Bab 3 : Rasanya Terlalu Penuh, Om!

1029 Words
"Kamu tahan sedikit. Ini akan sakit," "Aaaaaa ... Sakit, Mas! Pelan-pelan dong! Kamu tuh bisa nggak sih, lembut dikit, aku kan baru pertama kali!" "Kalau kamu teriak yang ada orang ngira saya lagi menyiksa kamu, Aleandra!" "Emang kamu nyiksa aku! Dasar Om-om ngeselin!" "Apa kamu bilang? Kamu panggil saya Om lagi? " "Arrghhhh sakit, Om!!" "Berhenti panggil saya Om, Aleandra! Kamu kira saya Om-om keganjenan?" "Bodo amat ih, Om ngeselin!" "Mau saya tunjukkin apa itu ngeselin yang sebenernya? Mau saya tunjukin gimana om-om beraksi?" Mata Alea membulat sempurna. Dia segera menggeleng cepat. Apa yang akan dilakukan Jeje kali ini. Apakah Jeje sedang mengancamnya? "Buka baju kamu sekarang!" titah Jeje membuat Alea bergidik ngeri. "Apa? Buat apa aku buka baju? Om Jeje mau apain aku?" "Oh jadi kamu sengaja ya, Aleandra. Laki-laki yang kamu panggil Om ini adalah dosen, suami, dan orang yang berhak meminta kamu melakukan hal itu." Hal itu? Batin Alea mencerna kata-kata Jeje barusan. Hal itu apa maksudnya? Kini Alea ketakutan. Tatapan Jeje kembali mengintimidasi Alea. Kini Alea makin takut kalau Jeje serius ingin melakukan hal yang paling dia takutkan. Hal itu? Jadi hal itu apa sih? Alea tidak berhenti terus membatin. "Kenapa? Kok malah bengong? Cepet buka baju kamu!" Suara Alea meneguk ludah dapat didengar oleh Jeje dengan cukup jelas. "Kenapa Alea? Saya punya hak lho, saya mau kamu lakukan itu." "I-itu apa sih Om! Nggak mau! Om janji nggak akan melakukan hal yang enggak-enggak sama aku kan?" "Kata siapa? Kapan saya janji gitu? Kayaknya nggak pernah deh." Dengan entengnya Jeje mengatakan itu, membuat bocah yang baru akan masuk Universitas itu ketakutan setengah mampus. *** "Kamu udah pernah ciuman?" "Hah? Maksud kamu apa, Mas, kok tanya kayak gitu?" "Jawab aja, Cil, udah pernah apa belum?" "Ih, apa sih, nggak tau!" "Apa susahnya jawab udah apa belum?" "Astaga. Belum! PUAS?" "Oh, kalau gitu, mau saya ajarin caranya?" "Cara apa? Gausah macam-macam, deh, Mas!" "Cara ciuman lah." **** Jeremy Nathan Andrew Mapan, itu yang selalu dijadikan alasan maminya meminta Jeje untuk segera menikah. "Kamu udah mapan, Je. Kamu nunggu apa lagi? Nunggu jodoh yang gimana lagi sih yang kamu idamkan untuk jadi istri kamu?" Jeje lelah terus diberondong dengan pertanyaan yang sama setiap harinya. Itulah sebabnya, Jeje memutuskan untuk tinggal terpisah dari mami dan daddy-nya. "Mami masih mau anak Mami makan malam di sini atau Jeje balik ke apartemen aja?" Jeje mencoba menelan makanan yang baru saja mulai dia kunyah pelan-pelan. Kenapa selalu saja tentang itu. Apa berusia 30 tahun menuntutnya harus cepat-cepat menikah. Yang benar saja, Jeje masih merasa sangat muda untuk memulai berkomitmen seperti itu. "Jeje, kamu selalu gitu ya. Kenapa sih? Kamu sekali aja gitu ikutin kemauan Mami. Waktu itu, Mami mau kamu ambil jurusan kedokteran, kamu nggak mau. Mami udah ikutin, semua yang kamu mau udah mami turutin, Jeje sayang. Ini, Mami cuman mau kamu nikah, Mami juga mau kan bisa gendong cucu." Klasik. Lagi-lagi cucu dijadikan alasan orang tua menuntut anaknya segera menikah. Padahal di belakang, mami nya itu selalu bilang pada tetangga, atau teman-teman arisan nya. Bahwa dia takut anak sulungnya terjebak pergaulan yang tidak baik, alias menyukai sesama jenis. Jeje tahu itu dan dia hanya bisa mengelus d**a dengan ketakutan mami nya. "Nanti ya Mami ku sayang." Jeje mencoba tetap tabah dan ikhlas menanggapi desakan mami nya. Untung saja daddy-nya belum pulang, masih di Australia menemani adiknya. Sebab kalau ada daddy-nya. Lengkap sudah kolaborasi keduanya mengalahkan nuklir yang dikirimkan Rusia ke Ukraina. Jeje akan di bom habis-habisan. "Nanti nanti terus. Kalau Mami nggak ada, baru deh kamu..." Jeje meletakkan sendok dan garpu ke atas meja. Lalu menatap mata Mami nya dengan tajam. "Jeje nggak suka kalau Mami kayak gini, Mam. Please , Jeje udah sering bilang. Jangan bicara seolah Mami akan pergi, Mami akan sakit, sesuatu yang buruk akan terjadi sama Mami, kalau Jeje nggak menikah secepatnya." Mami nya langsung diam. Jeje ternyata menakutkan kalau sedang marah. Siapa lagi kalau bukan menurun dari daddy-nya. "Iya deh, maaf." Mami nya cemberut. Jeje menghela napas frustrasi. "Jadi kenyang kan kalau gini." Begitulah akhir percakapan mereka berdua tentang jodoh di malam itu yang selalu sama endingnya. Jeje kembali ke kamarnya sambil membuang napas. Hal yang paling Jeje tidak sukai ketika maminya mulai membicarakan masalah jodoh. "Kenapa harus menikah?" Di ponselnya banyak sekali pesan masuk bahkan panggilan yang tak dia jawab dari para wanita. Termasuk salah satunya mantan Jeje yang bernama Bella. "Bella? Ah, jadi ingat dulu macarin dia karna iseng. Pengin tau, apa benar kalau Bella sulit di dapat? Bodoh kamu, Je. Nggak ada yang sulit di dapat sama kamu. Semuanya mudah kalau kamu mau." Dia tidak memiliki trauma, karna hidupnya berjalan baik dengan orang tua lengkap yang perhatian padanya. Jadi, keputusannya masih single selama tiga puluh tahun bukan karena dia memiliki trauma dengan wanita. "Kalau di tanya tipe ideal, saya ini punya tipe ideal atau tidak?" Satu-satunya wanita yang menurutnya cantik, baik, dan menyenangkan hanya Anastasia. "Kenapa nama itu yang kamu ingat, Je. Dia bahkan nggak percaya sama kamu, kan?" Dari pada memikirkan hal itu terus menerus. Jeje lebih memilih untuk tidur. "Mami nggak akan bahas itu terus menerus. Besok juga pasti sudah hilang tuh pemikiran untuk menjodohkan anaknya. Astaga, kesannya kayak tidak laku saja saya. Sial." Om ... Ah, om jangan gitu dong. Pelan-pelan aja, Om. Aku nggak kuat! Sa-kit rasanya, Om ... Saya udah pelan, tenang aja. Kamu sakit, hem? Ini saya udah paling lembut. Tapi, Om.... Rasanya terlalu penuh, aku nggak kuat, Om. Terlalu penuh? Jeje tertawa mendengar itu. Terlalu penuh? Astaga apa sebesar itu? Om, udah, Om. Aku nggak kuat, please, ah! Sebentar lagi, Sayang. Udah, Om! Udaaa aaaah!!! "Astaga mimpi apa itu tadi?" Baru saja Jeje terlelap dia sudah di singgahi mimpi yang—basah? "Ah s**t!! Mimpi sialan!!" Gara-gara mimpi itu, membuatnya kepikiran. Dia belum pernah bermimpi sampai sebegitu detilnya. Lebih parahnya, perempuan yang ada di mimpi itu adalah gadis yang sama sekali tak pernah masuk ke dalam kriteria idamannya. Aleandra? "Je, kamu kenapa? Wajah kamu benar-benar suram gitu. Ada apa?" tanya Kanaya. Jeje duduk lalu mengambil segelas air putih, meneguknya sampai habis. "Nggak ada apa-apa, Mam." Dia mengusap wajah dan merasa ini benar-benar parah. Please, Je, kenapa kamu nggak bisa buang ingatan tentang mimpi itu sih?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD