ada kemungkinan aku benar-benar menjadi buronan kepolisian dan harus kabur dari kejaran agen intelijen lain karena telah dianggap berkhianat kepada The Barista. Bukan perkara mudah untuk melarikan diri dari mereka, di mana para agen pasti telah hafal dengan jalur pelarian di negara ini. Di sela kebingunganku, akhirnya aku mengambil tas selempang yang menggantung pada tiang di samping meja riasku dan segera keluar dari apartemen. Aku segera memesan taksi dan meluncur menuju ke stasiun kereta. Ketika aku sampai di pertigaan yang berada di dekat stasiun dan Seaside Bar, aku menoleh ke selatan di mana Seaside Bar masih tetap terlihat tidak memiliki pengunjung. Aku tersenyum getir, aku terkadang masih rindu dengan kekonyolan dan kepolosan Isac. "Tenanglah, Lilia… kau berada di luar jangkauan The Barista hanya sementara," gumamku berusaha menenangkan gejolak kesedihan di dalam pikiranku. Tidak berapa lama dari pertigaan yang ada di bagian barat stasiun, taxi yang aku tumpangi berhenti tepat di depan pintu masuk stasiun kereta Kota Nelayan. Stasiun modern namun sederhana ini selalu ramai lalu lintas warga yang masuk dan keluar dari kota pesisir ini. Suara ricuh warga dan terkadang teriakan korban kriminal jalanan menghiasi keberangkatanku menuju ke… baiklah, dalam kepanikanku di dalam apartemen, aku memutuskan untuk benar-benar mengunjungi Max di Kota Industri. Berbeda dengan hari-hari biasa di mana aku hampir selalu menggunakan pakaian terbuka, kali ini aku pergi ke Kota Industri mengenakan jaket hoodie dan sweatpants berwarna abu-abu dengan kacamata hitam yang bertengger cantik di mataku. Rambut panjangku diikat seperti ekor kuda poni, dan aku tidak mengenakan riasan tebal seperti biasa. Aku merasa kali ini mungkin tidak ada orang yang mengenaliku dalam sekelebat pandangan. Ketika di tengah perjalanan, ponsel yang ada di dalam tas selempangku bergetar, membuyarkan lamunanku yang tengah berada di surga bersama dengan tujuh puluh bidadara berparas tampan. Ternyata Zayn menghubungiku, mungkin ia ingin mencari bahan untuk bertengkar lagi denganku. "Halo, Tuan Zayn, ada perlu apa?" sapaku dingin. "Di mana kau, Lilia? Kenapa kau tidak muncul di Atlantic Harvest?" jawab Zayn yang terdengar sedikit emosi. "Ah, maafkan aku yang lupa memberitahumu, Tuan. Aku sedang menuju ke luar kota, ada seseorang yang ingin berbincang denganku berkaitan dengan koleksi milikmu. Jika kau tidak mengizinkanku, baiklah aku akan kembali ke Kota Nelayan saat kereta berhenti di stasiun selanjutnya!" jawabku ketus. "Sebenarnya apa yang kau inginkan, Lilia? Kau masih saja bertindak sesuka hati!" Bentakan ini, lagi lagi membuat sesuatu di bawah sana menjadi lembab. "Tidak, aku tidak boleh hanyut dalam pesona suara ini!" Aku berusaha menahan gejolak di dalam dadaku. Tanpa menjawab pertanyaan dari Zayn, aku segera mematikan sambungan telepon dan bahkan mematikan ponsel agar tidak dihubungi lagi oleh Zayn. Setelah empat jam perjalanan menggunakan kereta api, akhirnya aku sampai di stasiun kereta Kota Industri. Aku cukup takjub ketika keluar dari kereta karena stasiun di kota ini terlihat lebih bersih jika dibandingkan dengan Kota Nelayan. Penduduk yang menggunakan fasilitas kereta api juga terlihat lebih rapi, tidak banyak tatapan jahat dari preman stasiun seperti yang biasa terlihat di Kota Nelayan. Saat keluar dari stasiun, terpampang dengan jelas pemandangan gedung-gedung tinggi dan asap pabrik yang terlihat mengepul di langit. Udara yang panas dan pengap terasa menusuk di tubuhku. Hawa panas di kota ini terasa berbeda jika dibandingkan dengan Kota Nelayan di mana Kota Nelayan memiliki udara yang lebih segar jika dibandingkan dengan Kota Industri. Lalu di sini, aku bingung. Aku tidak tahu harus berjalan ke mana untuk menuju ke kawasan bawah tanah. Ketika aku mengambil ponsel di tas selempang, aku baru ingat jika ponselku sedang kumatikan untuk menghindari orang-orang yang ingin menghubungiku. Akhirnya aku memberanikan diri memesan salah satu taksi yang sedang terparkir di depan stasiun. Aku bertanya kepada sopir taksi tentang Bounti Bar, beruntung sopir taksi itu mengetahui bar yang terletak di kawasan bawah tanah Kota Nelayan tersebut. “Aku kira orang yang datang dari luar kota tidak mengenal bar lokal di kota ini, Nyonya. Ternyata kau memiliki selera yang bagus,” ucap sopir itu dengan aksen khas Kota Industri yang terdengar seperti aksen warga afro-american. “Where are you from, Nyonya Cantik?” tanya sopir itu ramah. “Wow, aku terkesan. Kau memiliki pengetahuan bahasa yang bagus juga rupanya, Tuan.” Sopir itu hanya terkekeh, kemudian menjawab, “Kota Industri adalah kota yang sangat sering didatangi oleh warga asing, Nyonya. Kita sebagai warga lokal wajib menguasai berbagai bahasa.” “I just arrived from Belgium a few moments ago by the way.” sahutku. Perbincangan ringan namun hangat bersama sopir taksi tercipta menemani perjalananku menuju Bounti Bar. Sopir itu benar-benar ramah, banyak hal yang ia ceritakan mulai dari fakta-fakta unik Kota Industri, cerita horor kota ini, hingga cerita tentang keluarganya. Setelah sekitar dua puluh menit perjalanan, akhirnya aku tiba di gang yang aku datangi sebelumnya ketika pertama kali menginjakkan kaki di Kota Industri bersama dengan Hook. Aku meminta sopir untuk berhenti di depan gang dan aku memilih untuk berjalan kaki sendiri ke dalam. Setelah membayar dan memberikan salam perpisahan, sopir taksi itu meninggalkanku setelah memperingatkanku agar berhati-hati karena bagaimanapun lingkungan bawah tanah adalah lingkungan yang keras dan penuh kriminal jalanan. Benar saja, baru beberapa langkah aku berjalan, aku melihat pemandangan yang cukup menarik di mana seorang bocah berusia sekitar sepuluh tahun sedang dipukuli oleh beberapa orang yang seusia dengannya. Bibirku tersungging melihat itu, ternyata praktek perundungan terlihat semakin parah akhir-akhir ini. Setelah lima menit berjalan kaki, aku mulai dapat mendengar sayup-sayup suara musik twerk dari bar kecil di mana banyak orang keluar masuk dari sana. Aku tersenyum melihat bar yang telah ramai meski hari belum mulai gelap. Ketika masuk ke dalam bar, kehadiranku sama sekali tidak disadari oleh si bartender, Max. Pria afro itu terus saja sibuk bermain dengan shaker, beratraksi meracik minuman sekaligus menghibur pengunjung yang datang. Aku mengambil satu tempat duduk di depan bar. Aku memangku dagu melihat pria jantan di depanku yang berjibaku dengan pekerjaannya hingga keringat mengalir di keningnya menambah kesan "panas" pada diri pria itu. Aku terus saja memandang bartender itu hingga satu ketika pria itu menangkap mataku yang tengah memandang lekat ke arahnya sambil tersenyum. Mataku dan Max bertemu, aku dan pria afro itu terpaku satu sama lain. Ada tatapan terkejut yang aku tangkap dari matanya. Lalu Max mencoba melirik kanan dan kiri, memastikan jika ada orang lain yang aku ajak untuk datang ke tempat ini. "Aku sendirian, Max!" ucapku sedikit berteriak karena takut suara musik di tempat ini mengalahkan suaraku. Max yang mengerti dengan apa yang aku ucapkan, memberikan isyarat tangan agar aku menunggunya menyelesaikan pekerjaannya. Lagi, Max memberikan pertunjukan menawan ketika bermain dengan alat-alat bar yang sudah menjadi keahliannya. Botol demi botol, sloki demi sloki minuman beralkohol bercampur indah menjadi minuman yang menggugah selera. Meski memang bar ini adalah bar jalanan, tetapi aku melihat minuman yang disajikan di tempat ini bukanlah minuman sembarangan. Banyak minuman dengan bahan bermerek yang dijual dengan harga terjangkau. Harga-harga minuman di sini benar-benar membuatku terkejut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD