Bab 2 : Oppa Saranghae!

1658 Words
"Nama kamu siapa kalau boleh tau?" Alea gelagapan ketika cowok yang sejak tadi di tatap nya diam-diam tidak terduga menanyakan namanya. Dia gugup dan bingung, refleks saja menjawab dengan nama tengahnya, bukan nama depan. "Cantika, Kak." "Cantika?" "I-iya." Alea mengusap keringat, dia yakin sekarang wajahnya sudah memerah seperti udang rebus yang baru diangkat dari penggorengan. "Nama kamu sangat cocok dengan kamu." Alea menyengir, dia merasa senang sekaligus malu. Jadi sebenarnya dia merasa nama tengahnya itu agak narsis sih. "Maaf kalau namaku agak sok cantik, ya, Kak." "Tidak. Kamu memang cantik, kok." Jantung Alea berdegup kencang, dia merasakan ribuan kupu-kupu berterbangan di dalam perutnya. Menggelikan, tapi juga sangat membahagiakan. Keduanya saling berjabat tangan dan berjanji akan bertemu lagi setelah acara di sekolah Alea selesai. "Alea? Kamu belum bangun, Sayang?" Aleandra menggeliat sambil menarik selimutnya. Dia mendengar sayup-sayup suara bundanya. Padahal, dia sedang sangat bahagia karena baru saja membuat janji untuk bertemu dengan cinta pertamanya. "Aleandra buka pintunya, Nak. Kamu ngapain kunci pintu segala?" "Hemm … apa, sih? Kok berisik banget." Alea menyipitkan mata, melihat ornamen yang ada di dinding kamarnya. "Astaga, jadi gue barusan mimpi?" "Alea, Ayah kamu udah pulang. Kita sarapan dulu yuk. Kamu mau sekolah, kan?" "YA AMPUN! INI UDAH JAM BERAPA??" Alea bergegas bangun, dia melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. "Huuh… untung aja belum terlambat. Miris amat sih gue, giliran sesuatu yang membahagiakan mimpinya menjelang pagi. kenapa nggak dari semalam aja gitu loh mimpinya. Kan puas!" Alea berjalan ke pintu sembari menguap berulang kali. "Bunda, Lea baru bangun." Tania menggeleng. "Lain kali jangan kunci pintunya. Biasanya juga kamu nggak pernah kunci pintu, 'kan?" Ada alasan ketika anak gadis mengunci kamarnya. Ya, tapi bundanya tak perlu tau apa alasannya. "Iya iya, maaf. Yaudah, Lea mau mandi dulu ya." "Yaudah, bunda tunggu di meja makan ya." "Siap, Bun." Hidupnya normal-normal saja pada awalnya. Meski keadaan ayah Alea tidak begitu baik, sebab ayah Alea sedang mengalami masalah di perusahaannya. Dara yang sebentar lagi berumur sembilan belas tahun itu tidak tahu menahu, yang dia tahu hanya belajar dan segera lulus. Padahal kedua orang tuanya sedang berpikir bagaimana caranya mengembalikan kejayaan perusahaan yang selama ini menghidupi keluarga mereka, setidaknya bisa berada di titik aman kembali. "Alea, kamu nanti sore ada waktu, nggak?" ucap Taniana, ibunda Aleandra. "Sore? Hm, seharusnya sih Alea ada kelas tambahan gitu, Bun." Alea tersenyum tipis sambil mengunyah roti isi di mulutnya. "Kelas tambahan? Apa itu penting sekali?" tanya Harry menyambung obrolan. "Iya, terpaksa. Habisnya Lea, kan, sebentar lagi kelulusan. Jadi pasti akan banyak pelajaran tambahan. Yah," jawab Alea sambil mendengkus sebal. "Yaudah kamu izin sama guru kamu ya, untuk nggak ikut kelas sore ini," ujar Tania seolah ada sesuatu yang penting sehingga Lea sampai harus izin segala, batin Lea mendengar permintaan bundanya. "Memangnya kenapa Bun?" Alea mengerutkan kening. "Ada acara?" tambahnya penasaran. Harry mengangguk sembari menyeruput kopi buatan istrinya, kemudian beranjak dari duduk. Ayah Aleandra itu menatap wajah putrinya yang sedang menikmati sarapan pagi. "Ayah mau kenalin kamu sama anak dari kenalan Ayah, kamu harus ikut ya. Jangan b nolak, oke Sayang? "Apa? Jangan bilang, Lea mau dijodohin?" sahut Alea yang sudah berpikiran jauh entah kemana. "Ih, Lea nggak mau! Lea kan masih sekolah!" Bukan tanpa alasan, sebab dia sering mendengar ucapan orang tua yang seperti itu. Biasanya ujung-ujungnya adalah perjodohan. Jangan tanya dari mana Lea dengar hal semacam itu. Tentu saja dari drama yang sering ditontonnya setiap malam minggu. "Bukan sayang... mana mungkin juga Ayah jodohin kamu, Lea." Taniana menggeleng. Dia tersenyum ringan pada putrinya yang terlalu blak-blakan. Raut wajahnya menyiratkan ada kecemasan. Apakah Alea akan menolak jika tahu yang sebenarnya terjadi nanti? "Alea, kapan Ayah bilang mau jodohin kamu, sih?" Harry pun ikut menggeleng. Kenapa bisa, kenapa putrinya terlalu cepat menebak arah pembicaraan itu, batinnya. Aleandra bernapas lega. "Astaga, syukurlah... habisnya kirain mau dijodohin. Kan biasanya gitu tuh, kayak di drama yang sering aku tonton." Kini senyum Lea kembali melingkar manis di bibirnya yang mungil. Dia segera meneguk susu di gelasnya sampai habis. "Udah udah, sekarang Ayah antar kamu ke sekolah, oke? Nanti kamu bisa terlambat," potong ayah Aleandra. "Siap!" Lea mengambil tas kemudian memakainya. "Iya, kalian hati-hati yah," ucap Taniana pada anak dan suaminya. "Lea berangkat dulu yah, Bun." Alea mencium punggung telapak tangan Ibundanya. Kemudian Taniana mengecup kedua pipi gadis cantiknya itu. Tidak terasa, putrinya yang dulu masih kecil sekarang sudah beranjak dewasa. Sebentar lagi, Alea nya akan lulus sekolah dan kuliah. "Dah, Bunda," pamit Alea melambaikan tangan. "Ayah berangkat yah, Bun." Harry mengecup kening istrinya. Di wajah Tania, Harry bisa melihat ada perasaan gundah. "Tenang, Bun. Semuanya akan baik-baik aja kok." Tania tersenyum dan mengangguk pelan. "Hati-hati, Ayah." Taniana mengantar keduanya, sampai mereka berlalu dan tidak terlihat lagi. SMA PELITA BANGSA "Lea, belajar yang rajin yah. Ayah nggak mau kalau lihat nilai Lea jelek, ngerti?" ujar Harry, sambil mengusap puncak kepala Alea. Alea mencebikkan bibirnya. "Memangnya nilai Lea pernah jelek? Lea kan anak pinter," jawabnya sesumbar. "Iya iya, anak Ayah memang yang paling the best, deh," puji Harry sembari mencium kening putrinya. "Iya dong. Ya udah, Lea masuk dulu yah, Ayah hati-hati di jalan, jangan lupa makan siang pulang ke rumah, kalau nggak nanti bunda marah," "Iya, siap Tuan putri Ayah." Alea sudah keluar dari mobil Ayahnya, sambil melambaikan tangannya, mobil Harry pun kembali melaju meninggalkan halaman sekolahnya. "Hm, pelajaran pertama dimulai lima belas menit lagi, masih ada waktu untuk ke toilet, kenapa gue sakit perut sih." Alea memegangi perutnya yang mendadak terasa mulas. Ia berlarian menuju ke toilet yang ada di sekolahnya. "Ampun deh, kenapa gue malah dapet di saat gue nggak bawa pembalut." Lea terkejut, saat melihat tamu bulanan yang ternyata datang lebih awal dari seharusnya. "Ya Ampun, gimana dong. Gue nggak prepare. Di mana gue harus dapat pembalut, sial!" Lea berdecak sebal sambil memukul keningnya. Tanpa berpikir lama, Lea segera pergi ke minimarket berharap waktunya masih cukup sebelum bel berbunyi. Lea bergegas menuju rak yang berjejer pembalut berbagai merek. Salah satunya adalah merek yang biasa Lea gunakan, dan dia langsung mengambilnya untuk dibayar ke meja kasir. "Mbak, tolong cepet yah." Alea menaruh benda itu di meja kasir, saat itu padahal ada seorang pria yang sudah lebih dulu mengantri. "Hei, saya duluan!" Pria itu menggeser benda yang di letakkan oleh Alea di atas meja kasir mengganti dengan benda yang di bawanya. "Astaga, Om. Aku duluan dong! Aku buru-buru, plis!" ucap Alea cemas jika hal yang tidak diinginkan akan terjadi, jika dia tidak bergegas. "Om? Siapa yang kamu panggil Om? Sejak kapan saya nikah sama tante kamu?" protes lelaki di depan Lea sambil mengangkat sebelah alisnya, sinis. "Ya Tuhan, ketahuan kan udah om-om buktinya sensian," seru Alea asal saja. Lea menggigit bibir sementara pria di depan Lea hanya terus menahan diri agar tidak terpancing amarah karena sikap Lea barusan. "Iya, oke deh, Mas yang ganteng! Aku duluan ya, please ..." Alea akhirnya menggunakan jurus pamungkasnya. Berharap pria itu mau memberikan antriannya pada Lea. "Aku udah nggak ada waktu, waktunya sebentar lagi, Mas Ganteng mirip Kim Mingyu idolaku... Ya ya ya..." Alea terus memohon pada pria itu. Pria itu mengusap wajahnya kesal. Menurutnya anak kecil di depannya itu sangat aneh. "Ya udah, sana!" Sambil mencebikkan bibir, Lea menggerutu pelan. "Dasar om-om ketus." "Apa?" Ternyata, Pria itu mendengar apa yang diucapkan Alea barusan. "Aish! Denger aja sih itu om-om!" gumamnya. "Ya Tuhan, anak zaman sekarang sama sekali nggak ngerti sopan santun ya," oceh pria itu. "Mbak, buruan ya," kata Alea tidak mempedulikan pria itu, sambil merogoh kantongnya, ia lupa bahwa ia meninggalkan tasnya di dalam toilet tadi. "Ampun deh, gue lupa bawa dompet." Telapak tangannya, langsung mendarat di keningnya sendiri. "Kenapa sih lo pelihara kebegoan lo itu, Lea!!!" "Cepetan dong, lihat antrian. Saya masih ada urusan bocah kecil! " Masih dengan ketus, pria di belakang Lea mendesaknya agar cepat. Dia terlihat melihat jam tangannya berulang kali saking lamanya menunggu Lea. Tanpa berkata-kata, Lea menarik napas dalam-dalam, sambil berpikir bagaimana cara ia membayar pembalut tersebut. "Hm, Om, boleh tolong bayarin pembalut ku? Aku lupa bawa dompet, tertinggal di tasku yang ada di toilet sekolah, please ..." Alea memohon pada pria itu. Memang dia sangat tidak tahu malu, tapi apa yang bisa diperbuat. Hanya ada pria itu di minimarket. Siapa lagi yang bisa dia mintai tolong, pikirnya. "Apa?" tentu saja pria itu menolak. Apa anak ini gila? Dia kira siapa minta saya yang membayarnya. "Nggak!" Pria itu menggeleng cepat. "Ih, pelit deh Om." Bisa mati gue, kenapa sih lu bego banget, Lea. Terus masa gue nggak jadi beli ini pembalut. Alea makin bingung, dia sampai berkeringat saking gugupnya. "Mana perut gue sakit banget, astaga!" Pria itu tampak kehabisan kesabaran. Dia tidak tahu apa kesalahannya di pagi ini sehingga dia bertemu dengan bocah yang menyusahkan seperti Aleandra. "Astaga kenapa pagi-pagi udah ketemu bocil ngerepotin, sih," gumamnya sambil mengelus dada. Alea menatap pria itu dengan penuh harapan. "Please, Om." Masih sempat menyengir memperlihatkan barisan giginya yang rapi. "Jangan panggil Om. Saya bukan Om kamu!" Alea pun segera mengangguk. "Eh, iya Oppa saranghae. Please banget yah." Sudah aneh, plus kepedean pula. Batin pria itu miris melihat Aleandra. "Udah sana pergi, bikin lama antrian tau!" pria itu segera maju menggeser tubuh Alea. Dia mengeluarkan dompet untuk membayar barang miliknya, juga sekalian milik Alea. "Mbak, sekalian itu." Tentu karena terpaksa, pria itu akhirnya membayar pembalut yang dibawa Alea. Pikirnya dari pada membuang waktu lebih lama. Harganya pun tidak seberapa. Tetapi dia tidak akan lupa wajah anak sekolahan yang tidak tahu sopan santun memintanya membayarkan pembalut. "Makasih yah, Om. Aku permisi, sekali lagi makasih, Om ganteng deh." Alea berlarian keluar minimarket tersebut seolah tanpa dosa meninggalkan orang yang berjasa. Kalau tidak ada pria itu bagaimana nasib Aleandra, bisa dibayangkan dia akan kelimpungan hanya karena lupa membawa dompet untuk sekedar membeli pembalut. Lagi-lagi Aleandra memanggil pria itu dengan sebutan Om. Alea sempat-sempatnya memberikan flying kiss dan mengerlingkan mata pada pria yang telah membayar pembalut nya itu. Pria itu sampai bergidik merinding melihat tingkah Aleandra. "Jangan sampai ketemu lagi sama tuh bocil," rungutnya sambil mengurut kening.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD