Bentakan Danis

1171 Words
“Selamat pagi, Nyonya.” Terdengar suara yang tidak Luna kenal. Suara yang memaksanya untuk membuka mata pagi ini. Suara yang membuatnya kaget karena ada orang yang masuk ke dalam kamarnya tanpa permisi. “Siapa kamu?” tanya Luna dengan mata yang membulat. “Selamat pagi, Nyonya. Perkenalkan saya Lisa. Orang yang akan bertanggung jawab pada Anda mulai saat ini.” Luna mengedipkan matanya beberapa kali. Dia mencoba mengumpulkan kesadarannya yang sedikit menghilang. Dia sedikit menarik selimutnya malu karena dia baru bangun tidur. “Apa maksud kamu dengan bertanggung jawab?” “Iya, Nyonya. Saya yang akan bertanggung jawab pada semua yang Anda perlukan.” “Tapi aku kan ....” “Saya tahu, Nyonya. Anda yang akan bertanggung jawab pada Tuan Muda Danis. Beliau tadi sudah mengatakannya pada saya.” “Apa ... Danis sendiri yang mengatakan itu? Emangnya dia udah bangun?” “Tuan Danis selalu bangun pagi. Beliau sekarang sedang berlatih golf di belakang rumah.” ‘Whaat!! Rumah ini punya lapangan golf? Emang seberapa besar sih rumah ini.” “Kamu tunggu di luar. Saya mau mandi dulu.” “Baik, Nyonya.” Lisa segera keluar dari kamar majikannya. Dia tidak ingin membantah apa yang dikatakan oleh sang majikan barunya itu. Luna bangun dan duduk di atas tempat tidurnya. Dia masih memegang selimut di depan badannya. Sepertinya nyawanya bum sepenuhnya kembali saat ini. “Okey Luna, pekerjaan baru di mulai. Sekarang kamu jadi istri Danis dan kamu juga akan jadi pelayannya. Ingat Luna ... kamu cuma pelayan di sini. Jangan ngelunjak ya. Yuk mandi, keburu marah itu si Tuan Muda,” ucap Luna sedikit mengingatkan dirinya sendiri tentang posisi dirinya. Setelah membersihkan dirinya dan berpakaian sederhana yang berharga mahal, Luna segera keluar dari kamarnya. Dia melangkahkan kakinya menyusuri lantai marmer mahal di rumah itu. “Nyonya,” panggil seorang pelayan yang sedang mengelap pagar pembatas lantai dua. “Ada apa?” “Nyonya ... tolong kenakan sendal Anda.” “Sendal?” “Iya, Nyonya. Tuan akan sangat marah apa bila ada orang yang tidak menggunakan alas kaki.” “Kenapa begitu?” “Itu terlihat sangat jorok!” melihat ke kaki Luna, “Dan terlihat sangat kampungan! Pakai sendalmu dan siapkan kopi untukku!” sahut Danis yang tiba-tiba muncul. “Maaf, aku tidak tahu tentang ini.” “Dasar kampungan! Lain kali bangun lebih pagi. Istri apa yang bangun lebih siang dari pada suaminya!” Luna menunduk, “Maaf, aku ga akan mengulanginya lagi.” Dua insan yang kini menyandang status suami istri itu pun saling memunggungi dan melangkah masuk ke dalam kamar mereka masing-masing. Danis akan mandi sebelum dia ke kantor dan Luna masuk ke kamar untuk mengambil sandalnya. Dia mengambil sandal dengan bentuk paling sederhana di lemarinya untuk dia gunakan di rumah. Sandal sederhana dengan harga luar biasa. “Apa yang bisa di makan suamiku saat dia sarapan?” tanya Luna. “Tuan Muda biasanya tidak sarapan pagi. Biasanya hanya kopi saja yang beliau nikmati saat pagi.” “Hanya kopi? Bagaimana dia bisa sehat kalo dia mau kerja dan cuma minum kopi. Oh ya, kamu sudah berapa lama ikut Danis, Lis?” “Saya sudah 3 tahun mengurusi Tuan Danis.” “Kalau gitu buatkan aku catatan tentang apa saja kebiasaan, kesukaan dan apa yang paling dia tidak suka ya. Aku mau belajar tentang itu semua.” “Baik, Nyonya.” Meski menurut Lisa, setiap pagi Danis hanya menikmati satu cangkir kopi hitam tanpa gula, tapi pagi ini dia ingin menyiapkan makanan lain untuk pendamping sarapan. Pagi ini dia hanya menyiapkan roti dan selai saja di atas meja. Dia masih belum tahu juga apa yang harus dia pilihkan untuk selai pengoles di atas roti. Dia akan menanyakan langsung pada Danis nanti saat pemuda itu datang. “Gimana ama proyek yang ada di Meksiko?” “Lakukan perencanaan untuk mendapatkan apa yang kita butuhkan untuk hotel baru di sana. Jangan sampai terlambat. Hubungi Mr. Rodriges secepatnya.” Danis datang dengan ke meja makan sambil menelepon seseorang. Sepertinya dia sedang mengurusi pekerjaan kantornya. Luna datang dengan secangkir kopi di tangannya. Dia meletakkannya di depan Danis duduk. Danis hanya sedikit melirik Luna dengan sudut matanya. Luna menunggu Danis selesai menelepon. Dia masih mencari wajah sejuk yang biasanya dia lihat di taman saat sore hari. Wajah itu seperti menghilang saat ini. “Kamu mau sarapan roti ato nasi?” tanya Luna. “Ga usah,” jawab Danis datar. “Tapi kamu harus makan. Kan kamu mau kerja.” Danis mengangkat wajahnya, “Kalo aku bilang enggak ya bearti enggak.” “Tapi, Dan ....” “Kalo aku bilang enggak ya enggak! Jangan banyak membantah!” hardik Danis sambil memasang wajah marah. Luna kaget dengan reaksi berlebihan Danis. Dia tidak menyangka kalau Danis akan membentaknya bahkan saat ada beberapa pelayan rumah yang ada di sana. Malu dan sedih bercampur jadi satu dalam hati Luna. Pelayan di sana juga menundukkan wajahnya tidak berani menyaksikan drama percekcokan pengantin baru itu. “Pagi-pagi udah bikin mood-ku berantakan! Lisa, bawa kopiku ke ruang kerjaku!” “Baik, Tuan.” Damis segera beranjak dari ruang makan. Dia pergi meninggalkan Luna begitu saja. Dia tidak peduli bagaimana perasaan dan juga keadaan Luna. Lisa hanya bisa menoleh sedikit ke Luna sebelum dia mengikuti langkah panjang Danis. “Maaf Nyonya, ini teh Anda,” ucap seorang pelayan dapur. “Makasih. Tolong panggangkan satu roti buatku. Aku tidak begitu suka roti biasa.” “Baik, Nyonya. Tolong tunggu sebentar.” Mata Luna memanas. Dia tidak mengerti apa kesalahannya terlalu besar sampai dia di permalukan seperti ini. Air matanya yang sudah dia tahan dari tadi kini tidak mampu lagi bertahan di dalam kelopak matanya. Pelayan yang masih ada di sana makin menenggelamkan wajah mereka melihat ke arah lantai. Mereka tidak berani melihat ke arah majikan baru mereka. “Nyonya, sebaiknya Anda beristirahat di kamar. Saya akan membawakan makanan Anda ke atas,” ucap Lisa saat dia melihat keadaan Luna. “Tapi Danis belum berangkat ke kantor.” “Tuan sudah berangkat, Nyonya. Beliau bahkan tidak sempat meminum kopinya.” Luna melihat ke arah Lisa yang memegang cangkir kopi milik Danis yang tadi dia siapkan. Dia mini mengerti apa yang dikatakan oleh Lisa. Lisa mengantar Luna kembali ke kamarnya. Dia juga sekaligus membawa nampan yang berisi makanan dan minuman untuk sarapan Luna. “Anda ingin sarapan di balkon?” tanya Lisa. “Iya. Aku akan cuci muka sebentar.” Luna mencoba menenangkan perasaannya di dalam kamar mandi. Dia tidak ingin terlalu bersedih saat Danis memperlakukannya seperti itu. Dia tidak mengenal siapa Danis sebelumnya. Luna kembali keluar dan duduk di kursi malas yang ada di balkon. Sebuah kursi yang juga bisa di pakai untuk berbaring santai sambil menikmati matahari terbenam. “Duduklah,” ucap Luna yang melihat Lisa berdiri terus. “Saya tidak ....” “Duduklah. Jangan terlalu kaku padaku. Aku tidak suka.” “Baik, Nyonya. Terima kasih,” jawab Lisa sambil duduk di kursi taman single yang ada di sana. “Lisa, apa Danis memang orang yang seperti itu?” “Tuan Danis sebenarnya ....”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD