Cleo mengucek matanya lagi, ia menatap lurus layar ponselnya. Membiarkan matanya fokus pada jajaran huruf yang terpampang di pesan singkat di ponsel. Matahari masih tenggelam, malam ini dan besok adalah malam bebas jaga Cleo, waktu ini benar-benar ia pergunakan untuk tidur dan melakukan hal-hal yang minim tenaga dan pikiran. Jaga IGD selama dua puluh empat jam cukup membuat energi dan pikirannya terkuras. TMC adalah rumah sakit swasta yang pasiennya nyaris tidak pernah sepi. Selalu ada saja pasien setiap harinya. Pesan dari Manyu sudah mulai terbaca, ia mengatakan kalau malam ini ia tidak ada jadwal praktik di poliklinik, jelas saja karena ini hari sabtu, Manyu tidak ada praktik pada dua hari di akhir minggu.
Cleo kembali meletakkan ponselnya, hanya membaca pesan itu lalu kembali mengunci ponselnya. Cleo membalikkan badannya, menelentangkan kedua lengan juga tungkainya, menatap langit-langit kamar kos nya. Jam masih menunjukkan pukul Sembilan belas, masih ada sisa malam yang ada. Perut Cleo juga sudah mulai menunjukkan tanda-tanda butuh diisi. Cleo kembali mengangkat ponselnya, kali ini deringannya karena panggilan masuk dari Manyu.
“Hm, ya..” jawab Cleo malas. Lelaki yang meneleponnya itu sebenarnya tidak pantas di acuhkan, karena bagaimanapun Manyu adalah senior Cleo, Cleo harus menghormatinya bila ada di tempat kerja,
“Cle, kamu tau bubur ayam Mang Dadang?” Tanya Manyu. Pikiran Cleo menerawang mendengar kalimat bubur ayam Mang Dadang yang Manyu katakana. Bubur ayam dengan kuah kaldu ayam hangat, suiran ayam, kacang dan bumbu yang pas. Di sana juga ada telur asin yang rasanya tidak diragukan. Terakhir ia kesana beberapa bulan lalu bersama Manyu, Cleo membawa pulang lima telur asin sekaligus.
“Ya, ada apa?” Tanya Cleo sambil menelan ludah, menenangkan bunyi di perutnya yang sudah saling sahut.
“Aku rencanya mau ke sana.” Manyu masih belum menunjukkan kalimat ajakkan untuk Cleo, walaupun Cleo tau Manyu berniat mengajaknya,
“What’s point?” tembak Cleo,
“Hahaha..” Manyu tertawa mendengar Cleo yang sudah tidak sabar, “ok, aku jemput kamu lima belas menit lagi. Kita dinner di sana ya.”
“Yes!” Cleo bersorak pelan, seraya melompat bangun dari rebahannya.
“Ok, aku hanya tinggal menggunakan sweater dan mengikat rambut saja.” Jawab Cleo menyembunyikan kegirangannya.
“Oke, kalau begitu aku sudah di depan kos-kosanmu.” Jawab Manyu. Cleo beranjak bangun dan menuju jendela. Dari jendela bisa terlihat Manyu yang sedang berdiri bersandar di mobilnya melambai kearah Cleo. Cleo tersenyum melihat Manyu.
Cleo mematikan ponsel dan bersiap. Ia mengikat rambutnya, lalu mengenakan sweater hitam andalannya. Cleo menatap cermin, ia sudah cukup seperti ini. Dengan kaos putih yang dilapisi sweater, celana jins pendek, slinbag dan sandal jepit. Sudah cukup untuk sekedar jalan makan bubur ayam.
Cleo berjalan ke pintu dan mematikan lampu kamarnya. Cleo menuruni anak tangga, kamar kosnya berada di lantai dua. Hanya ada dua kamar yang ada di lantai atas. Pemilik kamar satunya adalah Zizi, karyawan Bank. Tidak butuh waktu lama, Cleo sudah bertemu dengan Manyu yang malam itu terlihat masih sama seperti biasanya. Perbedaannya mala mini Manyu menggunakan kaos, jenis pakaian yang jarang ia kenakan.
“Siap?” Tanya Manyu. Mengantungi ponselnya di saku celana. Cleo mengangguk mantap.
Selama beberapa bulan ini memang ia akrab dengan Manyu, ada beberapa gossip yang beredar kalau mereka berdua pacaran. Namun Cleo menanggapinya dengan santai. Ia menganggap kedekatannya dengan Manyu hanya sebatas hubungan kerja dan teman. Tidak lebih. Manyu jelas bukan tipenya. Yah, walaupun Cleo sendiri belum menentukan tipe lelaki yang pas untuknya. Tapi Cleo menilai, Manyu terlalu kaku. Ia terlihat berusaha menyesuaikan segala sesuatu yang Cleo sukai. Seperti malam ini, Cleo tau Manyu sebenarnya tidak menyukai jajanan pinggir jalan, ditunjukkan dari caranya makan. Manyu akan mengusap berulang kali sendok yang ia gunakan dengan tissue antiseptik yang ia bawa nanti. Itu benar-benar memalukan.
***
Mangkuk kedua sudah nyaris habis.Cleo menghentikan suapan terakhirnya, matanya menangkap sesuatu yang tidak asing. Ia melihat seorang berbaju hitam, berkepala pelontos, kulit hitam, tinggi berisi. Ia seperti tidak asing dengan lelaki itu, Cleo mengurungkan niatnya menyiapkan suapan terakhir bubur ayam ke mulutnya.
“Untuk bos, seperti biasa.” Pesan lelaki itu kepada Mang Dadang yang sedang membersihkan sisa rempah ayam suwir yang berserakan di atas gerobak kayu miliknya
Mata Cleo membulat, ia memundurkan kursi pelastik tempat ia duduk, lalu berjalan mendekati pria itu.
“Kamu...” Cleo menunjuk lelaki itu, lelaki berkulit hitam itu terlihat gugup seperti baru saja kedapatan berbuat jahat, “kamu pengawalnya si CEO itu kan?” ucap Cleo. Ia menatap lelaki itu curiga, lalu pandangannya ia arahkan ke mobil mewah berwarna hitam yang terparkir tepat di depan gerobak bubur ayam Mang Dadang. Mobil itu berkaca jendela hitam, Cleo tidak bisa melihat ada siapa di dalam mobil itu. Tapi yang jelas, ia hafal betul mobil yang terparkir itu. Ia pernah menumpang sekali saat mengambil mobil di parkiran minimarket tempo hari
Lelaki itu menunduk, “bubur ayam ini, untuk bos mu, berarti dia..” Cleo berucap penuh selidik, lelaki itu menundukkan kepala seperti tau kalau ia sedang diperhatikan Cleo.
“Haha, iya Bu dokter, ini untuk Tuan Rakka.” Mang Dadang menjawab seolah tau maksud Cleo.
“Mang Dadang kenal?” tanya Cleo lagi, “ya jelas kenal atuh, dia itu lelaki dermawan yang membantu Mamang saat rumah Mamang kebakaran dulu..” Mang Dadang menjelaskan sembari kedua tangannya aktif meracik bubur ayam pesanan lelaki yang kini kaku seperti mayat hidup.
Cleo mengangguk-angguk dan kembali duduk di tempatnya semula. Ia teringat cerita Mang Dadang sebelumnya, ia bercerita kalau dulu rumahnya sempat terbakar karena ledakan gas di pangkalan gas tidak jauh dari rumahnya. Mang Dadang sempat tidak memiliki semua, namun ada seorang yang kaya yang membantu membangun kembali rumah Mang Dadang, bahkan lebih layak dari sebelumnya. Tidak hanya itu, lelaki itu juga membuatkan Mang Dadang gerobak dan perlengkapan jualan bubur ayam yang baru. Bukan hanya Mang Dadang, seluruh korban juga menjadi tanggungan orang itu.
Drrtt.. drrtt..
Lamunan Cleo buyar. Ia mengangkat telepon yang masuk ke ponselnya,
“Halo,” buka Cleo.
“Hanya kamu dan temanmu itu yang tau aku suka makanan pinggir jalan. Aku anggap kalian bisa menjaga rahasia.”
Cleo menutup mulutnya, melihat layar ponsel nya sesaat lalu kembali menempelkan nya ke telinga,
“Kamu dapat nomorku dari mana?” tanya Cleo kaget,
“Aku Rakka. Apapun yang aku mau, aku akan mendapatkan nya dengan gampang.”
Tuttt.. Rakka mematikan sambungan telepon Cleo. Cleo mendengus kesal. Mang Dadang memberikan bungkusan ke Burhan, pengawal Rakka. Burhan membawa bungkusan itu dengan hati-hati. Cleo menyipitkan mata, ia tau Rakka pasti ada di dalam mobil. Cleo beranjak bangun mengejar mobil hitam milik Rakka, namun sudah terlambat, mobil itu sudah melaju pergi.
“Heh! CEO kupret!” Maki Cleo, sambil jarinya menunjuk ke atas.
“Siapa?” Manyu yang menghampiri Cleo bertanya heran, Cleo menatap Manyu yang penasaran, Cleo terdiam, bingung dari mana ia menjelaskan awal mula perkenalan ia dan Rakka. “CEO? CEO apa?” tanya Manyu lagi.
“I-itu, bosnya si botak itu.” Jawab Cleo,
“Kamu kenal?” kata Manyu lagi, Cleo menyeringai,
“Kenal. Sudah lah, tidak penting.” Cleo berbalik dan kembali menghampiri mejanya. Cleo duduk dan sedikit berteriak,
“Haah? Siapa yang habiskan bubur Ayam akuuuu!” Cleo menengok kanan dan kiri. Manyu dan Mang Dadang tertawa.
“Kucing neng, kucing berambut hitam..Haha..” jawab Mang Dadang di sela tawanya,
“Iya, hahaha.. kucingnya dokter lagi.” Sambung Manyu yang tawanya tidak kalah besar dari Mang Dadang. Tawa mereka berdua kembali terdengar bersamaan melihat ekspresi Cleo. Mendengar jawaban Mang Dadang dan Manyu, Cleo tersadar dan mengulum senyum malu-malu.
“Aku ya yang habiskan? Hehe..” Cleo menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal, “kalau begitu, tambah semangkuk lagi Mang, hehe” sambung Cleo malu-malu, memajukan mangkuk ketiga nya.