Part 3 - Rakka Abizahsca

1889 Words
Cleo mengangkat tangannya ke atas, mulutnya menguap dengan lebar. Ia melirik ke jam dinding yang ada di ruang istirahat dokter. Hari yang panjang, sebentar lagi waktunya pulang. Cleo beruntung malam ini, karena setelah jam tiga malam sampai sekarang jam delapan pagi, tidak ada pasien yang datang ke IGD. Itu yang Cleo suka, ada jam istirahat yang cukup. Cleo mengucek matanya yang masih ingin menutup, biasanya Cleo akan bangun siang bila libur. Apalagi Cleo adalah salah satu orang yang tidak tahan bila kepalanya sudah menyentuh gravitasi, tidak lama menempel langsung tidur. “Dok, di depan ada yang ngasih sarapan tuh.” Ucap Rahmi, perawat cantik yang satu jam dinas dengannya. Cleo hanya mengangguk, sudah biasa, setelah jam malam ia akan mendapatkan sarapan. Siapa lagi kalau bukan Manyu seorang dokter anak yang baru masuk dua bulan ini. Dia termasuk dokter paling muda diantara dokter spesialis yang lain. Tentu saja, kabarnya Manyu menyelesaikan sekolah menengah pertama dan atasnya hanya dua tahun. Sekolah dokternya pun paling cepat. Ya, Manyu adalah dokter pintar dan tampan. Lengkap. Seperti dokter-dokter yang ada di film-film. Tidak heran, pasien remaja yang usianya lima belas atau enambelas tahun banyak yang senang menjadi pasiennya. Alasannya karena dokternya tampan. Usianya kini memang sudah menginjak kepala tiga, namun wajahnya hemat, dia dokter keturunan Tionghoa dan Minang. Matanya yang sipit dipadukan dengan hidungnya yang mancung. Semenjak Cleo menangani pasien Thalasemia beberapa minggu lalu, Manyu menjadi mengakrabkan diri dengannya. Cleo merasa aneh, padahal hanya dia yang tidak sibuk berfoto atau sekedar mengobrol dengannya. Banyak dokter dan perawat lain yang akrab, tapi Manyu malah mendekati Cleo. Cleo bangun dari tempat tidurnya. Hanya sebuah matras tebal yang di lapisi laken hijau, sama seperti bed pasien yang lain, hanya saja ini tidak pernah di gunakan pasien, khusus pegawai rumah sakit. Cleo mendapati bayangannya sendiri, ia mengurut bawah matanya, kantung mata nya semakin terlihat. Begitulah resiko menjadi dokter, ia harus mengorbankan wajah segarnya. Apalagi, Cleo sudah hampir satu Minggu berturut-turut jaga, menggantikan Tiara sahabat nya yang menikah, dan saat ini sedang berbulan madu. Cleo hanya pulang sebentar ke kamar kos nya, untuk mengambil pakaian ganti. Ruang istirahat IGD sudah seperti kamar kos untuknya, dan loker di ruangan ini, jangan ditanya sudah tiga loker yang ia pakai untuk menempati barang pribadinya. Seluruh pegawai sudah mengerti. Cleo terkenal santai, seperti memiliki beban hidup, katanya. Walaupun kenyataannya bukan tidak punya, lebih tepatnya Cleo tidak ingin memikirkan semua masalah yang ia punya. Setelah mencuci muka, menggosok gigi dan berganti pakaian, Cleokeluar kamar mandi. Ia sudah tidak sabar menyantap sarapan pemberian Manyu. Beberapa hari terakhir, Manyu selalu membelikan Cleo sarapan bervariasi, hanya satu yang sama. Yaitu telur asin. Bubur ayam, nasi uduk, nasi kuning, nasi opor, bahkan friedchicken Manyu tidak melupakan telur asin. Ia sudah hafal, kalau Cleo menyukai telur asin. Cleo mengikat rambutnya, lalu merapihkan anak rambut yang tersisa di depan kening. Cleo berjalan menuju meja di depan kamar, di sanalah Manyu meletakkan sarapannya. Benar, ternyata ada. Cleo duduk dan menarik sekotak makanan. Tidak seperti biasanya. Biasanya hanya menggunakan bungkus nasi atau sterofoamputih biasa, tapi ini menggunakan kotak nasi. Cleo membuka isi kotak nasinya, Mata Cleo membulat, alisnya mengerut, tidak seperti biasanya. Ia berulang kali membolak balik sarapannya, ia yakin ini bukan dari Manyu. Cleo meraih ponsel yang ada di dalam jasnya, ada pesan masuk. Dari Manyu, “Cle, aku ada rapat direksi. Jadi, sarapannya diganti makan siang saja ya!” Manyu tidak mengirimkan Cleo pagi ini, lalu siapa? Cleo memperhatikan isi box sarapan untuknya. “Rahmiiii..” teriak Cleo, Rahmi yang sedang mengenakan jilbabnya lari menemui Cleo. “Pasien dok? Hijau, kuning, Merah?” tanya Rahmi gugup. “Hitam!” jawab Cleo ketus, “Hah? Mana? Mana?” Rahmi menelusuri pandangannya ke seluruh bed pasien yang kosong, “Nih!” Cleo menarik tangan Rahmi geram. “Apa ini? Makanan?” tanya Rahmi heran, Cleo mengangguk. “Ada apa dok? Ini enak banget seperti nya.. Sandwich dengan telur dan sosis, eh, ada daging nya. Ditambah ada mayonaise keju, dan saus cabai. Wah, ada jagung manisnya juga. Ini? s**u dok! Dari wanginya s**u jahe. Mantul!” Rahmi mengamati box sarapan yang ada di hadapan Cleo. “Iya, tapi dari siapa? Yakin ini untuk aku?” tanya Cleo lagi. Rahmi mengangguk, “Yakin. Cowok cakep! Wangiiiipisan! Dia bilang untuk dr. Airin Cleo. Cuma dokter kan yang punya nama itu?” “Cowok? Wangi? Siapa? Manyu?” tanya Cleo lagi. Rahmi menggeleng, “dr. Abimanyu memang ganteng, tapi yang ini lebih ganteng. Lebih wangi.” “Siapa ya?” Cleo berusaha mencari tau. Ia tidak pernah berteman dekat dengan lelaki kecuali Abimanyu, atau dokter lain. Dokter yang lain tidak mungkin mengirimkan sarapan, “kalau tidak salah, namanya Rak- Rak- Rak- apa ya? Rak sepatu kali ya..” Rahmi senyum-senyum. “Rakka?” “Naaah, betul sekali!” Rahmi terpekik seperti Cleo baru saja menjawab pertanyaan yang sulit. “Coba, kamu makan dulu. Nanti kalau gak apa-apa, baru deh nanti aku makan.” Pinta Cleo sambil menyeringai, “Ih, dokter mah. Gimana kalau Rahmi yang keracunan?” perotes Rahmi. “Ini kan rumah sakit, aku dokternya. Kalau aku yang keracunan, siapa dokternya?” tanya Cleo usil, “Oh, iya ya.” Rahmi menggut-manggut. Cleo geli melihat temannya satu itu begitu lugu. Cleo memang paling cocok bila perawat yang jaga Rahmi. Selain cekatan, Rahmi juga tidak pernah sombong atau merasa lebih hebat. Kalau tau, ia kerjakan, bila tidak ia akui. Cleo menyukai orang seperti Rahmi. Rahmi mengambil sepotong Sandwich, lalu melahapnya. Matanya terpejam, seperti sedang menikmati sesuatu, “Hm, ya ampun. Ini rasanya enak banget dok, sumpah. Aduh, sampe mau nangis rasanya. Aduh, gimana ya mau diceritain...” Rahmi takjub, Cleo menelan ludah. Memang kelihatannya enak. Pagi ini terpaksa ia absen dari menu kesayangannya, telur asin. Lain kali, Cleo akan pesan kepada lelaki yang kemarin ia temui itu kalau Cleo akan bersemangat makan bila ada telur asin. “Coba deh, dok. Makanya jangan telur asin terus. Nanti darah tinggi loh!” ejek Rahmi. Cleo melihat reaksi Rahmi, Cleo menghitung mundur dari tiga puluh. Bila sampai hitungan nol Rahmi tidak terjadi apa-apa, berarti makanan itu aman. “Tiga, dua, satu.. Nol.” Bisik Cleo dalam hati, tangan Cleo bertabrakan dengan tangan Rahmi yang ingin kembali mengambil potongan sandwich. Rahmi menyeringai, lalu mengurungkan niatnya. Ia hanya mengecup jarinya yang menempel sisa mayonaise. Cleo melahap sandwich itu. Memang benar kata Rahmi, rasanya enak sekali. Cleo sudah lama tidak menyantap makanan seperti ini. Terakhir saat ia masih menjadi dokter muda dulu, itupun ditraktir temannya. Ya, hanya sandwich, Cleosayang membelinya. Setelah menghabiskan semua sandwich, tentu saja di bantu oleh Rahmi, Cleo meneguk s**u jahe yang juga tidak kalah enak. Sekarang Cleo percaya, Rakka, lelaki yang ia temui kemarin, memang orang kaya. Cleo bangun, menarik tasnya. “Sudah. Hari ini hari terkahir aku jaga, besok sampai seminggu jadwalku Tiara yang isi.” Cleo berkata ke Rahmi, “Yeah! Selamat datang hari libuuur!” Cleo mengangkat tangannya, sambil berjoget-joget riang. Rahmi dan beberapa perawat yang melihat hanya menggelengkan kepala. “Sudah mau pulang?” sebuah suara tiba-tiba menyapa, Cleo menghentikan goyangannya. Terpaku melihat Rakka yang menyapanya. Mulut Cleo terbuka, wajahnya seperti disiram air panas, merah, panas karena malu. “Eh, hm. I-iya. Ha-ha..” Cleo tertawa garing, Rahmi terkikik menyaksikan Cleo yang kikuk menjawab sapaan Rakka. “Kalau begitu, antarkan aku ke ruang VVIP 1 dulu ya,” pinta Rakka. “Ruang VVIP 3?” tanya Cleo heran. Rakka mengangguk. “Kenapa?” tanya Cleo heran, “Gadis yang kemarin. Dia di rawat di sana.” Cleo mengingat. Rakka memang kemarin begitu perduli dengan gadis kecil itu. “Ayah dan Ibunya tidak tertolong.” Jawab Cleo pelan. Takkan mengangguk, air wajahnya tidak berubah. Tetap datar. “Gadis itu, juga.. Dia.. buta, dan kaki kirinya, di amputasi..” jawab Rakka pelan. Cleo sudah menyangka itu, ia melihat memang kaki kiri gadis itu hancur, memang kemungkinan besar tidak bisa di selamatkan. Tapi Cleo baru dengar kalau matanya tidak bisa ditolong, “Aku tidak mengerti bagaimana harus memulai. Jadi, aku mohon bantu aku.” Rakka memohon. Cleo menatap Rakka dalam, lelaki putih dan manis itu sepertinya serius. Cleo mengangguk setuju. *** Cleo berjalan di samping lelaki di sampingnya. Ia baru kenal Rakka dua hari, bahkan belum sampai dua hari, kemarin dan hari ini masih pagi. Rakka terlihat tenang, benar kata Rahmi, Rakka wangi sekali. Entah parfume apa yang ia pakai, tidak seperti parfume lelaki kebanyakan yang wanginya membuat kepala serasa mau pecah, wangi Rakka maskulin tapi tetap lembut. “Kamu kerja?” tanya Cleo membuka omongan, jarak antara IGD dan ruang rawat VIP memang tidak dekat, mereka harus melewati beberapa pintu bangsal kelas tiga, ruang operasi, ICU, ruang rawat anak, lalu naik ke lantai dua, melewati ruang rawat kelas satu kemudian diujung gedung baru bertemu ruang VIP. “Ya, kerja.” Jawab Rakka, “kerja apa?” tanya Cleo, ia benar-benar penasaran, karena Cleo yakin Rakka bukan orang sembarangan. Kemana-mana Rakka selalu diikuti dua lelaki berbaju hitam, berbadan besar dan tinggi. Tampang mereka menyeramkan. Bisa dibilang, Rakka memiliki bodyguard yang siapapun akan bertanaya-tanya siapa dia. “CEO.” Jawab Rakka singkat, “Iya, CEO apa? CEO tahu bulat kah? CEO jamu gendong cap dua jempol kah? CEO apa?” cecar Cleo. Kali ini Rakka tersenyum, lagi-lagi terjebak dalam manisnya senyum lelaki di sampingnya. “CEO Zahsca Global Properti. Ah, kamu juga tidak akan tau..” Cleo berdiri mematung. Rakka terus berjalan, dan berhenti ketika sadar Cleo menghentikan langkahnya, kepalanya tertunduk. Rakka berbalik memperhatikan Clara. “Kamu kenapa?” tanya Rakka. Cleo mengangkat kepalanya dan kembali berjalan perlahan mendekati Rakka yang kebingungan. “Zah-scha Global Properti it-itu... Yang banyak apartemen itu kan? Lapangan golf juga? Terus…” Cleo menjelaskan terbata, ia tidak menyangka, ia sedang berhadapan dengan Rakka Abbisahca, siapa yang tidak kenal nama itu, pengusaha properti termuda se Indonesia, ia mendirikan perusahaan properti nyabukan warisan orang tua. Cleo pernah melihat nya sekilas, tapi ia tidak menyangka kalau ia akan berdiri bahkan berjalan di sampingnya di lorong rumah sakit. “Iya, banyak.” Rakka hanya menjawab itu. Tanpa ia jelaskan pun google akan menjelaskan dengan senang hati rincian aset yang perusahaan Rakka punya, “ada perumahan komersil, apartemen, lapangan golf,hm.. panti asuhan juga ada.” Jelas Rakka serius. Cleo mengangguk-angguk, suatu kebanggaan sebenarnya ia bisa berjalan di samping seorang CEO muda yang sukses, tapi Cleo tidak ingin membuat lubang hidung Rakka melebar karena mengetahui itu. “Ini ruang VVIP 3.” Ucap Cleo pelan. Cleo menghentikan langkahnya, begitu juga dengan Rakka. Rakka berbalik badan, diam sesaat di depan daun pintu ruangan itu. Rakka menarik nafas panjang, lalu menghembuskan nyakeras, seperti ada sesuatu yang membuatnya sulit bernafas. “Ada masalah?” tanya Cleo menatap Rakka yang saat ini menundukkan kepala. “Aku tidak pernah memberikan kabar buruk ke oang.” Jawab Rakka. “Kabar buruk?” tanyaku heran, Rakka mengangguk, “ya, kabar buruk. Gadis kecil di dalam harus tau kalau Ayah Ibunya sudah meningga,” jelas Rakka, “Sebaiknya jangan dulu, kita harus lihat keadaan nya dulu. Ia mungkin belum mengerti sepenuhnya keadaan yang sedang ia hadapi sebenarnya.” Cleo menahan Rakka memberi tahu. Cleo menatap papan yang ada di dinding di samping pintu ruang VVIP 3, Nura Arraisha (6 tahun). Cleo menarik nbkali kali ini ia yang bimbang. Bagaimana cara memulai pembicaraan nya. Semua berita yang ia ingin sampaikan adalah berita buruk. Cleo sudah biasa memberikan berita buruk ke pasien, tapi ia tidak pernah menghadapi situasi seberat ini sebelumnya. Nura harus tahu, kalau ia tidak memiliki kaki kiri, tidak lagi bisa melihat, dan ia kini tidak memiliki ayah dan ibu. Cleo menghembuskan nafas, lalu menepuk-nepuk pipinya. Rakka memperhatikan Cleo. Cleomerubah mimik muka seriusnya menjadi tersenyum, seperti seorang anak kecil yang baru keluar dari supermarket. Cleo membuka pintu kamar. Terlihat Nura yang masih tertidur. Nura menggelengkan kepala kiri dan kanan. Ia mungkin heran, kenapa semuanya gelap. Mata Nura masih di ikat, kakinya juga seperti itu. “Hai, Nura.” Sapa Cleo pelan. Nura membalikkan kepalanya ke arah suara Cleo. Nura tersenyum. Cleo ikut tersenyum melihatnya. Di luar dugaan, respon Nura begitu baik. Cleo bahagia melihatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD