"Katanya kau pintar, rencana apa selanjutnya agar gadis itu mati?" Tanya Leak.
"Ke apa terburu-buru, aku melihatnya tersiksa dan mati perlahan, bukankah begitu Betari?" Tanya perempuan itu.
Betari terdiam kaku. Tubuhnya tak bisa bergerak. Dia menatap marah pada dua orang di depannya. Bagaimana mungkin mereka bisa menyekapnya di rumahnya sendiri berhari hari. Tanpa ada orang lain yang menyadarinya.
"Terserahlah. Yang terpenting aku butuh anting itu. Karena cincinnya sudah tidak ada pada orang ini," kata Leak kecewa.
"Cincin itu tak berguna. Kau tidak perlu lagi. Lagipula cincin itu terkutuk," kata perempuan itu dengan senyum liciknya.
"Si Laksamana sudah mati, kita tidak menumpang lagi di rumah Laksamana," sembur Leak.
"Tidak jadi masalah. Kita sudah punya tempat di sini," kata perempuan itu.
"Kita akan tinggal di rumah sekretaris ApiAbadi? Ide gila. Tidak akan ada berani mendobraknya ya. Sepertinya dia juga tidak punya teman. Ponselnya hanya seputar pekerjaan," Leak berdecak kasihan pada Betari yang terbaring di lantai.
"Yeah. Si Bayu anak monyet itu telah mengunci beberapa tempat bawah tanah. Kita tidak bisa tinggal di sana. Ditambah gerbang di bawah sudah musnah. Kita harus membuka gerbang yang baru, agar para manusia Wewe bisa masuk kemari."
Leak memeriksa ponsel dan laptop Betari. Dia membuka semua pesan dari Bayu. Dia tidak menemukan percakapan pribadi. Semuanya hanya tentang pekerjaan. Membosankan. Hidup perempuan ini membosankan. Tidak ada drama percintaan di kantor ApiAbadi rupanya. Padahal dia sudah berharap bisa menemukan skandal Bayu dan sekretarisnya.
"Laporan terkahir yang aku terima, mereka ada di wilayah Oriza Sativa. Sedang menuju hutan penangkaran panda. Mereka sedang liburan rupanya," puji Perempuan itu. Dia memandang Leak yang mengutamakan Atik laptop. "Aku sudah mengirim hadiah," kata perempuan itu.
"Wah, bagus sekali. Hadiahnya apa?"
"Panda panggang," gumamnya senang.
***
Aditya memberhentikan mobilnya di pinggir jalan, dia menyabet teropong di tas ransel dan memeriksa asap itu. Dia memperkirakan titik lokasi dan jarak tempuhnya.
"Tempatnya jauh sekali. Apa kita bisa ke sana tepat waktu?" Tanya Arunika
"Aditya, kau hubungi pemadam kebakaran pusat. Suruh mereka segera kemari," saran Panji.
Aditya menelpon petugas pemadam yang ada di dekat hutan. Mereka sudah diberi tahu dan sedang dalam perjalanan menuju ke sana. Namun perasaan Aditya tidak tenang. Dia takut karena titik lokasi berada dekat dengan penangkaran panda. Bagaimana kalau api terus merambat ke sana.
Tubuh Aditya gemetar. "Ayo kita susul ke sana. Aku tidak bisa diam saja di sini?"
"Memangnya kau bisa apa? Ikut terpanggang?" Tanya Dewanti.
Mata Aditya basah. "Aku harus menyelamatkan hewan hewan itu. Mereka mereka dalam dalam bahaya," katanya gugup.
Panji setuju dengan perkataan Dewanti. Mereka tidak memiliki kekuatan air untuk memadamkan api. Kalaupun mereka ke sana itu artinya bunuh diri.
"Ayo pergi!" Kata Arunika.
"Kau tidak dengar ya? Memangnya kau bisa apa?" Bentak Dewanti.
"Bisa membantu hewan itu keluar dari neraka," kata Arunika optimis.
"Ide gila," umpat Dewanti.
Aditya masuk ke mobil dan menyalakan mesinnya.
"Kalian mau ikut tidak? Kalau tidak turun di sini," kata Arunika tegas.
"Hei gadis jadul. Kau benar benar gila!" Maki Dewanti namun tak beranjak dari duduknya.
Panji tertahan oleh harga diri. Dia tidak ingin dikenang sebagai lelaki yang pengecut dan menghindari pertempuran. Apalagi hanya api. Jadi dia memilih berdiam diri.
"Tidak ada yang keluar?" Tanya Arunika.
Dewanti melengoa. Panji menatap lurus ke depan. Semuanya diam.
"Oke. Ayo berangkat!" Kata Arunika. Aditya mengangguk.
Mobil melaju kencang tak ubahnya anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Panji menimbang nimbang apakah keputusan tepat atau tidak. Dia sedang dalam perjalanan menuju sumber api. Dan cewek jadul itu malah riang. Apakah dia tidak takut atau bagaimana.
Panji memejamkan mata. Dia berharap hanya bermimpi.
Sialnya dia tidak bermimpi. Kalau mobil ini mengebut di dalam kota, sudah pasti ditilang oleh petugas. Untungnya jalanan membelah hutan ini sepi. Saking sepinya mereka tidak berpapasan dengan satu kendaraan atau satu manusia.
Panji memegang erat handle mobil. Sabuknya sudah dia kencangkan. Untuk menyeimbangkan tubuhnya dengan mobil yang melaju tak kenal takut ini.
Arunika memegang erat, dia tidak punya rencana. Namun dia tahu yang pasti, Dewanti tidak akan membiarkannya mati di sana. Namun apa yang harus dilakukan untuk memadamkan api? Apakah di dunia ini tidak ada pemilik kekuatan air kah?
"Dewanti," panggil Arunika.
"Hmm, berubah pikiran? Masih ada waktu," kata Dewanti.
"Bukan begitu. Adakah dewa penguasa air di sini?" Tanya Arunika.
"Ada!" Sahut Aditya.
"Di mana dia? Kita bisa meminta bantuannya?"
"Di dongeng," jawab Dewanti singkat.
"Dewanti," Arunika mencubit tangannya.
"Aduh. Benar. Dia sudah mati. Hanya ada dalam dongeng."
"Mana mungkin dewa mati!" Bantah Arunika.
Aditya tidak bisa menjawab, matanya tidak boleh Meleng sedikit saja. Menyetir dengan kecepatan seperti ini, butuh fokus.
Panji meraih ponsel. Dia mengirim pesan singkat pada Bayu.
Paman. Kebakaran. Hutan panda.
Hanya itu yang bisa dia kirimkan.
Mobil sudah dekat dengan hutan yang terbakar. Di depan mereka mobil pemadam kebakaran melaju kencang. Suaranya sirinenya melengking memecah telinga. Namun kobaran api terus berkilat kilat, tak ada habisnya.
Aditya memembuntuti mobil.pemadam. Sayangnya mobil pemadam tidak bisa masuk ke titik api. Jadi mereka menyeret selang berisi air menuju titik sumber api.
"Apa yang bisa kita lakukan sekarang?" Tanya Panji.
Dewanti angkat bahu.
Aditya sudah berlari menuju tempat penangkaran. Arunika menyusulnya. Dewanti berteriak melarang. Tetapi Arunika tidak mengindahkan.
"Panggil k*****t Bayu ke mari!" Hardik Dewanti pada Panji.
Panji dengan tangan gemetar merogoh ponselnya. Namun dia kesulitan mencari karena tangannya gemetar.
Dewanti mengumpat kesal karena Panji tidak becus. Dia segera berlari menyusul Arunika.
Api merambat dengan cepat. Menyambar daun-daun kering, api mendapat bahan bakar baru untuk terus berkobar. Panasnya bukan main.
Bahkan bagi seorang Danyang, api bukanlah musuh yang bisa dihadapi. Tetapi dia tidak bisa membiarkan Arunika terluka. Setelah semua yang dia korbankan agar anak itu hidup, dia tidak bisa kehilangan anak itu lagi.
"Arunika!" Teriak Dewanti sekerasnya.
Arunika memeluk seekor anak panda. Beratnya sekitar lima kilogram, panda itu terluka. Arunika memeluknya dan berjalan tertatih Ratih menyingkir dari jalur api. Dia tidak bisa menemukan Aditya atau siapapun. Semuanya penuh asap. Nafasnya mulai sesak. Namun dia tidak boleh pingsan di sini.
"Nika.."
Arunika mendengar suara Dewanti. "Dew... Di sini," Arunika balas berteriak.
Dewanti muncul dari dalam api. Dia merangkul Arunika. Menutup mulutnya dari asap.
"Lepaskan anak panda itu," kata Dewanti.
Arunika menolak. "Jangan buang dia!"