Bab 5

2498 Words
"Mana Mbak Adel nya Bos, kok datang sendirian. Kata Bos tadi mau ngajakin Mbak Adel makan siang bareng," tanya Rendi ketika melihat Tian datang sendiri tanpa kehadiran Adel. "Saya tadi sudah ngajakin dia, tapi rupanya hari ini dia sedang puasa Ren." "Memangnya Mbak Adel puasa apa Bos?" tanya Rendi. "Apa kamu lupa ini hari apa, Ren?" Tian pun berbalik bertanya kepada asisten pribadinya itu. Sejenak Rendi pun berpikir. "Hari Kamis, oh bearti dia puasa sunah Senin Kamis ya, Bos." "Iya," jawab Tian singkat. "Kalau itu ya bagus Bos. Berarti dia menunjukkan seorang wanita sholeha yang Istiqomah." "Iya Ren, kamu benar. Kalau begitu saya harus lebih gencar lagi untuk mendapatkan hati Adelia. Biasanya wanita seperti itu sulit untuk ditaklukkan." "Sudah Bos, yakin saja sama Allah. Kalau dia jodoh Bos, apapun halangan dan rintangannya, insyaallah suatu saat kalian pasti bisa bersama." "Amin ya Allah. Thank's ya Ren atas do'anya." "Sip Bos, ayo Bos cepatan habisin makanannya, nanti jam makan siang kita keburu habis ni."  "Iya." Tian pun segera menghabiskan makan siang sederhananya. Walaupun sederhana, tapi ia benar-benar merasakan kenikmatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sekarang ia sadar, sebuah kebahagiaan itu tidak bisa diukur dengan seberapa banyak uang yang kita miliki. Makanan mahal, pakaian branded, mobil bermerk sekalipun, terkadang tidak bisa memberikan kita ketenangan hati. Hal-hal sederhana lah, yang kelihatan nya sepele tapi mampu membuat seorang Mr Tajir seperti Gustian Abraham merasakan kehidupan yang sesungguhnya. "Ayo Ren kita kembali ke tempat kerja," ajak Tian dengan bersemangat. "Masih setengah jam lagi Bos, ngapain juga kita cepat-cepat kesana. Malas saya ketemu sama si cewek nyinyir."  "Tadi kamu nyuruh saya cepat makannya, maksud kamu cewek nyinyir siapa?" "Siapa lagi, tu si Seli," tunjuk Rendi kepada salah seorang perempuan yang sudah melangkah kakinya menuju tempat kerja mereka." "Kamu ini, nggak baik ngatain orang," ucap Tian memperingati Rendi. "Saya bukan ngatain Bos, tapi ini fakta yang sebenarnya," jawab Rendy yang memang merasa kesal kepada Seli. Karena wanita itu suka ikut campur dengan urusan orang lain. "Terserahkamu deh Ren," jawab Tian, yang saat ini tidak ingin berdebat dengan Rendi. "Bos-Bos! Coba lihat itu Mbak Adel kayaknya menuju arah musholla deh," tunjuk Rendi ketika melihat Adelia berjalan tidak jauh dari mereka. "Mana Ren?" tanya Tian yang belum melihat sosok wanita berkerudung itu. "Itu." Tunjuk Rendi kepada seorang wanita berhijab biru muda. "Oh iya Ren. Yuk sekarang kita ke musholla, " ajak Tian dengan bersemangat. "Ngapain Bos?" tanya Rendi. "Tidur," jawab Tian asal. "Kok tidur Bos." Rendi pun merasa heran mendengar jawaban dari bosnya itu. "Kamu juga nanya nggak bermutu banget, ya sholat lah." "Oh iya Bos, maaf hehe." Tian dan Rendi pun dengan cepat menuju ke arah musholla. Saat ini Tian benar-benar merasakan kekhusyukan sholatnya. Entahlah, mungkin karena ada Adel dibarisan belakang Shaf nya. "Ayo Bos, kita mulai bertempur lagi," ajak Rendi membuat Tian geleng-geleng kepala. "Kamu ini kayak mau berperang saja Ren." Ketika Tian sedang asyik mengobrol bersama Rendi, Adel pun datang menghampiri mereka. "Bang Tian, Bang Rendi, kalian sholat disini juga. Kok tadi Adel nggak lihat ya." "Eh, ada Mbak Adel, ucap Rendi berbasa-basi. "Panggil Adel aja Bang Rendi," pinta Adelia yang merasa tidak enak. Saat Rendy memanggilnya dengan sebutan mbak. "Oh iya, maaf Mbak kelupaan. Eh salah, maksud saya Adel." "Ya udah, nggak apa-apa Bang. Santai saja." "Iya Del, mungkin tadi Adel duluan sampai ke mushollah nya, jadi nggak melihat saat kami datang." "Mungkin juga ya Bang. Kalau gitu, kita langsung balik aja yuk ke tempat kerja." Ajak Adel kepada Tian dan juga Rendi. "Ya udah, yuk Del." Tian dan Adel pun berjalan beriringan dengan Rendi menyusul dibelakangnya. "Ternyata Bang Tian cakep juga ya kalau habis sholat," ucap Adelia dalam hati yang diam-diam memperhatikan pria yang ada disampingnya itu. "Astagfirullah!" Seketika Adel tersentak dari lamunannya." "Kamu kenapa Del?" tanya Tian secara reflek karena melihat tingkah Adel yang agak sedikit aneh. "Adel nggak apa-apa kok Bang " "Memangnya kamu lagi mikirin apa si, Del?" tanya Rendi dari belakang. "Nggak mikirin apa-apa kok Bang Ren. Adel cuma kaget saja," jawab wanita itu yang hanya beralasan saja. "Tapikan, biasanya orang kaget itu ada sebabnya Del." Adel pun terdiam sejenak, ia bingung harus menjawab apa dari pertanyaan yang dilontarkan Rendi. "Udah Ren, kamu itu kalau nanya jangan maksa." "Iya-iya Bos." "Bos, kok Bang Rendi manggil Bang Tian dengan sebutan Bos," tanya Adelia agak sedikit heran. Rendi pun dengan cepat mencari alasan. "Oh itu panggilan akrab kaum lelaki Del. Seperti Bos, Bro, sama saja. Jadi biar kita kelihatannya lebih dekat gitu. Iya nggak Bro Tian." Rendi pun membantu bantuan bosnya itu. Supaya Adelia tidak menaruh curiga terhadap mereka. "Iya, Bro Rendi," jawab Tian dengan sinis. Tian, Adel dan Rendi pun kini telah bersiap untuk kembali mengerjakan pekerjaan mereka yang sempat tertunda. Sedangkan di Jakarta, saat ini Galang sedang berkumpul bersama teman-temannya di rumah Robi salah satu sahabat dekat Galang. "Bagaimana Bro, lho jadi ikut turnamen balapan di Jambi?" tanya Tio yang juga merupakan sahabat Galang dan juga Robi. "Ya jadilah Yo. Cuma uang gue masih kurang untuk biaya pendaftaran sama biaya hidup gue selama beberapa hari disana." "Kok malang banget hidup lho Lang. Lo kan bisa minta sama bokap lo atau sama Abang lo yang kaya raya itu." "Susah Yo. Kemarin aja gue sudah ngemis-ngemis minta sama bokap gue. Di kasih cuma sepuluh juta, itupun dengan syarat mulai besok gue harus ngebantu dia kerja di kantor." "Hehe, jadi besok ceritanya lo sudah jadi pegawai kantoran ya, Lang," sahut Robi mendengar pembicaraan antara Tio dan Galang sahabatnya. "Tau ah Bi, pusing gue," jawab Galang sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ya sudah, lo tinggal minta aja kekurangannya sama Abang lo. Bilang aja lo minjam, kalau lo gajian baru lho bayar hutang lo sama Abang lo, Lang." "Iya si Yo, gue rencana mikirnya gitu. Tapi masalahnya Abang gue sekarang lagi pergi ke luar kota." "Ya lho tinggal telpon aja Abang lho, apa susahnya si Lang." "Lho nggak tau si Yo Abang gue. Dia itukan orangnya super sibuk. Gue sudah coba telpon tapi ponselnya nggak aktif. Lalu gue telpon asistennya. Kata asistennya, Abang gue lagi sibuk. Terus gue tinggalin pesan sama asisten Abang gue, agar nanti dia telpon gue balik. Buktinya, sampai sekarang dia nggak ada tu telpon gue." "Ya sudah Lang, lo telepon lagi aja. Mana tau ponsel Abang lho aktif," ucap Robi memberi saran kepada Galang. "Tapi jangan dulu dech Lang, nanti aja lho telpon Abang lho. Soalnya menurut gue ni ya Bi, sekarang ini jam-jam rawan orang penting nggak bisa diganggu." "Sok tau lo, Yo." "Ya gue tau lah Bi, soalnya gue punya pengalaman sama bokap gue sendiri. Kalau gue minta uang jam segini sama beliau, jangan kan dikasih, mau ketemu sama beliau aja susah banget. Secara, gue kan anak kandungnya sendiri." "Jadi menurut lo Yo, gue bagusnya jam berapa menelponAbang gue lagi?" tanya Galang yang meminta pendapat dari sahabatnya. "Hmm, habis Maghrib aja Lang. Gue yakin, saat itu ponsel Abang lho sudah aktif. Abang lo juga sepertinya sudah lebih santai dan lebih rileks. Jadi lo sendiri enak ngomongnya kalau lo mau minjam duit sama dia." "Bagus juga ide lo Yo. Ok dech, bakal gue coba. Do'ain ya semoga gue berhasil." "Siap Bro! Semangat!" Kini adzan Maghrib pun telah tiba. Tian dan Rendi sedang bersiap-siap untuk melaksanakan sholat Maghrib bersama karyawan yang lain termasuk Adel yang tadi sudah membatalkan puasanya dengan segelas teh hangat. "Bos, Anda yakin hari ini mau lembur," tanya Rendi memastikan. "Iya yakin Ren," jawab Tian dengan begitu santainya. "Terus saya ikutan lembur juga Bos." "Iya dong, sekalian kamu bantuin pekerjaan saya. Tapi sebelumnya, kamu beli dulu makanan di depan ya. Soalnya saya mau ngajak Adel makan malam bareng." "Iya Bos." Rendi pun menghela nafas sebelum menjalankan sholatnya. "Nasib jadi kacung, seharusnya bentar lagi gue bisa rebahan di kasur, ini malah disuruh lembur," gerutu Rendi dalam hati sambil meratapi nasibnya. Setelah selesai sholat, Rendi pun menuruti perintah Tian untuk segera membeli makanan di depan. Tak lama kemudian Rendi pun datang dengan membawa tiga porsi makanan dan juga minuman. "Ini Bos, pesanannya sudah datang." "Good, Thank's ya Ren. Yuk, kita samperin Adel." "Siap Bos." Tian dan Rendi pun berjalan menuju tempat dimana Adel berada. Kini Adel tengah duduk di salah satu kursi taman yang tak jauh dari supermarket. "Dicari'in rupanya kamu ada disini Del." "Eh Bang Tian, Bang Rendi. Ayo Bang duduk sini. Ngapain Abang nyari'in Adel?" "Ni, Abang mau ngajakin kamu makan malam bareng," ucap Tian sambil menunjukkan makanan yang ia bawa. "Nggak usah repot-repot Bang, Adel bawa makanan kok dari rumah." "Nggak repot kok Del, Abang kan juga mau cari pahala, dengan memberikan makanan untuk orang yang sedang berbuka puasa." "Hmm, ok dech kalau begitu Adel terima. Makasih ya Bang makanannya." "Iya." Ucap Tian dengan senyuman yang tidak pernah lepas dari bibirnya. "Ayo Bang Rendi kumpul sini, kita makan bareng." "Oh iya Del." "Makan rame-rame seperti ini enak juga ya Bang. Beda kalau Adel makan sendirian." "Ya iyalah Del, makanya lain kali kalau kamu mau makan, panggil Abang saja. Jadi kita bisa makan sama-sama." "Ok Bang. Oh ya, Bang Tian sama Bang Rendi mau nyicip masakan Adel nggak. Tapi menunya sederhana Bang, cuma sambal tempe campur telur puyuh." "Wah, kayaknya enak tu Del, Abang si mau-mau aja kalau di kasih." "Ya sudah, ambil saja Bang." Tian pun langsung mengambil makanan yang ditawarkan oleh Adel. Ia memakannya dengan lahap tanpa memperdulikan Rendi." "Yan, gue kan juga pengen nyicip. Kok lho habisan semua makanannya." "Bukannya lo alergi sama telur puyuh Ren. Makanya gue habiskan makanannya, soalnya masakan Adel enak banget." "Benaran Bang, masakan Adel enak," tanya Adelia yang merasa tersanjung. "Iya Del, Abang nggak bohong," jawab pria itu. "Kalau gitu, makasih ya Bang atas pujiannya," jawab Adelia yang merasa sangat senang sekali. "Kembali kasih Del." "Lebay lo Yan, lagian kata siapa gue alergi telur puyuh?" tanya Rendi yang merasa tidak terima. "Kata gue," jawab Tian. "Dasar lho." "Udah-udah jangan ribut Bang, besok biar Adel yang bawa makanan untuk kita bertiga, jadi kita bisa makan bareng lagi." "Nggak usah Del, nanti ngerepotin kamu saja." "Nggak apa-apa kok Bang Tian." "Ya sudah Del bawa saja, biar besoknya lagi saya yang traktir." "Nah, itu baru mantap Bang Rendi hehe." Disela-sela obrolan antara Adel, Tian dan Rendi. Sebuah panggilan telepon masuk di ponselnya Tian. Drrt! Drrt! "Yan, ponsel lho bunyi tu." "Oh iya, bentar ya Del saya angkat telpon dulu." Tian pun pergi sedikit menjauh dari tempat duduk Adel dan juga Rendi. Disaat Tian mengeluarkan ponselnya, tanpa sengaja mata Adel melirik kearah ponsel milik Tian. "Itukan ponsel keluaran terbaru, sepertinya harganya cukup mahal. Kok Bang Tian bisa pakek ya." Pikir Adel dalam hati merasa sedikit heran. "Lagi mikirin apa Del?" Tanya Rendi yang tiba-tiba membuyarkan lamunan Adel. "Oh nggak Bang Ren, saya cuma heran saja sama Bang Tian." "Memangnya kamu heran kenapa, Adelia?" tanya Rendi. "Tadi saya nggak sengaja lihat ponselnya Bang Tian. Sepertinya itu keluaran terbaru dech Bang, saya yakin harganya pasti mahal."  Deg! Rendi pun sedikit terkejut mendengar ucapan Adel. Ia berusaha untuk mencari alasan agar Adel tidak menaruh curiga terhadap bosnya itu. "Oh itu Del, belum lama inikan Tian baru saja dapat warisan dari kakeknya. Jadi ya itu, karena keseringan beli ponsel second yang sering rusak, jadi akhirnya dia balas dendam dech beli ponsel keluaran terbaru. Katanya si biar awet dipakai." "Oh begitu ya Bang, benar juga si." "Ya memang benar Del hehe." "Semoga saja Mbak Adel percaya dengan alasan yang gue berikan, dasar si Bos nggak hati-hati. Kalau gini kan, gue juga yang repot." Ucap Rendi dalam hati sambil melirik kearah bosnya itu. Saat ini Tian sedang menerima panggilan telpon dari adiknya Galang.  "Halo Kak! Sibuk amat si. Di telpon dari tadi tapi ponsel Kakak nggak aktif-aktif." Tanya Galang dari seberang sana.  "Ucapin salam dulu Galang, baru ngomong." "Iya-iya Kak. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam, ada perlu apa kamu telpon Kakak?" "To the point banget si Kak." "Ya kamu itu kalau nelpon pasti ada maunya." "Gitu amat si Kak sama adik sendiri." "Ya sudah, kamu cepatan ngomong ada perlu apa? Soalnya Kakak sekarang lagi sibuk, banyak kerjaan yang harus diselesaikan." "Sudah malam masih sibuk kerja juga Kak, segitu amat si nyari duitnya. Ingat kesehatan Kak." "Jangan sok perhatian kamu, kakak bukan orang seperti kamu yang suka menghabis-habiskan waktu dengan kegiatan yang tidak bermanfaat." "Iya dech Kak iya. Semua yang buruk-buruk kasih dech ke Galang. Galang terima, tapi Kakak kasih pinjaman duit ke Galang ya. "Tu kan, ujung-ujungnya kamu pasti minta duit." "Galang bukan minta Kak, tapi minjam." "Memangnya kamu sanggup bayar." "Ya sanggup lah Kak, sekarang kan Galang sudah kerja di kantor Papa." "Benaran, kamu lagi nggak bohongin Kakak kan. Nanti Kakak telpon Papa." "Ya sudah, Kakak telpon saja Papa kalau nggak percaya." "Ok, nanti Kakak telpon Papa. Kamu mau minjam duit berapa?" "Nggak banyak Kak, cuma dua puluh juta." "Apa? Dua puluh juta kamu bilang nggak banyak." "Kalau bagi pengusaha sekelas Kakak, ya uang segitu nggak seberapa Kak." "Kamu ini ada saja jawabannya. Memangnya kamu untuk apa uang sebanyak itu." "Hmm, sebenarnya Galang mau ikut turnamen balapan Kak. Jadi uang itu untuk pendaftarannya." "Balapan liar maksud kamu." "Bukan Kak, ini resmi. Lagi pula acaranya itu diadakan diluar kota, jadi ya Galang juga harus punya uang untuk biaya hidup disana selama beberapa hari. Kakak kan tau sendiri, uang bulanan Galang sudah di stop sama Papa." "Makanya kamu itu jadi anak yang nurut, jangan suka membantah omongan Mama sama Papa." "Iya Kak, tapi kasih Galang pinjaman ya. Galang janji dech bakal bayar hutang Galang, tapi Kakak jangan bilang Papa sama Mama ya kalau Galang ikut lomba balapan." "Kamu ini, ya sudah nanti Kakak transfer." "Benaran Kak." "Iya." "Tapi kalau bisa transfernya sekarang aja Kak, soalnya kalau nanti Galang takut Kakak lupa." "Nanti saja Galang, Kakak lagi banyak kerjaan. Kamu ini sudah minjam, maksa lagi." "Iya-iya Kak maaf, tapi benaran ya Kak jangan sampai lupa." "Bawel banget si kamu, nanti Kakak nggak jadi transfer ni." "Jangan-jangan dong Kak." "Ya sudah, kalau begitu Kakak tutup telponnya. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Tut! Tut! "Dapat telpon dari siapa Bang? Serius amat kelihatannya." Tanya Adel ketika melihat Tian datang menghampirinya. "Dari adik Abang di kampung Del, dia nanyain kabar Abang, katanya si kangen." "Cie senangnya yang dikangenin sama adik sendiri." Ucap Rendi yang berusaha menggoda Tian. Rendi tau Tian hanya berbohong, kelihatan dari ekspresi bosnya itu yang agak sedikit kesal setelah menerima panggilan telpon. "Memangnya adik kandung Bang Tian ada berapa?" tanya Adelia yang ingin mengoreks informasi dari pria tersebut. "Cuma satu Del, sepertinya seumuran deh sama kamu." "Laki-laki atau perempuan Bang," tanya Adelia lagi. "Laki-laki, Galang namanya." "Uhuk! Uhuk!" Secara reflek Adel tersedak ketika mendengar Tian menyebutkan nama Galang adiknya. "Kamu kenapa Del?" tanya Tian sedikit khawatir. "Nggak apa-apa kok Bang." "Ya sudah, sekarang kamu minum tapi pelan-pelan ya." "Iya Bang makasih." Adel pun mengambil segelas air mineral yang disodorkan oleh Tian untuk dirinya. "Kenapa aku jadi seperti ini setelah Bang Tian menyebutkan nama adiknya? Semoga saja adik Bang Tian bukan laki-laki yang sama yang pernah aku kenal dulu. Mungkin hanya kebetulan saja nama mereka sama. Aku berharap sampai kapanpun aku tidak pernah lagi dipertemukan dengan laki-laki b******k itu." ucap Adel dalam hati sambil merapalkan do'anya. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD